Orang Miskin BeperkaraMariyadi Faqih ; Doktor Ilmu Hukum di PPS Unibraw |
KORAN JAKARTA, 04 Maret 2014
Mahatma Gandi pernah berpesan, "You may never know what results come of your action, but if you do nothing there will be no" (Anda mungkin tidak pernah tahu hasil dari usaha-usaha yang Anda lakukan. Tetapi jika Anda tidak melakukan sesuatu, tidak mungkin mendapat hasil). Gandi mau mengingatkan setiap orang supaya tidak gampang menyerah dalam menjawab tantangan. Sebaliknya, dia harus berusaha menunjukkan kemampuan untuk melahirkan sejarah baik bagi diri maupun masyarakat, khususnya sejarah jagat peradilan. Salah satu jenis kondisi yang paling sering membebani orang miskin di negara ini ketidakberdayaan hukum (legal empowerless) ketika berhadapan dengan sistem peradilan, baik berstatus tersangka, terdakwa, atau saksi tindak kejahatan. Sejumlah perempuan berstatus miskin sedang berhadapan dengan istri mantan jenderal. Mereka pernah menjadi korban penganiayaan. Diduga istri ini melakukan berbagai bentuk tindak kekejian. Ada di antara korban yang mengaku disiram air panas jika sedikit salah dalam bekerja. Istri jenderal ini memang sudah ditetapkan sebagai tersangka, akan tetapi pertanyaan tetap mencuat, benarkah hukum akan memperlakukannya secara egaliter? Pertanyaan tersebut logis karena sudah demikian sering hukum lebih memihak seseorang atau kelompok dari kalangan elitis, Sedangkan bagi orang miskin, hukum cenderung diskriminatif. Orang miskin tidak mampu "membeli" atau mendapat bantuan hukum yang benar-benar memihak padanya. Bagi orang miskin, bantuan hukum sebagai barang mewah yang tak terjangkau. Dia mustahil membeli. Undang-Undang Bantuan Hukum yang disahkan DPR pada 4 Oktober 2011 diharapkan dapat menjadi senjata orang miskin. Secara substansial, UU ini memang dapat meringankan beban warga tidak mampu dalam segi ekonomi yang tersandung masalah hukum. Salah satu jenis bantuan yang diberikan pemerintah (negara) lewat UU ini berupa pembela atau penasihat hukum. Janji yang diberikan negara, realitasnya hanya angin surga bagi orang miskin. Pakar filsafat, Franz Magnis Suseno, menyatakan secara moral politik penyelenggaraan negara harus dijalankan berdasarkan hukum karena. Hukum berlaku sama bagi semua, tidak membedakan antara orang kaya dan miskin saat beperkara. Meski orang kaya atau istri jenderal potensial mengadalkan uangnya untuk membeli hukum, namun tidak setiap hukum bisa dibeli dengan uang. Orang miskin wajar kecewa karena selama ini dibela para penasihat hukum setengah hati karena tidak bisa memberi keuntungan finansial. Inilah yang disebut bantuan hukum seperlunya atau asal ada bantuan hukum. Kaum melarat diperlakukan sekadar sebagai instrumen untuk membuka keran keuntungan dari pihak-pihak yang mempermasalahkannya. Saat mereka bisa mendatangkan keuntungan besar secara ekonomi, maka lawyer menjadikannya sebagai objek yang dibarterkan. Dalam posisi ini, orang miskin biasanya disuruh mengakui atau menerima untuk dipersalahkan. Mereka yang mempunyai nilai politik tinggi atau bisa dijadikan sebagai kendaraan untuk menaikkan popularitas akan banyak dibantu. Tidak sedikit dijumpai penasihat hukum mau membiayai kasus orang miskin, meskipun tidak sedikit. Sebab penasihat bisa meraih popularitas lewat kasusnya. Inilah medan bagi lawyer muda yang masih belajar praktik pengacara. Mereka masih belajar membahasakan norma hukum. Pendeknya, mereka tengah latihan menjadi pengacara. Dalam posisi ini, rakyat jelata tak ubahnya objek eksperimen penasihat hukum pemula. Marilah memperlakukan rakyat kecil sebagai subjek juga. Jangan hanya orang kaya diperlakukan sebagai subjek. Sebab secara hakiki, kedua-duanya adalah subjek di mana hukum. Secara teoretis tidak ada perbedaan antara orang kaya dan miskin di depan hukum. Sayang, slogan semua sama di mata hukum hanyalah moto, tidak pernah menjadi kenyataan. Masih jauh panggang dari api realitas slogan tersebut. Melukai Perlakuan rakyat kecil seperti itu jelas sangat melukai. Mereka sebenarnya sudah punya hak didampingi penasihat hukum di setiap tingkat pemeriksaan seperti diatur dalam UU Nomor 8 Tahun 1981 (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana), akan tetapi hak ini tidak diindahkan para lawyer dan institusi profesinya. Yang menjadi objek garapan istimewa para penasihat hukum dan kolega profesinya orang-orag kaya atau politisi yang terlibat perkara hukum. Mereka umumnya berasal dari golongan elite atau pemodal besar yang mampu membayar tinggi penasihat hukum. Pakar hukum, Purbacaraka, menyebutkan dalam negara hukum tidak bisa dilepaskan dari esensi demokrasi. Penerapan hukum yang berkeadilan hanya ada dan bisa ditegakkan di negara yang demokratis. Dalam negara yang demokratis, hukum diangkat, dimanifestasikan sebagai aspirasi rakyat. Inilah sifat asli hukum: dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Dalam filosofi itu, hukum yang demokratis sejiwa dengan kepentingan masyarakat, khususnya komunitas akar rumput. Ke depan, hukum harus lebih mampu tampil adil, terutama di saat berurusan dengan rakyat jelata yang selama ini senantiasa kalah dalam banyak perkara hukum. Hukum belum tampil asli: adil bagi semua. Perangkatnya masih memperdagangkan hukum demi kepentingan pundi-pundi. Kasus mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Akil Muchtar, hanya salah satu contoh dari sekian banyak kasus ketika hukum memihak kepada mereka yang berduit. Masih ingat begitu banyak torehan putusan pengadilan di mana hukum sangat tegak kepada rakyat kecil dan amat lembek atau tumpul ke atas atau pada orang "penting". Inilah pekerjaan rumah yang harus dikejar pemerintahan mendatang agar mampu menerapkan hukum: adil bagi semua. ● |
Post a Comment