Siluman Century dan Medali untuk KPK

Siluman Century dan Medali untuk KPK

 Bambang Soesatyo  ;   Anggota Tim Pengawas Penyelesaian Kasus Century DPR RI
KORAN SINDO,  13 Maret 2014
                                                                                                           
                                                                                         
                                                                                                             
Proses hukum megaskandal Bank Century akhirnya mencapai tahapan baru yang strategis. Setelah proses penyelidikan dan penyidikan bertahun-tahun yang rumit dan berliku serta sarat hambatan, satu berkas perkara dengan terdakwa mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia Budi Mulya mulai disidangkan di Pengadilan Tipikor Jakarta.

Sekaligus mematahkan pernyataan Presiden SBY bahwa Boediono atau kebijakan tidak bisa disalahkan atau dipidana. Lebih dari itu, hasil pemeriksaan KPK berdasarkan pengakuan mantan Menteri Keuangan dan Ketua Komite Stabilitas Sektor Keuangan (KSSK) Sri Mulyani di Washington DC, juga membuktikan bahwa Presiden SBY mengetahui masalah Bank Century karena telah dilaporkan Sri kepada Presiden SBY pada 13 November 2008 saat transit di Tokyo, Jepang dalam perjalanan menuju Amerika Serikat untuk mengikuti acara G-20.

Bahkan menurut keterangan Sri, Presiden memberikan arahan dan kemudian memerintahkan dirinya kembali ke Tanah Air untuk mengatasi masalah Bank Century. Kalau boleh dan dimungkinkan oleh aturan dan undang-undang, ingin rasanya DPR atas nama rakyat Indonesia menganugerahkan ”Medali Keberanian” kepada pimpinan dan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena telah menyentuh salah satu mahkota kekuasaan. Keberanian tersebut harus kita kawal pada tahapan strategis berikutnya di pengadilan.

Jangan sampai hakim Pengadilan Tipikor kehilangan nyali saat memeriksa para aktor pembantu dan aktor utama perumus kebijakan bailout yang berujung pada penjarahan triliunan rupiah uang negara itu. Jika diibaratkan titik pencapaian, proses hukum skandal Bank Century hingga tahap persidangan Budi Mulya di pekan pertama Maret 2014 sudah menempuh perjalanan sangat panjang, rumit, dan berbelit. Ukuran waktunya mengacu pada rekomendasi Sidang Paripurna DPR tentang proses hukum kasus Bank Century pada Maret 2010.

Dalam rentang waktu hampir tiga tahun (2010, 2011, dan 2012), penanganan megaskandal ini lebih banyak menyuguhkan sandiwara atau rekayasa. Penegak hukum hanya menyergap orang-orang kecil yang tidak tahu bagaimana proses merumuskan penyelamatan Bank Century oleh beberapa orang anggota Dewan Gubernur Bank Indonesia (BI) dan Komite Stabilisasi Sistem Keuangan (KSSK). Rekomendasi Paripurna DPR menegaskan ada penyalahgunaan wewenang pada level elit institusi BI dan KSSK. Namun, para elite dari dua institusi itu nyaris tak tersentuh.

Bahkan, ada semacam upaya mengacaukan konstruksi hukum kasus ini, dengan cara menangkap dan mengadili sejumlah orang dari luar BI maupun KSSK. Baru pada 2013, KPK berupaya meluruskan kembali konstruksi hukum kasus Bank Century. Dimulai dengan menetapkan dua mantan deputi gubernur BI sebagai tersangka, serta memeriksa ulang mantan Menteri Keuangan/Ketua KSSK Sri Mulyani di Washington, dan memeriksa juga mantan gubernur BI yang kini menjabat wakil presiden, Boediono.

Tidaklah mengejutkan ketika pada sidang pertama terdakwa Budi Mulya, Kamis, 6 Maret 2014, jaksa penuntut umum KPK langsung menyebut keterlibatan sejumlah nama. ”Terdakwa (Budi Mulya) selaku deputi gubernur BI, menyalahgunakan wewenang dalam jabatannya secara bersama-sama dengan Boediono selaku gubernur BI, Miranda S Goeltom selaku deputi senior BI, Siti Fadjriah selaku deputi gubernur Bidang 6, Budi Rochadi almarhum selaku deputi gubernur Bidang 7, Robert Tantular dan Harmanus H Muslim,” demikian dakwaan jaksa penuntut KPK.

Bunyi dakwaan yang demikian itu predictable alias tidak mengejutkan. Pasalnya, semua kebijakan atau keputusan BI yang strategis dirumuskan dan ditetapkan oleh dan dalam Rapat Dewan Gubernur BI. Dengan demikian, keputusan rapat bersifat kolektif kolegial. Jadi, tidak logis kalau hanya Budi Mulya yang dituduh menyalahgunakan wewenang untuk memperkaya diri atau orang lain. Apalagi dalam berkas perkara Budi Mulya No.BP/06/23/01/2014 yang disusun jaksa penuntut KPK pada poin 11, dengan jelas menegaskan ada motif atau niat jahat dan konflik kepentingan dalam penyelamatan Bank Century.

Setelah sidang perdana Budi Mulya itu, masih banyak yang harus digali oleh penyidik KPK maupun para hakim tipikor. Paling penting yang harus digali hakim tipikor dari terdakwa maupun para saksi adalah menemukan aktor utama dibalik rangkaian proses penyelamatan Bank Century. Tidak kalah pentingnya adalah sosok yang mengotaki mark up atau penggelembungan gila-gilaan nilai bailout itu. Menemukan aktor utama sangatlah penting karena bisa jadi Boediono hanyalah pemain figuran.

