Korupsi Sudah Jadi Cita-Cita? Marwan Mas ; Guru Besar Ilmu Hukum Universitas 45, Makassar |
KORAN SINDO, 13 Maret 2014
Jika di awal kemerdekaan korupsi sesuatu yang memalukan, di era reformasi ini jauh lebih parah lantaran tidak lagi mengenal waktu dan kondisi. Tidak ada lagi rasa takut untuk korupsi, bahkan sudah menjadi kesempatan yang dicita-citakan. Secara terselubung, korupsi sudah dicita-citakan sebelum masuk dalam sistem pemerintahan. Indikasi itu banyak tersaji di sidang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), seperti ada fakta penyelewengan APBN-APBD untuk mengembalikan dana politik oleh sejumlah kepala daerah yang jadi terdakwa. Berdasarkan catatan Indonesia Corruption Watch (ICW), tahun 2013 sebanyak 35 kepala daerah yang didominasi bupati/wali kota meringkuk di balik terali besi karena korupsi. Korupsi bukan hanya menjadi langganan pemegang kekuasaan di pusat. Fakta menunjukkan kalau pemerintahan di daerah telah menjadi lumbung korupsi baru. Inilah salah satu imbas negatif dari desentralisasi yang bukan hanya mendistribusi kekuasaan, melainkan juga distribusi-korupsi yang dibalut implementasi pemerataan dari pusat ke daerah. Sinyalemen lainnya dapat dilihat pada banyaknya anggota legislatif dan eksekutif yang berselingkuh dengan pengusaha atau menjadi broker proyek. Praktik seperti itu terungkap dalam kesaksian mantan Kepala Biro Keuangan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Didi Dwi Sutrisno Hadi di Pengadilan Tipikor Jakarta (25/2/2014). Didi bersaksi untuk terdakwa Rudi Rubiandini yang mengonfirmasi begitu mudahnya uang negara dijadikan bancakan. Menurut saksi, empat pimpinan Komisi VII DPR menerima tunjangan hari raya masing-masing USD7.500, sedangkan 43 anggota komisi menerima USD2.500 per orang, dan untuk sekretariat USD2.500. Jika keterangan itu benar, tidak keliru jika kita sebut negeri ini sudah terjebak pada pelembagaan korupsi. Keterangan itu juga menguatkan dugaan bahwa nyaris tidak ada lagi partai politik yang betul-betul bersih dari perilaku korupsi. Maka itu, kita mendukung penjatuhan hukuman berat hakim agung dan upaya KPK menerapkan undang-undang pencucian uang. Selain memiskinkan koruptor sebagai efek jera, juga bisa menimbulkan rasa takut bagi calon koruptor yang antre di berbagai institusi negara. Tidak Gratis Banyak yang menilai demokrasi berbiaya tinggi menjadi pemicu potensial bagi seseorang menyalahgunakan wewenang saat kekuasaan diraih. Uang besar yang dikeluarkan saat proses meraih kekuasaan, baik di legislatif, eksekutif, maupun yudikatif, akan mendorong seseorang melakukan korupsi. Tujuannya ingin mengembalikan semua biaya yang dikeluarkan. Bukan hanya modal yang harus kembali, melainkan juga perlu ada labanya. Meraih kekuasaan dengan biaya mahal merupakan indikator yang sulit dibantah. Untuk menduduki kursi kekuasaan, siapa pun boleh ikut asalkan punya uang. Muncullah anekdot bahwa ”orang miskin dilarang jadi calon kepala daerah atau calon anggota legislatif (caleg)”. Sepertinya tidak ada lagi jabatan yang betulbetul gratis, selalu ada ongkosnya. Bergantung pada tinggi dan besarnya jabatan yang diincar. Semakin besar posisi suatu jabatan, semakin besar pula biaya yang harus disiapkan. Mungkin saja ada syarat biaya pendaftaran yang tidak besar jumlahnya, tetapi biasanya perlu biaya tambahan untuk pelicin lantaran banyaknya orang yang mengincar jabatan itu. Setelah berkuasa, penghasilan harus setara dengan usaha keras dan biaya yang dikeluarkan. Muncullah tuntutan fasilitas yang melebihi anggaran yang telah diinvestasikan. Banyak fakta hukum yang terungkap dalam sidang pengadilan korupsi, anggota legislatif atau pejabat publik yang jadi terdakwa karena pengaruh pembiayaan politik yang tinggi. Betulkah demokrasi selalu berbiaya tinggi? Sebab ada juga yang bisa duduk di kursi legislatif tanpa mengeluarkan biaya besar. Kalaupun ada biaya, tidak akan mendorongnya untuk mengembalikan dana yang dikeluarkan dengan korupsi. Sosok seperti inilah yang mestinya dicari dan dipilih dalam Pemilu 2014, tetapi amat susah ditemukan. Masih saja ada caleg yang belum terbuka ke publik, atau tidak mau melaporkan buku rekening kampanyenya kepada Komisi Pemilihan Umum. Pencegahan Sosial Besarnya kerugian negara yang ditimbulkan oleh koruptor, tentu saja menyakiti hati rakyat yang masih lebih banyak hidup miskin. Yang patut dikedepankan pada semakin masifnya perilaku korupsi adalah upaya pencegahan secara sosial. Misalnya, menanamkan nilainilai agama secara progresif oleh muballik dan tokoh agama dengan menyentil hati nurani pejabat negara untuk ”merasa malu” jika dalam hatinya tebersit menjadikan korupsi sebagai cita-cita. Tetapi kita tidak boleh pesimistis, para pemburu jabatan yang begitu banyak mengeluarkan dana untuk biaya kampanye, perlu disadarkan bahwa gaji atau penghasilan di tempat yang dituju tidak selalu besar. Jangan sampai ”besar pasak daripada tiang”, biaya yang dikeluarkan tidak sebanding dengan gaji selama lima tahun. Jika tidak sadar juga, biar KPK, kepolisian, dan kejaksaan yang bertindak jika betul-betul melakukan korupsi. Menumbuhkan rasa malu kalau korupsi sudah dicita-citakan, setidaknya bisa dilakukan dengan mematangkan institusionalisasi demokrasi. Ia akan menjadi alat pencegahan korupsi dengan menanamkan pemahaman bahwa jabatan yang akan diraih adalah amanah, bukan ajang cari uang secara tidak halal. Merasa malu kalau terlibat korupsi harus terus digelorakan oleh seluruh pilar demokrasi. Kalaupun KPK selaku institusi antikorupsi begitu hebat memberantas korupsi, tidak berarti upaya pencegahan diabaikan. Gerakan sosial membudayakan rasa malu melakukan korupsi harus dilembagakan. Segarang apa pun KPK, kejaksaan, dan kepolisian, kita akan tetap kedodoran memerangi korupsi yang sudah menggurita. Pencegahan jauh lebih penting ketimbang penindakan yang tidak berefek penjeraan. Bila gagal melembagakan demokrasi dan pencegahan, apalagi korupsi sudah dicita-citakan, maka perilaku korupsi yang akan melembaga di tengah masyarakat. Kita terkesima oleh temuan Inspektorat Jenderal Kementerian Agama M Yasin (KORAN SINDO, 11/2/2014) yang ternyata dana ibadah haji pun diduga dikorup. Wallahu a’lam. ● |
Post a Comment