Supersemar Budiarto Shambazy ; Wartawan Senior Kompas |
KOMPAS, 15 Maret 2014
SELASA, 11 Maret 2014, lalu pas 48 tahun Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) terbit. Inilah salah satu tonggak penting sejarah perubahan politik kita. Situasi politik tahun 1966 semakin bergejolak akibat Gerakan 30 September 1965 pecah. Pasca Supersemar pada Februari 1967, posisi Presiden Soekarno semakin terjepit. Apalagi setelah Menteri Panglima Angkatan Darat Jenderal TNI Soeharto menjadi Ketua Presidium Kabinet Ampera/Pengemban Supersemar/ Pangkopkamtib. Hampir semua kalangan bersikap anti Bung Karno (BK). Pertanggungjawaban BK di MPRS, 22 Juni 1966, berjudul Nawaksara ditolak, juga Pelengkap Nawaksara, 10 Januari 1967. Tanggal 7 Februari 1967, BK melalui dua surat yang disampaikan lewat tokoh PNI, Hardi SH, menawarkan konsep ”surat penugasan khusus” kepada Pak Harto. Esok harinya tawaran itu ditolak. Pada 10 Februari, Pak Harto menemui BK membicarakan penolakan itu dan menyampaikan keinginan para menteri panglima keempat angkatan. Esoknya semua menteri panglima angkatan menemui BK, menawarkan konsep ”Presiden berhalangan dan menyerahkan kekuasaan” kepada Pak Harto sebagai pengemban Supersemar. Butir pertama, ”Kami Presiden RI/Mandataris MPRS/Pangti terhitung mulai hari ini menyerahkan kekuasaan pemerintahan kepada Pengemban Tap MPRS Nomor IX/1966 Jenderal Soeharto sesuai dengan jiwa Tap MPRS Nomor XV/1966 dengan tidak mengurangi maksud dan jiwa UUD ’45”. Butir kedua, ”Pengemban Tap MPRS Nomor IX/1966 melaporkan pelaksanaan penyerahan tersebut kepada Presiden setiap waktu dirasa perlu”. Waktu bergerak cepat ke Maret saat MPRS mengakhiri kekuasaan BK, 12 Maret 1967, melalui Tap MPRS XXXIII/MPRS/1967. ”Kudeta merangkak” terhadap BK menghilangkan kejayaan kita sebagai bangsa besar dengan militer disegani, mandiri dengan sumber daya manusia dan sumber daya alam melimpah, dengan utang luar negeri 2,5 miliar dollar AS, dan dengan etika moral-politik yang transformatif (non-transaksional). BK, Pak Harto, dan Gus Dur mundur tak melawan konstitusi karena tahu diri tak punya legitimasi. Saat membacakan pleidoi di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, 19 September 1995, Tri Agus Siswowihardjo memelésétkan Supersemar jadi ”sudah persis seperti Marcos”. Tri Agus diadili karena mengkritik Orde Baru. Ferdinand Marcos Presiden Filipina yang kabur ke Honolulu, Hawaii, Amerika Serikat. Ia terlibat korupsi dan membunuh Senator Benigno Aquino, suami Presiden Ny Corry Aquino. Selain pelésétan Supersemar, pleidoi Tri memopulerkan ”Su-dah Ha-rus To-bat”. Singkatan Sumbangan Dana Sosial Berhadiah (SDSB) ia sulap menjadi ”S Dalang Segala Bencana”. Lalu, kata ”hakim”, ia pelésétkan jadi ”hubungi aku kalau ingin menang” dan ”jaksa” jadi ”jika Anda kesulitan suaplah aku”. Singkatan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) ia urai jadi ”Kasih Uang Habis Perkara”. Anda ingat bagaimana nama seorang menteri Orde Baru (Orba) dipelésétkan jadi ”Hari-hari Omong Kosong”. Nama seorang presiden pun jadi ”Bicara Jago, Habis Bicara Bingung”. Pelésétan bagian dari bahasa politik yang tumbuh subur jika rakyat tertekan. Ia beredar dari mulut ke mulut dan menyehatkan. Orba dulu punya proyek mercu suar Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN). Ada yang menyebutnya ”Industri Penerima Tamu Negara” karena pabriknya hanya jadi ”tujuan wisata” tamu asing yang berkunjung ke sini. Di Thailand, pesawat IPTN dijuluki ”Gone with the Wind”, merujuk film Hollywood. Soalnya cat pesawat yang dikerjakan asal-asalan itu cepat terkelupas diterpa angin setiap kali mengangkasa. Berhubung IPTN bermarkas di Bandung, orang Priangan punya istilah sendiri. IPTN bagi mereka singkatan ”Ieu Pesawat Teu Ngapung-ngapung” (pesawatnya enggak bisa terbang). Negara tetangga, Singapura, dikenal sebagai tempat yang tak murah. Pemerintah rajin membangun apartemen-apartemen yang dikelola House Development Board (HDB). Bagi sebagian rakyat, HDB singkatan ”highly dangerous building” (gedung amat berbahaya). Soalnya ngeri tinggal di lantai 30-an apartemen mereka. Rakyat negeri itu dimanjakan berbagai fasilitas umum kelas satu berbiaya mahal. Maka, Public Utilities Board (PUB) dipelésétkan jadi ”pay until broke” (bayar terus sampai bangkrut). Salah satu PUB yang ngetop adalah electronic road pricing (ERP) yang diberlakukan di jalan-jalan protokol, seperti Orchard Road. Berhubung mahal, ERP diubah jadi ”everyday rob people” (tiap hari merampok rakyat). Partai yang selalu memenangi pemilu di sana People’s Action Party (PAP). Kalangan yang sinis menyebutnya ”Pay And Pay” (bayar terus). Dan, Anda tahu, Singapura menerapkan denda yang kesohor ke berbagai penjuru dunia sehingga dilédék dengan ”fine city”, yang artinya bisa kota yang teratur atau sedikit-sedikit main denda. Bangsa ini pun gemar pemelésétan politik. Undang-Undang Dasar (UUD ’45) diubah ”Ujung-ujungnya Duit Empat Liem”, istilah bisnis Ali-Baba yang merujuk ke Liem Swie Liong. Setelah mundur sebagai wapres, Bung Hatta mengubah ”dwi tunggal” jadi ”dwi tanggal”. Persis kayak gigi anak-anak yang suka ”tanggal” (copot). Bung Karno tak habis mengerti ada istilah Orba dan Orde Lama (Orla). Kepada pers, ia bilang cuma tahu ada ”Ordasi” (Orde Berdasi) dan ”Orplinplan” (Orde Plin-plan). Anda pasti pernah berdarmawisata ke Dieng, Jawa Tengah, dan mampir ke Goa Semar. Potongan tubuh dan wajah penjaga goa mirip Semar. Kalau begitu, singkatan Supersemar adalah ”sudah persis seperti Semar”. Ada lagi yang memelésétkan Supersemar menjadi ”sulit dipercaya, seram, dan top markotop!” ● |
Post a Comment