| Orang   IstimewaMohamad Sobary  ;     Budayawan | 
SINAR HARAPAN,  12 Maret 2014
| Di   negeri kita selalu terbukti tak begitu banyak orang istimewa yang kita   butuhkan. Banyak kejadian menunjukkan, bila suatu panitia seminar atau   penyelenggara talk show di stasiun televisi yang bermaksud mendiskusikan tema   khusus, sering atau bahkan selalu dihadapkan pada kesukaran menemukan   pembicara yang tepat. Seminar   besar melibatkan banyak pembicara atau suatu program talk show yang lebih   terbatas di suatu stasiun televisi mengenai “mudik Lebaran”. Hal ini   kelihatannya sederhana, hanya merupakan peristiwa rutin tahunan. Ternyata,   ini merupakan persoalan ruwet. Kita   memerlukan sosiolog atau antropolog. Ini agak mudah diatasi. Namun ketika   yang dibutuhkan haruslah sosiolog atau antropolog yang memahami kehidupan   kaum migran di perkotaan, keruwetan makin meningkat. Makin sulit mencari   orang-orang yang memenuhi kriteria itu. Ketika   mereka ditemukan, kita bikin suatu daftar nama. Dengan perasaan lega panitia   harus mencoret lagi nama-nama mereka. Ini terjadi ketika mereka memerlukan   sosiolog atau antropolog yang mengerti kehidupan kaum migran, sekaligus yang   memahami kehidupan pedesaan dari mana para migran itu berasal. Dua   jenis ilmuwan itu harus paham kehidupan kota, sekaligus kehidupan desa. Demi   kedalaman pembahasan, mereka harus juga memahami tradisi Islam dengan segenap   lambang-lambang modernitas—bahasa Islam kelas bawah dan sekaligus   menengah—perkotaan tanpa boleh melupa akan “tradisi” Islam di daerah   pedesaan. Hingga   di sini, keruwetan cukup membuat panitia sukar tidur. Andaikata tokoh-tokoh   yang diharapkan berbicara sudah ditemukan, masih ada syarat lain khas   kepentingan media: sosiolog atau antropolog tadi harus juga orang yang   terkenal dan disukai media. Ini   penting karena seminar, termasuk yang bersifat ilmiah sekalipun, apalagi talk   show di suatu stasiun televisi. Kalau yang berbicara tak dikenal publik dan   tak bisa berbicara dalam idiom-idiom dan gaya media, para pendengar tak akan   tertarik. Media yang hadir untuk meliput peristiwa itu pun tak akan merasa   menemukan sesuatu angle yang menggiurkan. Mencari   “orang istimewa” memang tidak mudah. Tak mengherankan jika hal itu tak   terpenuhi, media tak akan memberitakannya. Orang yang tak memiliki   “keistimewaan” buat apa diberitakan? Ini betul-betul ruwet. Lalu   diam-diam, syarat dikurangi, yang penting orang yang sudah biasa muncul di   televisi. Ini sebetulnya tak boleh dilakukan, tapi terpaksa ditempuh demi   kebutuhan acara. Pembicara yang tak tahu persoalan, biarpun mereka orang   terpelajar, seharusnya menolak demi keluhuran sikap akademiknya. Namun,   sering juga muncul orang yang gagah berani untuk tampil nekat,   senekat-nekatnya, tanpa memedulikan etika akademik. Tidak   tahu kehidupan kaum migran, tak paham kehidupan pedesaan, dan tak ada   sangkut-paut dengan tradisi Islam, banyak juga yang nekat menyanggupi. Mereka   tak peduli, selingkuh dari kepantasan di dunia akademik. Seminarnya   menjadi seminar omong kosong. Talk show-nya pun menjadi acara yang membuat   perut bergejolak. Kita yang masih menghormati “aturan main”, malu.   Selebihnya, harmoni hidup kita, terkoyak-koyak. Kaum   akademikus biasanya tak mau berlagak sok tahu, tidak ambisius. Dunia ilmu dan   etika keilmuan mengajari kita untuk menjadi agak sedikit rendah hati. Ini   jangan hendaknya dikurangi karena kekurangan dasar dalam kompetensi akademik   kita sudah banyak. Kebodohan   sebisa-bisanya disembunyikan. Pamer kebodohan itu wujud kebodohan yang sempurna.   Kaum santri menyebutnya “jahil murokab”. Artinya, kebodohan yang palng bodoh.   Kita dianggap memanggul kebodohan itu ke mana-mana tanpa sedikit pun malu. Makin Bertambah Ambisi,   keserakahan, dan tak tahu malu sering menjadi barang terkutuk. Namun orang   ambisius, orang serakah, dan tak tahu malu, di masyarakat kita rasanya bukan   makin berkurang, melainkan makin bertambah. Makin banyak saja jumlahnya.   Sering kita mencari “ orang istimewa”, tetapi yang kita temukan hanyalah   remah-remah yang tak begitu berguna. Mencari   pesepak bola yang jumlahnya lebih banyak, jelas lebih sulit lagi. Padahal,   kita hidup di negeri yang begitu besar jumlah penduduknya. Mencari presiden,   yang hanya satu orang, dan seorang wakilnya, jadi hanya mencari dua orang   yang kita anggap istimewa, pun repot. Kita hanya menemukan orang yang populer   mendadak, yang dianggap “rapi jail”, tapi apa gunanya kerapian? Kita   selalu dalam kesulitan. Yang pernah dianggap istimewa, yaitu yang terpilih,   ternyata sama sekali tidak istimewa. Ini diikuti kemunculan sembarang calon.   Begitu banyak orang yang jelas tak memiliki tanda-tanda keistimewaan pun   memaksa diri tampil menjadi calon presiden. Mereka hanya merasa populer dan   menjual popularitas. Di sini ada yang secara kebudayaan membuktikan bahwa   kita suka nekat. Cara   pandang dan sikap kita tampak sembarangan. Kita tak lagi memiliki kemampuan   mengukur kapasitas pribadi kita. Sudah agak lama kita kehilangan rasa malu   kalau urusannya menyangkut jabatan, gengsi, dan duit. Kita   mengubah sejarah. Masa lalu yang buruk ditutup kampanye media besar-besaran   agar kita tampak istimewa. Padahal, kampanye tak mengubah apa-apa selain   menegaskan bahwa kita bohong pada sejarah dan pada diri sendiri. Orang bohong   apa istimewanya? Pengalaman dalam jabatan? Oh, banyak sikap culas, tidak   jujur, dan korup disulap popularitas yang tak seberapa. Kita   nyalon, dengan menipu publik dan bermain untung-untungan. Siapa tahu orang   yang pada hakikatnya secara moral bukan apa-apa, secara politik bukan   apa-apa, secara birokratis pun bukan apa-apa, tiba-tiba bisa terpilih. Siapa   tahu. Ini   sikap dan tingkah laku yang merusak kebudayaan dan kehidupan. Orang nekat,   yang tak bisa mawas diri lagi, bukan orang istimewa. Kita mencari orang   istimewa beneran, dan yang kita cari belum pernah ketemu. Namun yang tampak   istimewa ternyata hanya gumpalan ambisi dan keserakahan, yang jelas bukan   keistimewaan. Sekali lagi, kita merusak kebudayaan. Kita merusak diri   sendiri. ● | 

Post a Comment