Perguruan Tinggi dan Ilmu PengetahuanAsep Saefuddin ; Rektor Universitas Trilogi dan Guru Besar Statistika FMIPA IPB |
SINAR HARAPAN, 28 Maret 2014
Ada bagusnya Forum Rektor Indonesia (FRI) mengangkat ide Kementerian Riset dan Teknologi (Kemenristek) dan perguruan tinggi (PT). Kalau tidak, bisa jadi orang tidak paham bahwa di PT ada masalah yang menyebabkan ilmu pengetahuan jarang disumbangkan dari negeri ini. Gagasan FRI itu cukup masuk akal. Dengan semakin besarnya tugas Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menangani pendidikan dasar dan menengah, itu saja sudah rumit, apalagi ditambah beban Perguruan Tinggi (PT). Selain itu, FRI juga menyatakan, pada zaman Orde Lama, kementerian yang menangani ilmu pengetahuan dan pendidikan tinggi pernah ada. Memang betul, setahu saya, surat keputusan (SK) pendirian Institut Pertanian Bogor (IPB) pada 1 September 1963 itu ditandatangani Prof Tojib Hadiwidjaja sebagai Menteri Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan (PTIP). Saat itu pun, PT kita termasuk bagus-bagus, terbukti dengan banyaknya mahasiswa dari negeri jiran yang dikirim ke sini. Saya masih merasakan kuliah bersama mahasiswa dari Malaysia di pertengahan dekade 1970-an. Sebagai hasilnya, pada akhir tahun 1990 sampai awal 2000, banyak pemimpin universitas di Malaysia yang merupakan alumnnus S1 PT Indonesia, terutama dari Universitas Indonesia (UI), IPB, Institut Teknologi Bandung (ITB), dan Universitas Gadjah Mada (UGM). Begitu juga para ilmuwannya. Tapi, kisah sukses ini saya pikir tidak berlanjut. Atas dasar itulah, FRI menyodorkan gagasan kelembagaan PT dipindahkan dari Kemendikbud ke Kemenristek. Dengan demikian, FRI berharap PT bisa fokus membangun dan mengembangkan ilmu pengetahuan melalui riset yang berbobot. Ketika ditanya beberapa wartawan soal ini, saya bukan tidak setuju dengan upaya alih naungan ini. Namun, saya tidak yakin ini adalah solusi yang tepat. Akar permasalahan dari ketertinggalan PT kita dalam membangun ilmu pengetahuan bukan terletak pada persoalan organisasi atau struktural. Ini cenderung ke persoalan kultural. Artinya, persoalannya sangat kompleks, tidak sekadar tempat kedudukan kementerian yang menaungi PT. Pemindahan PT ke Kemenristek hanya memindahkan masalah yang sama ke lembaga berbeda dan ini bukan solusi. Itulah hakikatnya saya kurang setuju dengan ide FRI. Pada wawancara itu, saya menyarankan FRI mengkaji dulu secara mendasar tentang persoalan kemandekan ilmu pengetahuan di Indonesia. Kepada wartawan saya katakan, solusi melalui pendekatan struktural itu bersifat trivial, tidak mendasar, hanya lapis luar. FRI yang mewakili PT sebagai tempat berkumpulnya para intelektual sebaiknya menyodorkan saran yang lebih mendasar, bukan sekadar lapisan luar. Budaya Akademik Persoalan yang mencuat di hampir semua PT di Indonesia adalah lemahnya budaya akademik. PT saat ini keranjingan birokrasi yang cukup akut. Seorang Rektor PT jarang menjadi panutan pemikiran akademik yang mampu mencerahkan sivitas akademikanya, apalagi masyarakat luas. Ia terlalu dianggap sebagai pemimpin birokrasi paling atas, diteruskan pemimpin lapis berikutnya, seperti para pembantu rektor, kepala biro, dan dekan. Bagi seseorang yang berbakat feodal dan berjiwa politik, tentu saja kondisi ini sangat menyenangkan. Tetapi bagi kemajuan ilmu pengetahuan, hal ini justru merugikan. Kalaupun ada penemuan-penemuan di PT, jarang sekali memengaruhi konstelasi ilmu pengetahuan dunia, baik dari tataran teori dan konsep ataupun aplikasi dan teknologinya. Laporan hasil penelitian hanya menumpuk di meja kantor LPPM atau paling banter di perpustakaan. Hasil riset ini sering menjadi hiasan kebanggaan pemimpin PT yang merasa kampusnya memiliki penemuan terbanyak. Tetapi kalau ditelusuri, dampaknya terhadap masyarakat masih nihil, jauh dari harapan. Hal ini terus terjadi dari tahun ke tahun, berulang-ulang, menghambur-hamburkan kertas. Memang situasi birokrasi yang sangat kental itu adalah efek kelembagaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dikti) yang diposisikan di atas. Dengan demikian, perilaku birokrat Dikti tidak hanya menetes ke bawah, tetapi dipercepat dengan pola surat edaran, SK-SK, instruksi-instruksi, dan surat birokrasi lainnya yang harus ditaati birokrat kampus. Terjadilah percepatan perilaku birokrasi di PT sebagai satuan kerja atau jawatan yang berada di bawah naungan Dikti. Hubungan dosen dan pemimpin akhirnya mirip pola atasan-bawahan. Hubungan dosen-mahasiswa cenderung transaksional. Semuanya serba-administratif, kurang substansial. PT tidak lagi menjadi tempat belajar atau learning society. Faktor-faktor inilah yang menyebabkan kemandekan perkembangan ilmu pengetahuan di PT. FRI menganggap itu akibat keberadaan PT di bawah Kemendikbud, yang membuatnya harus dipindahkan. Namun, yang tidak dianalisis dalam gagasan itu adalah faktor kultural. Tidak mustahil pola atasan-bawahan dengan kerijidan administrasi dan birokrasi model perkantoran ini juga sebenarnya ada di Kemenristek. Para deputi dan birokrat yang ada di kementerian itu kelak otomatis menjadi atasan para pemimpin kampus yang membuat situasinya tidak akan berubah. Sejauh pola yang diambil hanya dari pendekatan struktural, keadaan PT akan sama saja seperti saat ini, hanya beda tempat. Jadi, apa yang harus dilakukan? Singkatnya, kembangkanlah budaya akademik dan jadikan kampus sebagai masyarakat ilmiah. Hubungan sivitas akademika dengan pemimpin kampus harus lebih bersifat fungsional, bukan atasan-bawahan. Hubungan antara dosen juga harusnya bersifat dialog gagasan, percaturan ide, kolaborasi riset, pertukaran paper akademik, uji coba konsep dan teknologi, serta pergumulan berbasis pemikiran lainnya. Untuk itu, PT harus disokong staf administrasi dan manajemen profesional yang andal. Bukan malah dosen pada ramai-ramai mengisi jabatan administrasi, misalnya, seorang doktor mikrobiologi menangani unit fasilitas dan properti. Jelas hal ini merugikan keduanya, kampus dan dosen itu. Sebagai akibat langsung, PT tersebut tidak maju dan ilmu pengetahuan mandek. Akhirnya, mahasiswa dan dosen hanya menjadi pemamah biak ilmu pengetahuan dan penemuan dari ilmuwan asing. Itulah persoalannya. Mohon agar para pengurus FRI memikirkan hal-hal yang mendasar. Jangan terbawa para politikus yang memanfaatkan tahun politik. ● |
Post a Comment