| Bahasa   untuk Dunia KerjaCecilia T Murniati  ;     Dosen Fakultas Sastra Unika Soegijapranata Semarang | 
SUARA MERDEKA,  12 Maret 2014
| Banyak   orang beranggapan lulusan perguruan tinggi di Indonesia tidak siap kerja.   Karena itu, tahun 2012 Dikti merancang Kerangka Kualifikasi Nasional   Indonesia (KKNI) sebagai paradigma baru pendidikan tinggi. Upaya itu guna   menyelaraskan capaian pembelajaran pada perguruan tinggi dengan dunia kerja. Mendikbud   waktu itu, Wardiman Djojonegoro, mencetuskan gagasan link and match untuk menautkan dunia pendidikan formal dan dunia   kerja sehingga lulusan perguruan tinggi siap pakai. Pencanangan KKNI sejalan   dengan gagasan link and match . Karena itu, perlu menyambutnya sebagai   gagasan, kendati banyak yang perlu kita konkretkan. Tahun   2006, gabungan institusi seperti The   Conference Board, Partnership for 21st Century Skills, Corporate Voices for   Working Families, dan Society for   Human Resource Management meneliti kebijakan penerimaan pegawai baru pada   banyak perusahaan besar. Hasil penelitian itu menunjukkan secara umum mereka   membutuhkan dua keterampilan dari fresh   graduates, yakni keterampilan dasar dan terapan. Keterampilan   dasar meliputi kecakapan berbahasa (baik lisan maupun tulisan) dan   matematika. Adapun keterampilan terapan meliputi kerja sama tim, kemampuan problem solving, kemampuan berpikir   kritis-analitis, dan kepemimpinan. Karena konteks penelitian itu di AS maka   kemampuan berbahasa meliputi kemampuan berbahasa asing dan Bahasa Inggris. Tak   kalah penting adalah kemampuan menggunakan teknologi, pemahaman terhadap   pasar global, serta dampak ekonomis dan kultural dari globalisasi. Hasil   penelitian ini sejalan dengan penelitian Euromonitor (2012) yang disponsori The British Council di beberapa negara   di Timur Tengah. Penelitian Euromonitor menunjukkan kemampuan berbahasa   Inggris berdampak besar terhadap pengembangan profesional seseorang. Orang   yang cakap berbahasa Inggris memiliki peluang lebih besar untuk mendapatkan   promosi dan gaji lebih tinggi dibanding mereka yang tak memiliki. Dengan   demikian, perusahaan besar tidak hanya memerlukan pegawai yang mumpuni di   bidang keilmuan atau ketrampilan tetapi juga cakap berbahasa Inggris (atau   bahasa asing lain), baik lisan maupun tulis. Menurut The British Council  (www.britishcouncil.org, 2013), Bahasa Inggris digunakan oleh 1,75 miliar   orang. Fakta ini menunjukkan betapa penting Bahasa Inggris sebagai bahasa   komunikasi, ilmu pengetahuan, informasi, teknologi, bisnis, hiburan, dan   diplomasi dalam percaturan global. Kemampuan Dasar Karena   itu, fakultas nonbahasa Inggris memerlukan konsep dan metode pengajaran   Bahasa Inggris yang lebih sesuai dengan tuntutan zaman. Pengajaran Bahasa   Inggris di fakultas nonbahasa Inggris selama ini menekankan penguasaan   berkait dengan subject matter atau   bidang ilmu. Hal ini baik dan seharusnya seperti itu. Namun,   itu belum mencukupi untuk dunia kerja karena baru menyangkut kemampuan   dasar  Bahasa Inggris. Yang lebih diperlukan   saat ini adalah pengajaran Bahasa Inggris yang tak hanya terfokus pada   penguasaan subject matter tetapi juga untuk mengasah kemampuan critical thinking dan analytical thinking mahasiswa. Ke   depan, perlu melakukan pengajaran Bahasa Inggris yang mampu menggabungkan   antara penguasaan bidang ilmu dan berpikir secara kritis dan analitis. Metode   yang perlu dikembangkan antara lain problem   based, collaborative, dan case studies.  Metode pengajaran ini harus dilakukan dalam   kelompok untuk melatih kemampuan kerja sama. Perlu   merancang materi pengajaran untuk tugas kelompok sehingga mahasiswa mampu   mengasah kemampuan berpikir secara kritis dan analitis untuk memecahkan   persoalan nyata. Sudah saatnya kita lebih serius menggarap pengajaran Bahasa   Inggris untuk tujuan khusus. Dengan demikian, lulusan perguruan tinggi cakap   berbahasa Inggris dan memiliki kontribusi signifikan di tempat kerja. ● | 
Mencari   pesepak bola yang jumlahnya lebih banyak, jelas lebih sulit lagi. Padahal,   kita hidup di negeri yang begitu besar jumlah penduduknya. Mencari presiden,   yang hanya satu orang, dan seorang wakilnya, jadi hanya mencari dua orang   yang kita anggap istimewa, pun repot. Kita hanya menemukan orang yang populer   mendadak, yang dianggap “rapi jail”, tapi apa gunanya kerapian?
Kita   selalu dalam kesulitan. Yang pernah dianggap istimewa, yaitu yang terpilih,   ternyata sama sekali tidak istimewa. Ini diikuti kemunculan sembarang calon.   Begitu banyak orang yang jelas tak memiliki tanda-tanda keistimewaan pun   memaksa diri tampil menjadi calon presiden. Mereka hanya merasa populer dan   menjual popularitas. Di sini ada yang secara kebudayaan membuktikan bahwa   kita suka nekat.
Cara   pandang dan sikap kita tampak sembarangan. Kita tak lagi memiliki kemampuan   mengukur kapasitas pribadi kita. Sudah agak lama kita kehilangan rasa malu   kalau urusannya menyangkut jabatan, gengsi, dan duit.
Kita   mengubah sejarah. Masa lalu yang buruk ditutup kampanye media besar-besaran   agar kita tampak istimewa. Padahal, kampanye tak mengubah apa-apa selain   menegaskan bahwa kita bohong pada sejarah dan pada diri sendiri. Orang bohong   apa istimewanya? Pengalaman dalam jabatan? Oh, banyak sikap culas, tidak   jujur, dan korup disulap popularitas yang tak seberapa.
Kita   nyalon, dengan menipu publik dan bermain untung-untungan. Siapa tahu orang   yang pada hakikatnya secara moral bukan apa-apa, secara politik bukan   apa-apa, secara birokratis pun bukan apa-apa, tiba-tiba bisa terpilih. Siapa   tahu.
Ini   sikap dan tingkah laku yang merusak kebudayaan dan kehidupan. Orang nekat,   yang tak bisa mawas diri lagi, bukan orang istimewa. Kita mencari orang   istimewa beneran, dan yang kita cari belum pernah ketemu. Namun yang tampak   istimewa ternyata hanya gumpalan ambisi dan keserakahan, yang jelas bukan   keistimewaan. Sekali lagi, kita merusak kebudayaan. Kita merusak diri   sendiri. ●
Indeks Prestasi

Post a Comment