Politik Dromologi

Politik Dromologi

Ali Rif’an  ;   Peneliti Pol-Tracking Institute;
Mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Indonesia
REPUBLIKA,  04 Maret 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                      
Menjelang Pemilu 2014, perang pencitraan mulai menyesaki ruang-ruang publik. Berbagai cara untuk mendongkrak elektabilitas partai terus dilakukan. Mulai dari membombardir iklan politik di media elektronik, menyebar atribut kampanye, hingga safari politik.

Celakanya, dalam sejumlah iklan politik, organisasi kemasyarakatan (ormas) yang selama ini antipolitik praktis ditarik-tarik mendukung salah satu parpol. Bahkan, angkutan umum dijadikan medium untuk kampanye politik. Lebih lucu lagi, partai yang selama ini tak pernah bersafari ke pondok pesantren mendadak mendatanginya.
Belakangan, kita menyaksikan pemandangan menggelikan ihwal tarik-menarik penggunaan atribut Gus Dur antara PKB dan PPP. PPP yang selama ini dianggap berseberangan dengan pemikiran mendiang Gus Dur tiba-tiba berniat untuk memasang atribut Gus Dur.

Fenomena itulah yang oleh Yasraf A Piliang disebut politik dromologi, yakni politik yang berlari kencang. Yasraf mengutip Paul Virilo dalam Lost Dimension mengatakan bahwa di dalam dunia yang dikuasai oleh kecepatan, perang politik ruang sekarang berubah menjadi perang politik waktu (Piliang, 2005:428).

Artinya, di dalam politik dromologi, strategi politik bukan lagi persoalan menguasai wilayah teritori (ruang), melainkan bagaimana mampu mengubah persepsi masyarakat dalam (waktu) cepat. Itulah mengapa politik hari-hari ini berlomba berlari kencang menjelang Pemilu 2014 yang sudah di depan mata.

Jalan pintas 

Sayangnya, politik yang berlari ken - cang kini sering menabrak aturan main.
Banyak di antara partai politik yang ingin memenangi pemilu menggunakan jalan pintas. Bahkan demi berlari kencang, watak pragmatis dan transaksional menjadi hal yang harus dimiliki parpol.

Lihat saja, sekarang ini banyak parpol berlomba menarik pengusaha untuk bergabung ke dalam partai. Tujuannya tentu jelas bahwa partai ingin mendapatkan "amunisi baru" guna mendukung serangan udara menjelang pemilu.

Para pemilik modal itu kemudian menempati posisi sangat strategis di partai. Contoh kasat mata adalah bergabungnya Bos MNC Group Hary Tanoesoedibjo ke Partai Hanura beberapa waktu lalu dan Bos Lion Air Rusdi Kirana ke PKB baru-baru ini. Hary Tanoe menduduki posisi ketua Dewan Pembina Partai Hanura, sementara Rusdi Kirana menjabat wakil ketua umum DPP PKB.

Pada titik inilah, tukang becak pun tahu jika tidak ada deal-deal politik (transaksi politik) mustahil Hary dan Rusdi tiba-tiba melejit di posisi elite parpol. Sebagai akibatnya, parpol yang dikendalikan oleh pemilik modal pada gilirannya tak hanya berwatak pragmatis, tapi juga memiliki nalar kapitalistis.

Dalam dunia politik, nalar kapitalistis ini sangat berbahaya karena waktu dan kecepatan ditafsirkan berdasarkan dimensi keuntungan semata, yang meminggirkan model pengorganisasian ruang-waktu lainnya. Apalagi, nalar kapitalistis sesunggguhnya berdimensi tunggal: dimensi kecepatan penumpukan kapital dengan menihilkan dimensi perenungan, refleksi, pembangunan kearifan, dan pencarian makna hidup yang sejati.

Dalam pandangan Paul Virilio, politik yang terjebak dalam pola kecepatan informasi yang kapitalistis akan terbawa dalam pola temporalitas, kesementaraan, fragmentasi, dan diskontinuitas, yang di dalamnya minus perenungan (politik). Buntutnya, politik akan kehilangan nilai luhur. Hal itu disebabkan karena kecepatan--yang dikontruksi atas motif kepentingan ekonomi dan kecepatan pengumpulan kapital--telah menciptakan manusia politik berwatak "homo-animalis" atau "homo-criminalis". Ciri manusia politik semacam itu biasanya akan melakukan berbagai tindakan tak manusiawi, kekerasan, dan kejahatan dalam rangka membangun kekuasaan ekonomi-politik.

Itulah mengapa politik dromologi kerap mendatangkan sebuah paradoks. Sebab, dalam politik dromologi, kecepatan politik justru menggiring pada proses penghancuran politik itu sendiri (prinsip, kualitas, nilai, makna). Untuk itu, politik dromologi sudah semestinya diiringi dengan etika politik. Etika plitik berfungsi sebagai aturan main dalam politik. Etika politik memberikan patokan-patokan orientasi dan pegangan-pegangan normatif bagi politikus yang mau memiliki kualitas tatanan dan kehidupan politik dengan tolok ukur martabat manusia.

Dalam partai politik, etika politik ini juga bisa disebut fatsun politik. Fatsun politik inilah yang harus dijadikan pegangan dalam setiap tindak-tanduk partai. Fatsun politik tak hanya tertulis di AD/ADT sebuah parpol, tapi aturan-- bisa berupa etika sosial--yang lazim dihormati di masyarakat. Bagi parpol yang benar-benar "mengerami" fatsun politik, sekencang apa pun ia berlari, pasti tidak akan menabrak aturan. Di sinilah, politik dromologi pada gilirannya tidak lagi menjadi sebuah paradoks, tapi bisa mendatangkan sesuatu yang positif. Semoga.
Indeks Prestasi

Post a Comment