Penegakan Hukum Tahun Politik W Riawan Tjandra ; Alumnus Program Doktor Ilmu Hukum Administrasi Negara UGM, Dosen Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta |
SUARA MERDEKA, 13 Maret 2014
"Penegakan hukum pada tahun politik seharusnya mampu merawat demokrasi menuju supremasi hukum" HUKUM kerap dirupakan lewat patung Dewi Keadilan dengan mata tertutup dan membawa pedang. Simbolisasi itu ingin menggambarkan proses bekerjanya hukum dilakukan tanpa pandang bulu. Realitas itu kemudian melahirkan adagium penting dalam penegakan hukum, equality before the law (kesamaan kedudukan warga negara di hadapan hukum) dan kini diletakkan sebagai fondasi kehidupan bernegara. Hukum adalah produk dari proses politik parlemen. Namun ketika sudah menjadi teks normatif dalam wujud kitab undang-undang, hukum harus steril dari pengaruh faktor nonhukum. Perkara korupsi yang ditangani oleh KPK, kepolisian, dan kejaksaan didominasi berbagai kasus korupsi politik. Artinya, bersumber dari konstelasi permainan politik yang bersimbiosis dengan ambisi para aktor memperoleh sumber ekonomi guna mendanai siklus kekuasaan politik. Penobatan 2014 sebagai tahun politik, membawa konsekuensi tingginya peningkatan suhu politik akibat pengerahan energi politik untuk berkontestasi. Berkaca pada pandangan Talcott Parson mengenai sibernetik maka selalu terjadi pertukaran informasi dan energi secara fungsional antara kuasa hukum dan kuasa politik, serta berbagai subsistem sosial lain dalam masyarakat. Hukum sering ditundukkan dan disubordinasi oleh subsistem politik ataupun ekonomi yang memiliki derajat energi lebih tinggi. Pada titik inilah proses penegakan hukum bisa terkontaminasi oleh --meminjam pandangan Louis Althusser-- dominasi aparat ideologi negara. Menurut Althusser, perjuangan dominasi kekuasaan tak bisa dipisahkan dari kontestasi ideologi dalam menciptakan subjeknya. Saling Sandera Kasus-kasus hukum yang rawan menyeret upaya saling sandera antarpolitikus umumnya menyangkut seputar tipikor. Para elite politik saling mengunci, bahkan tak jarang saling mengorbankan kompetitor dalam jerat kasus korupsi. Sulit mencari politikus dan partai politik yang sungguh-sungguh bebas dari praktik korupsi politik. Politik di negeri ini telah menjelma menjadi suatu kleptopolitik karena sejak proses pencalegan, sulit lepas dari jerat politik uang yang lazimnya membutuhkan dana besar. Bila proses penegakan hukum pada tahun politik tak dilakukan dengan mengacu pada prinsip profesionalitas dan independensi, kita bisa terseret dalam derasnya kumparan arus politisasi pada tahun politik. Kasus dana DPID/DPPID (kini bermetamorfosis jadi dana optimalisasi), serta dana hibah dan bansos umumnya menjadi bagian dari siklus kleptopolitik yang melibatkan elite, birokrat, dan swasta. Mulanya unsur governance dihadirkan untuk menumbuhkan pemerintahan yang bersih, namun realitasnya tak jarang justru berkonspirasi menjadi trias koruptika yang terlibat dalam perampokan sistemik uang rakyat dan kekayaan negara. Kesadaran Semu Negara menjadi arena untuk memuaskan libido ekonomi dan syahwat politik para aktor tersebut. Para penegak hukum yang harus bekerja dalam sistem birokrasi dan tak jarang berhadapan dengan kuasa politik oligarkis para kleptokrat, acap harus berbenturan dengan tembok tebal kuasa politik. Di sinilah terjadi uji nyali bagi keberanian dan integritas penegak hukum menghadapi kuasa politik kaum kleptokrat dan kleptopolitik. Proses penegakan hukum pada kasus korupsi politik selalu melibatkan penggunaan kuasa negara untuk membelokkan aliran keuangan negara secara sistemik guna membiayai ambisi dan syahwat politik aktor politik. Dunia politik dan kenegaraan kini menjadi kumuh, terkontaminasi kepentingan dan hasrat politik aparat ideologi negara. Mereka menciptakan kesadaran semu bagi masyarakat melalui berbagai janji dan slogan yang berbungkus ambisi dalam kontestasi politik. Kuasa politik dalam konteks komunikasi politik di Indonesia lebih sering digunakan untuk menciptakan kesadaran semu pada kalangan masyarakat. Cara itu akan mengonstruksikan citra baik pemegang kuasa atau aparat ideologi negara, yang pada akhirnya berujung pada upaya melahirkan konsensus perlunya melanggengkan kekuasaan. Penegakan hukum pada pusaran kontestasi politik yang diwarnai oleh kontestasi perang citra antarelite politik tak urung berisiko menyeret aktor penegakan hukum di tengah kontestasi politik. Kemelemahan energi hukum yang berhadapan dengan energi politik dan ekonomi selama ini membuat penegakan hukum terseret ke jalan terjal. Masyarakat berharap 2014 bisa menjadi tahun transisi politik menuju era demokrasi yang makin stabil. Namun, berbagai ironi politik bisa memproduksi ambivalensi, kontradiksi, dan bahkan paradoks dalam politik yang menyeret pada dualisme cara berpikir, bertindak, dan bersikap. Penegakan hukum pada tahun politik seharusnya mampu merawat demokrasi menuju supremasi hukum, bukan justru larut dalam berbagai ironi politik. Jangan pula terlibat dalam berbagai upaya penggalangan citra aktor karena dominasi aparat ideologi hukum di negeri yang kian kumuh oleh berbagai ambisi dan syahwat politik tapi minus empati. ● |
Post a Comment