Apalagi, Boediono sendiri sudah cuci tangan dengan menunjuk Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) sebagai pihak yang semestinya bertanggung jawab dan menjelaskan gelembung dana talangan itu. Pertanyaan besar yang belum terjawab hingga kini adalah soal aliran dana. Begitu banyak kejanggalan atas masalah yang satu ini. Untuk memperjelasnya, hakim tipikor juga perlu menggali ke mana saja triliunan rupiah dana talangan yang diambil dari LPS itu mengalir. Siapa saja pihak yang mengambil keuntungan. Sekadar patokan, hakim tipikor bisa mengacu pada sinyalemen mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum yang pernah mengungkap sejumlah nama. Timwas DPR untuk kasus Bank Century pun sedang mendalami informasi itu.

Hakim Harus Berani Mendalami

Saat menghadirkan Boediono sebagai saksi Budi Mulya, hakim tipikor hendaknya mau mendalami pernyataan Boediono yang tiba-tiba menuding LPS sebagai pihak yang paling bertanggung jawab atas gelembung dana talangan dari Rp632 miliar menjadi Rp6,7 triliun. Bukankah KSSK yang seharusnya bertanggung jawab karena jumlah yang dikeluarkan LPS sejatinya berdasarkan rekomendasi KSSK? Apalagi, dalam dakwaan jaksa penuntut KPK untuk terdakwa Budi Mulya, sama sekali tidak disebutkan keterlibatan LPS secara detail.

Demikian juga dengan ketua KSSK Sri Mulyani, yang dalam berkas pemeriksaannya tegas-tegas mengatakan bahwa data BI tidak akurat. Dan, data itu sangat memengaruhi perhitungan besaran dana penyelamatan Bank Century. Sri Mulyani kecewa dan sangat marah. Pasalnya, Sabtu pukul 05.00 WIB, 22 November 2008, dia menandatangani persetujuan jumlah dana bailout Rp632 miliar sesuai permintaan Boediono. Tanpa sepengetahuannya, dana bailout tiba-tiba bisa membengkak menjadi Rp2,7 triliun pada posisi Senin, 24 November 2008.

Banyak kalangan heran karena penggelembungan terjadi dalam dua hari, Sabtu dan Minggu pula. Sejarah kemudian mencatat bahwa penggelontoran dana talangan Bank Century tidak berhenti pada angka Rp2,7 triliun itu. Bank sarat masalah itu terus diberi dana talangan hingga jumlahnya membengkak menjadi Rp6,7 triliun pada Juli 2009, seusai pemilu presiden dan wakil presiden yang dimenangkan pasangan SBY-Boediono dari Partai Demokrat. Ada begitu banyak kejanggalan dalam kasus ini, dan semua kejanggalan itu sudah dibeberkan kepada publik.

Majelis hakim tipikor tentunya juga mencatat kisah kemarahan Wakil Presiden (saat itu) Jusuf Kalla yang tidak diberikan laporan mengenai proses penyelamatan Bank Century. Bahkan, Wapres tampaknya diisolasi oleh KSSK dan BI dari operasi penyelamatan Bank Century. Sebagai pelaksana tugas presiden saat itu (karena presiden sedang di luar negeri), KSSK dan BI mestinya berkonsultasi dan melapor kepada Jusuf Kalla. Ketua KSSK dan Gubernur BI pasti memahami aturan sederhana ini.

Pertanyaannya, mengapa menteri Keuangan/Ketua KSSK Sri Mulyani dan Gubernur BI/Anggota KSSK Boediono berani meremehkan dan mengisolasi Wakil Presiden/Pelaksana Tugas Presiden Jusuf Kalla dari kebijakan menyelamatkan Bank Century? Boleh jadi, ada kekuasaan lebih besar yang memerintahkan mereka berperilaku demikian. Akhirnya, soal yang paling memprihatinkan adalah kenyataan bahwa tak ada satu pun institusi di negara ini yang mau mempertanggungjawabkan penggunaan dana LPS sebesar Rp6,7 triliun lebih itu. Pasalnya, KSSK hanya mau bertanggung jawab atas penggunaan Rp632 miliar. Sri menuding BI sebagai biang keroknya karena menyajikan data yang tidak akurat.

Lucunya, Boediono justru menunjuk LPS sebagai pihak yang paling bertanggung jawab. Namun, LPS menolak dan membantah tudingan Boediono. Kalau begitu, ada siluman dalam manajemen pemerintahan ini yang leluasa menggunakan uang triliunan rupiah tanpa harus mempertanggungjawabkannya. Mudah-mudah-an, semua keanehan ini tidak luput dari perhatian majelis hakim tipikor. Begitulah. Para pejabat hebat itu akhirnya saling tunjuk dan buang badan.

Kalau pemerintah atau KSSK dan BI tidak mau bertanggung jawab, sama artinya rakyat disuruh meminta pertanggungjawaban kepada siluman. Ini sangat memalukan, karena KSSK dan BI mau diperalat untuk menjarah dana di LPS. Walaupun, tentu kita tidak boleh curiga bahwa pada akhirnya mantan gubernur BI itu menjadi wakil presiden dan Sri Mulyani tetap bertahan di posisinya sebagai menteri keuangan pada Kabinet Indonesia Bersatu jilid-2.

Karena hal tersebut adalah hak prerogatif presiden terpilih. Karena itu, setelah jaksa penuntut dari KPK memperjelas keterlibatan Boediono melalui dakwaan terhadap mantan Deputi Gubernur BI Budi Mulya, penyidik KPK hendaknya mulai memburu siluman atau aktor utama yang mengotaki penjarahan dana talangan Bank Century menjelang Pemilu 2009–2014 tersebut.
Indeks Prestasi

Post a Comment