Politik Anggaran Menjelang Pemilu

Politik Anggaran Menjelang Pemilu

Yenny Sucipto ;   Sekretaris Jenderal Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran
KOMPAS,  27 Maret 2014
                                      
                                                                                         
                                                      
SETIAP menjelang pemilu, banyak pihak sering kali gusar melihat penggunaan anggaran negara yang kental akan kepentingan politik kekuasaan. Kegusaran itu wajar karena anggaran pada hakikatnya memang tidak netral dan tidak akan pernah netral. Anggaran adalah politik sumber daya, yang berkuasa tentu akan menggunakannya untuk kepentingan politiknya semaksimal mungkin.

Boleh saja dalam konteks teori kita percaya bahwa anggaran negara merupakan wujud kedaulatan rakyat, seolah-olah rakyat yang menentukan anggaran negara. Namun, dalam prosesnya kedaulatan rakyat itu telah diwakilkan kepada wakil rakyat melalui fungsi budgeting di mana penetapan APBN harus mendapat persetujuan DPR.

Persetujuan tersebut yang kemudian menunjukkan bahwa anggaran memang tidak netral karena persetujuan adalah bargaining yang berarti ada proses politik di baliknya dan wakil rakyat  tidaklah bersih dari kepentingan politik pribadi, kelompok, golongan, dan parpol yang menaungi.

Politik anggaran adalah upaya mewujudkan wajah anggaran untuk kepentingan tertentu, bisa pragmatis atau ideologis. Namun, sangat tidak mungkin untuk menyusun anggaran 100 persen ideologis karena bagaimanapun akan terdapat berbagai kepentingan politik pribadi, kelompok, golongan, dan parpol di belakang semua program ataupun anggaran yang disusun.

Bisa saja suatu anggaran terlihat ideologis karena konkret dan berpihak kepada rakyat. Namun, dapat dipastikan akan tetap ada kepentingan politik tertentu dari kekuasaan yang menyusunnya meski kadang terlihat samar.

Menjelang pemilu, di negara mana pun (khususnya negara dunia ketiga) biasanya kepentingan politik parpol yang berkuasa terlihat sangat terasa mewarnai wajah anggaran negara karena memang sangat terbuka untuk dimanfaatkan bagi kepentingan politik pemenangan pemilu. Di Indonesia biasanya dilakukan dengan mendompleng program-program yang langsung bersentuhan dengan rakyat. Beberapa di antaranya dengan penambahan program-program populis dan penggelontoran besar-besaran dana bantuan sosial (bansos).

Hal terbaru adalah dengan memanfaatkan dana optimalisasi. Dan terakhir, yang biasanya paling mudah dilakukan, menjadikan BUMN sebagai ”sapi perahan”.

Pemanfaatan laba BUMN

Telah menjadi rahasia umum jika BUMN menjadi ”sapi perahan” bagi parpol-parpol yang duduk di pemerintahan selama ini. Cara yang paling mudah adalah dengan memperbesar laba ditahan di BUMN dengan alasan untuk ekspansi dalam rangka pengembangan usaha. Laba yang seharusnya disetorkan kepada negara ternyata tetap ditahan dan tidak tanggung-tanggung karena nilainya sangat fantastis mencapai Rp 407,3 triliun, hampir separuh dari anggaran pendapatan negara.

Laba yang ditahan tentunya disimpan di rekening tertentu dan akan berbunga. Bunga tersebut yang paling rentan dimanfaatkan untuk kepentingan politik tertentu. Bisa saja digunakan untuk pendanaan kampanye parpol yang menguasai BUMN tersebut. Sebab, sampai saat ini tidak ada aturan mengenai berapa besaran laba yang dapat ditahan BUMN dan bagaimana penggunaan atas bunga dari laba yang ditahan itu.

Program populis

Program-program populis, seperti bantuan siswa dari keluarga miskin, keluarga miskin, jaminan sosial, dan PNPM terus meningkat tinggi pada 2014 sampai mencapai Rp 52,9 triliun. Untuk kepentingan kampanye, biasanya program-program itu digunakan untuk memobilisasi para pemilih di daerah dalam rangka kampanye terselubung.

Biasanya program-program tersebut realisasinya ditandatangani oleh menteri yang terkait dengan model kunjungan kerja dalam rangka ”labelisasi” seolah-olah program populis itu merupakan jasa dan perjuangan menteri bersangkutan. Program-program populis ini akan sangat menguntungkan bagi menteri yang berasal dari partai politik. 

Bagi masyarakat, program populis ini manfaatnya akan dirasakan langsung karena memang disengaja bersifat karitatif  demi tujuan politis, yaitu meraup suara untuk pemilu, bukan murni untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Pemanfaatan dana bansos

Dana bantuan sosial dari 2013 sampai 2014 terus meningkat, dari Rp 69,8 triliun menjadi Rp 75,7 triliun. Dari semua dana tersebut, sebesar Rp 25,6 triliun tersebar di 10 kementerian yang menterinya berasal dari partai politik. Pemanfaatan dana bansos hampir sama dengan pemanfaatan program-program populis. Pemberian dana selalu disertai suatu seremoni yang dihadiri menteri dalam rangka kampanye terselubung.

Itulah kenapa sejak tahun 2013 banyak menteri rajin melakukan kunjungan kerja ke daerah terkait dengan realisasi bansos. Jika tidak dihadiri menteri, paling tidak dalam setiap pemberian bantuan labelisasi biasanya dilakukan dengan pemasangan gambar/foto yang mencerminkan figur atau sosok populer dari parpol tertentu, bisa tokoh nasional ataupun tokoh lokal selama masih dari parpol yang sama dengan menteri.

Dana optimalisasi

Sejak 2012, pemerintah mengenalkan dana optimalisasi yang tujuannya menunjang kinerja kementerian. Menariknya, jika pada 2013 dana optimalisasi hanya Rp 13 triliun, pada 2014 naik 2 kali lipat menjadi Rp 26,9 triliun. Seyogianya penggelontoran dana optimalisasi harus melalui syarat evaluasi kinerja di setiap kementerian/lembaga terlebih dahulu agar dapat diketahui seberapa jauh efektivitasnya bagi peningkatan kinerja yang menjadi tujuan utama pemberian dana tersebut. Namun, karena tujuan terselubungnya adalah untuk mencari dana-dana titipan bagi kepentingan parpol yang duduk di kekuasaan, tanpa perlu evaluasi lagi dana optimalisasi langsung dinaikkan lebih dari 100 persen.

Dari keempat praktik pemanfaatan anggaran negara tersebut memang tidak bisa dikatakan melanggar hukum secara langsung, kecuali jika terbukti terjadi penggelapan atau penyimpangan nantinya. Namun, praktik demikian merupakan pembodohan kepada rakyat yang justru akan membuat rakyat semakin pragmatis karena banyaknya program karitatif. Upaya membangun kesadaran kritis terhadap anggaran yang dilakukan oleh semua elemen (termasuk pemerintah) selama ini akhirnya menjadi kesia-siaan belaka hanya karena kepentingan politik sempit dan bersifat jangka pendek. Selamat berkampanye.
Indeks Prestasi

Post a Comment