Prof Dr (Kucing) Jany

Prof Dr (Kucing) Jany

Moh Mahfud MD  ;   Guru Besar Hukum Konstitusi
KORAN SINDO,  01 Maret 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                                                                                       
Beberapa tahun lalu, saat saya masih menjadi anggota DPR periode 2004-2009, ada berita yang mengejutkan dunia akademik di Indonesia. Seorang bupati mendapat gelar kehormatan (honoris causa) sebagai guru besar (profesor) dari sebuah perguruan tinggi swasta (PTS) di Indonesia.

Pengukuhan guru besar itu dilakukan melalui upacara ”pidato pengukuhan” di pendapa kabupaten di mana sang bupati berkantor. Berita itu menyentak komunitas akademik karena profesor adalah jabatan fungsional akademik, bukan gelar akademik. Banyak yang mengejek dan menertawakan: mana ada jabatan akademik di-honoriscausakan? Mana pula ada pengukuhan profesor dilakukan di pendapa kabupaten? Jabatan profesor hanya bisa diperoleh oleh mereka yang menjadi dosen dengan gelar doktor yang diperoleh secara reguler atau terstruktur.

Jabatan profesor juga hanya bisa diperoleh melalui penjenjangan jabatan fungsional, dari asisten (dengan segala cabangnya), lektor (dengan segala cabangnya), dan profesor. Tidak ada jabatan profesor yang diberikan atau bisa diterima sebagai jabatan kehormatan atau honoris causa, seperti halnya tak ada jabatan direktur jenderal ”honoris causa” sebagai jabatan struktural. Jabatan profesor hanya bisa diperoleh dan diberikan kepada ”tenaga pengajar” perguruan tinggi yang telah berhasil menghimpun angka kredit atau CCP (commulative credit points) dalam bidang akademik sejumlah minimal 850 kredit.

Sebanyak 25% (212,5 kredit) dari kredit kumulatif harus dikumpulkan dari kegiatan pendidikan dan pengajaran seperti mengajar, membuat modul, dan membimbing disertasi. Sulitnya, kalau mengajar satu mata kuliah dalam satu semester hanya dihitung 1,5 atau 2 kredit (tergantung jabatannya), padahal dalam satu semester jumlah mengajarnya dibatasi. Jadi dari aspek pendidikan dan pengajaran saja diperlukan waktu belasan tahun mengajar secara terus-menerus bagi seorang dosen yang ingin mendapat jabatan profesor. Adapun 25% (212,5 kredit) harus dikumpulkan dari hasil penelitiandankaryatulisilmiah.

Ini pun tidak main-main, sebab kalau hanya artikel di koran atau di majalah pop tidak dianggap karya ilmiah; apalagi cuma wawancara-wawancara atau pemberitaan tentang seseorang. Karya ilmiah mencakup penelitian, penulisan buku, dan jurnal ilmiah yang harus dinilai oleh dewan guru besar (penilai) secara bertingkat, mulai dari tingkat perguruan tinggi sampai tingkat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Dari karya tulis ilmiah itu harus ada yang sudah dipublikasikan dalam jurnal internasional.

Bayangkan, betapa berat mengumpulkan 212,5 kredit karya tulis ilmiah yang kelayakannya harus diuji oleh dewan penilai yang sudah mencapai gelar dan jabatan akademik tertinggi. Dan sebanyak 50% sisanya (425 kredit) harus dikumpulkan dari kegiatan pengabdian pada masyarakat dan kegiatan penunjang, seperti ceramah umum, ceramah radio dan televisi, penyuluhan, yang juga harus relevan dengan bidang ilmunya. Karena begitu beratnya persyaratan untuk menjadi profesor itu, banyak orang yang sudah doktor pun tak sanggup dan malas atau menyatakan takluk untuk menghimpun angka kredit yang dahsyat itu.

Kalau gelar doktor bisa diperoleh secara honoris causa, maka jabatan profesor tidak bisa. Di Indonesia banyak orang tergila-gila pada atribut-atribut akademik yang ingin didapatnya secara instan. Banyak yang ingin menjadi doktor, berkasak-kusuk ke sana dan kemari agar diberi gelar doktor honoris causa, bahkan ada yang membentuk timsukses, sepertiakanmerebut jabatan politik. Mantan Rektor Universitas Diponegoro Prof Eko Budiardjo pernah menulis di majalah mingguan terkemuka di Indonesia bahwa di Amerika Serikat banyak orang iseng menawarkan gelar akademik yang nama universitasnya hanya beralamat di rumah orang, bukan kampus.

Universitas fiktif itu menawarkan gelar doktor seharga USD100 atau master seharga USD50 dan yang berminat cukup mengirim uang lewat pos atau SMS banking, tak usah datang sendiri, nanti ijazahnya yang ditulis dalam ”Bahasa Inggris” dikirimkan. Kata Prof Eko, tawaran seperti itu sering dilayani secara iseng pula oleh orang-orang Amerika, yakni banyak yang mengirim uang untuk membelikan gelar pada binatang peliharaannya seperti pada kucing atau anjingnya. Maka muncullah binatang peliharaan yang mempunyai gelar seperti Prof Dr Jany (kucing) atau Prof Dr Helly (anjing).

Celakanya, di Indonesia, banyak yang menyikapi tawaran yang hanya layak untuk kucing itu sebagai hal yang serius sehingga membelinya untuk gagah-gagahan. Banyak yang membeli ijazah doktor atau master dari universitas kaki lima. Ada yang membelinya dari ”label” luar negeri untuk kemudian di wisuda di hotel-hotel mewah dengan membayar sampai belasan juta rupiah.

Saat saya masih aktif di Badan Akreditasi Nasional (BAN) Kemendikbud, bahkan ada istilah three in one, mendapat tiga ijazah (sarjana, master, dan doktor) dengan sekali bayar sebesar Rp20 juta, tetapi kalau membeli satu harganya Rp10 juta. Padahal itu semua adalah gelar-gelar palsu belaka. Dengan menulis ini saya tak bermaksud menunjuk siapa pun. Ini demi kesucian dunia akademik. Pekan lalu pun saya menulis di kolom ini tentang bahayanya plagiarisme di dunia akademik.
Indeks Prestasi

Post a Comment