Renegosiasi dan Kuasa Korporasi

Renegosiasi dan Kuasa Korporasi

 Ferdy Hasiman  ;   Peneliti di Indonesia Today
KOMPAS,  14 Maret 2014

                                                                            
                                                                                                             
TANGGAL 7 Maret 2014, pemerintah telah menandatangani amandemen kontrak dengan 25 perusahaan tambang di Kementerian ESDM. Namun, hal itu bukan berarti pemerintah sukses merenegosiasi kontrak.

Perusahaan-perusahaan itu tak terlalu potensial meningkatkan penerimaan negara karena sebagian besar belum berproduksi. Luas lahannya pun kurang dari 25.000 hektar sehingga renegosiasi kontrak tidak terlalu sulit. Tantangan bagi pemerintah adalah bagaimana memaksa perusahaan-perusahaan tambang besar untuk merenegosiasi kontrak.

Renegosasi masih berjalan alot karena kontrak karya (KK) besar (Freeport, Newmont, dan G-Resources) dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara (PKP2B) besar (Kaltim Prima Coal, KFC, Arutmin, Adaro, Berau Coal, dan Kodeco) belum sepenuhnya sepakat dengan enam poin renegosiasi: soal penerimaan negara, luas lahan, perpanjangan kontrak, kewajiban divestasi, kewajiban pengolahan dalam negeri, serta kewajiban penggunaan barang dan jasa pertambangan dalam negeri.

Padahal, pemerintah telah mengeluarkan Keppres No 3/2012 tentang Pembentukan Tim Evaluasi untuk Penyesuaian KK dan PKP2B. Keppres tersebut amanat Pasal 169 (b) UU No 4/2009 tentang Mineral dan Pertambangan (Minerba) agar pemerintah menyesuaikan KK dan PKP2B paling lambat satu tahun setelah masa berlaku.

Luas lahan

Tulisan ini hanya mengulas satu poin penting dari enam klausal renegosiasi, yaitu luas lahan. Hampir semua perusahaan tambang tak rela jika luas lahannya diciutkan. Padahal, luas lahan penting karena bersentuhan dengan kehidupan masyarakat komunal. Korporasi tambang juga telah merampas lahan warga yang memicu konflik agraria dan pemiskinan masyarakat adat sehingga memicu protes warga lokal. Protes warga Sumbawa Barat terhadap Newmont dan konflik bertahun-tahun antara warga Papua dan Freeport adalah contoh. Tanah tempat mereka melangsungkan hidup dicaplok dan terjadi eksklusi sosial.

Freeport Indonesia, misalnya, sejak beroperasi tahun 1967, telah menorehkan catatan buruk: pencemaran lingkungan, deforestasi, dan masyarakat asli terpinggirkan. Warga Komoro dan Amungma harus minggir ke kawasan Mimika dan Puncak Jaya dengan berbagai tekanan politik. Warga Amungma di sekitar puncak Jayawijaya memang mendapat permukiman dan perkebunan dari Freeport, tetapi mereka tetap pulang kampung dan tinggal di sekitar areal pertambangan, seperti Kampung Banti, Waa, dan Aranop di aliran Sungai Wanigon.

Mereka mengimani, tanah layaknya figur ibu yang merawat, mendidik, dan membesarkan. Namun, sejak Freeport beroperasi, Sungai Wanigon jadi tempat pembuangan limbah tambang. Ini memicu gerakan perlawanan rakyat. Mereka gelisah komunitas kultural dan sosial. Maka, renegosiasi bukan hanya deal ekonomi semata, melainkan soal penegakan hak rakyat atas tanah.

Penguasaan lahan KK dan PKP2B terlalu besar. Freeport menguasai 202.950 hektar yang terentang mulai dari Mimika, Paniai, Jaya Wijaya, dan Puncak Jaya. Newmont memiliki luas lahan 1,127 juta hektar untuk wilayah Pulau Lombok dan Sumbawa atau setara dengan 55,93 persen luas daratan NTB sebesar 2,015 juta hektar. KPC seluas 90.960 hektar dan Arutmin 70.153 hektar. UU Minerba (Pasal 52) hanya memberi batasan luas lahan pada perusahaan tambang maksimal 25.000 hektar.

Apakah penetapan batasan lahan ini berlaku juga untuk KK dan PKP2B? Boleh jadi pemerintah hanya ingin membatasi luas lahan bagi Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang mencapai angka puluhan ribu hektar itu. Persoalannya, korporasi-korporasi besar ke depan butuh lahan yang luas agar menambah kapasitas produksi untuk memenuhi permintaan pembeli mereka di luar negeri dan menghidupi industri mereka sendiri.

Semakin besar lahan yang disabotase, semakin luas pula perlawanan warga terhadap kinerja perusahaan. Untuk mengamankan produksi, permintaan terhadap keamanan pun akan meningkat. Dengan itu, aparat militer akan dikerahkan untuk menjaga pertambangan agar mengamankan investasi dari gerogotan warga.

Ke depan, bukan tak mungkin persoalan HAM besar akan terulang kembali di sekitar areal pertambangan. Lonjakan ekspor bahan mentah pun akan meningkat tajam jika tidak segera mengimplentasikan Peraturan Menteri ESDM No 7/2012 tentang batas atas ekspor mineral dan kewajiban membangun smelter bagi KK dan PKP2B.

Dekonstruksi UU Minerba

Jika luas lahan untuk KK dan PKP2B direnegosiasi, rujukannya apa? UU Minerba bukan tanpa cacat. UU itu hanya mengatur pertambangan berskala kecil (IUP). KK dan PKP2B adalah rezim kontrak berskala besar. Dalam UU Minerba, tanah diartikan sebagai komoditas yang perlu dijual ke investor, tanpa hak rakyat atas tanah. Implementasi UU Minerba di daerah pun amburadul, korupsi dalam pemberian konsensi meluas, kerusakan lingkungan, dan deforestasi tak terbendung. Tak aneh jika ada tuduhan bahwa UU Minerba disusupi kepentingan korporasi sehingga perlu didekonstuksi.

Dekonstruksi penting dilakukan agar kita bisa melihat secara jernih siapa yang merancang dan untuk siapa UU ini dibuat. Pasti banyak pihak yang ada di balik rancangan UU itu. Pihak-pihak di belakang itu bisa saja korporasi global-lokal yang memiliki karakter sama: tak dapat menjamin keadilan sosial, merusak konstitusi UUD 1945, dan membunuh demokrasi dengan bendera logika kepentingan diri. UU Minerba pun lahir dalam era reformasi yang syarat nuansa politik oligarki sehingga hanya menguntungkan korporasi. Jalan terakhir untuk melindungi hak ulayat warga adalah  mengeluarkan keppres tentang pembatasan lahan bagi KK dan PKP2B. Namun, beranikah Presiden mengeluarkan kebijakan itu?

Korporasi tetap menggusur kehidupan orang banyak dan melumpuhkan demokrasi. Korporasi lokal-global bahu-membahu membendung jalan menuju renegosiasi kontrak. Kedaulatan rakyat kemudian disabotase oleh kepentingan korporasi. Di tangan mereka, rakyat termaginalkan karena pusat kehidupan warga lokal, seperti lahan pertanian dan hutan lindung disabotase hanya untuk pertambangan. Maka, pada pemilu mendatang publik mesti diadvokasi oleh kelompok kritis, seperti LSM, pers, dan kalangan intelektual agar rakyat menjadi cerdas dan bisa menggantikan rezim yang tersandera bayang-bayang gelap korporasi.
Indeks Prestasi

Post a Comment