Boneka Maladewa

Boneka Maladewa

Flo K Sapto W ;   Praktisi Pemasaran
TEMPO.CO,  28 Maret 2014
                                      
                                                                                         
                                                      
Rekaman video Aburizal Bakrie (ARB) bersama Marcella Zalianty (MZ) dan Olivia Zalianty (OZ) diyakini tidak akan berpengaruh pada elektabilitas capres dari Partai Golkar (PG) itu. Namun, saat ini, ARB diibaratkan sebagai salah satu produk andalan yang sedang hendak dijual produsen (parpol) ke konsumen (pemilih). Maka, apa pun berita yang terkait dengan produk yang dipasarkan dalam bursa paling bergengsi di negeri ini (pilpres) tetap akan mengundang perhatian publik.

Saat ini, 50 juta lebih pemilih adalah usia muda. Kisaran 30 persen data demografis konsumen yang lahir pada era 1990-an inilah yang potensial untuk disasar oleh PG. Segmentasi konsumen ini, seturut pemahaman Henry Assael dalam Consumer Behavior (1998), bisa dimengerti perilakunya dalam tiga hal.

Pertama, semakin mengharapkan produk memiliki nilai lebih (greater value orientation). Kedua, memiliki hasrat tinggi untuk mendapatkan lebih banyak informasi produk (a desire for and access to more information). Ketiga, keinginan lebih untuk mendapatkan fitur produk yang sesuai dengan kebutuhannya (more customized product to fit consumer needs).

Implementasi dari kecenderungan perilaku pertama adalah pada sensitivitas harga. Artinya, konsumen akan cenderung memilih produk yang berharga lebih murah dengan mutu sama (low price-high quality). Bagi produsen, aplikasi strategisnya adalah dengan penerapan total quality management (TQM). Kendali mutu di proses produksi akan memberikan sebuah efisiensi tertinggi, sehingga dapat memberikan produk berharga murah tanpa mengorbankan kualitas. Pengertiannya, produk harus dihasilkan melalui proses kaderisasi bersahaja serta memiliki standar moral tinggi. Adapun tayangan video sudah pasti akan dikorelasikan dengan kualitas (ARB) sebagai kandidat RI-1.

Sedangkan implementasi perilaku kedua adalah pada kebutuhan untuk mendapatkan lebih banyak pilihan beserta ketersediaan informasi yang memadai. Aplikasi strategisnya bagi produsen-produsen adalah dalam penyediaan sebanyak mungkin kandidat sehingga, ketika kredibilitas pribadi salah satu produk (ARB) terusik, konsumen akan dengan mudah segera dialihkan ke lain kandidat.

Selanjutnya, implementasi perilaku konsumen ketiga adalah pada penyesuaian fitur produk dengan kebutuhan spesifiknya. Aplikasi strategisnya bagi produsen adalah dengan menjual sebanyak mungkin spesifikasi produk kepada satu (segmentasi) konsumen. Hal ini sangat bertolak belakang dengan strategi korporasi sebelumnya (Orde Baru) yang melulu menjual satu jenis produk kepada sebanyak mungkin konsumen. Kecenderungan ini bisa dengan cerdas dipahami sebagai pengejawantahan fitur paling spesifik dalam semua jenis produk yang bisa diterima segmen ini, yaitu muda usia. Maka, produsen yang cerdas tentu tidak akan mengeluarkan produk tua.

Kesadaran inilah yang sepertinya mendorong banyak parpol mengusung berbagai konsep penjualan taktis. Misalnya, menyandingkan kandidat lama dengan kandidat muda. Bisa juga dengan mengusung tema-tema perubahan dan pembaruan. Pendekatan ini bisa saja berhasil. Namun yang jelas, pencitraan kemudaan tidak bisa didapatkan hanya dengan pelesir bersama artis belia. Tidak juga dengan memeluk boneka di Maladewa.

Mobil Kampanye Politik

Mobil Kampanye Politik

Flo K Sapto W  ;   Praktisi Pemasaran
TEMPO.CO,  19 Maret 2014
                            
                                                                                         
                                                                                                             
Jika sempat mengamati mobil dan pengemudi yang digunakan tim sukses atau kandidat dalam berkampanye, terutama di daerah, akan ada beberapa hal menarik. Jika ditelisik lebih jauh, akan cukup mudah mengenali kepemilikan mobil-mobil itu. 

Dalam soal mobil rental, tidak banyak yang bisa diulas selain bahwa itu adalah murni bisnis. Sedangkan ihwal kepemilikan mobil pengusaha, kiranya bisa ada beberapa penafsiran. Tentu kedekatan pengusaha dengan politikus sudah menjadi semacam simbiosis mutualisme. Meski demikian, hubungan semacam ini pun bagi pengusaha merupakan sebuah strategi survival. Jika hanya mendukung salah satu tim sukses dan kandidat, akan ada semacam "dosa masa lalu" seandainya yang menang adalah kandidat lain. Dengan demikian, sangat masuk akal jika fasilitas mobil dan pengemudi yang dimiliki diberikan kepada semua tim sukses dan kandidat.

Tidak jarang bahkan fasilitas itu termasuk akomodasi. Akibatnya, sering kali rombongan tim sukses kandidat tertentu bertemu dengan tim sukses dari kandidat lain di hotel atau restoran yang sama. Sebuah kedewasaan berdemokrasi jika masing-masing dari mereka kemudian saling sapa dan berjabat tangan. Namun, di balik itu, keberadaan mereka di hotel dan restoran tertentu tersebut bisa ditarik benang merahnya. Fasilitas akomodasi itu tak lain merupakan bagian dari servis dari pengusaha. Bagaimana sebaiknya relasi bisnis-politik ini dimaknai?

Bagi pengusaha, hal ini bisa diartikan sebagai bagian dari investasi. Kelak, siapa pun pemenangnya, imbal jasa atas segala servis selama kampanye akan menjadi modal bagi sejumlah kemudahan operasi bisnisnya. Minimal pengusaha itu tidak akan ditempatkan dalam posisi yang berseberangan. Sedangkan bagi politikus, hal ini semestinya menjadi sebuah kehati-hatian tersendiri. Ihwal pengusaha yang memberikan dukungan hanya kepada salah satu tim sukses atau kandidat, mereka akan bisa dihargai sebagai bagian dari simpati atau kesesuaian ideologi perjuangan. Tapi pengusaha yang memberikan dukungan kepada hampir semua tim sukses dan kandidat justru bisa berpotensi memainkan kartu truf.

Speechless, sebuah film komedi romantik yang ditulis oleh Robert King dan dirilis pada akhir 1994, bisa dijadikan ilustrasi. Bintang dalam film ini, yaitu Michael Keaton (Kevin Vallick) dan Geena Davis (Julia Mann), adalah penulis naskah pidato kampanye bagi kandidat dari Partai Demokrat dan Republik. Setting-nya adalah pemilu di New Mexico. Pengusaha yang tidak suka kepada salah satu kandidat bisa merekayasa sebuah pembocoran rahasia suap. Sebagai akibatnya, kandidat yang terkena isu suap itu kemudian terpaksa menerima kekalahan tidak terhormat. Pihak pemberi donasi bahkan bisa juga memperkarakan hal ini kelak ketika kandidat sudah menjabat. Padahal belakangan diketahui bahwa pengusaha terkait sebetulnya menyuap beberapa kandidat sekaligus. Sangat dimungkinkan, ketidaksukaan pengusaha ini terkait dengan negosiasi pengembalian jasa dan pelayanan yang telah diberikan selama berkampanye. Pada akhirnya, pengusaha yang tricky akan lebih mendukung kandidat yang memberi peluang pengembalian (return of investment) paling menguntungkan. Jika demikian halnya, siapa sebetulnya yang sedang berpolitik?

Memahami Megawati

Memahami Megawati

Flo K Sapto W  ;   Praktisi Pemasaran
TEMPO.CO,  27 Februari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                                                                                       
Desakan kepada Megawati sebagai Ketua Umum DPP PDIP untuk segera mengumumkan kandidat RI-1 semakin kuat. Kristalisasi kandidat-seturut hasil sejumlah lembaga survei dan desakan arus bawah-agaknya menguat pada sosok Jokowi. Namun agaknya Megawati masih bergeming tidak hendak mengumumkannya. Apakah ini sebuah sikap politis yang strategis?

Dalam kajian pemasaran, produsen umumnya saling berlomba untuk merilis produknya secepat mungkin. Tidak jarang, bahkan dilakukan dengan agak bombastis. Terlebih lagi jika produk itu adalah inovasi terbaru. Semakin cepat produk dengan fitur-fitur terbaru dikeluarkan, akan semakin berpeluang menguasai pangsa pasar. Itu sebuah iklim kompetisi yang wajar. Namun apakah selalu pemenang bursa adalah yang lebih cepat melepas produknya ke pasar?

Seturut pemahaman berdasarkan kategori output yang dihasilkan, partai politik sebetulnya adalah pemain single industry. Sebab, jenis produknya hanya satu, yaitu kader partai politik (man power). Produk-produk hasil kaderisasi kemudian dijual ke publik dalam bursa pemilihan umum. Sebagai bagian dari mekanisme pasar, tentu akhirnya ada kategori produk yang sangat laku, cukup laku, dan kurang laku. Tidak jarang juga sebagian partai politik justru memilih produk dari partai lain untuk dijual. Bisa karena terhambat regulasi (20 persen perolehan suara legislatif), bisa juga karena tidak cukup yakin akan produk sendiri. Mungkin pula karena kurang memiliki jaringan distribusi di semua segmentasi sehingga dikhawatirkan tidak akan bisa menjangkau pangsa konsumen secara luas.

Di dalam perspektif inilah agaknya sikap Megawati bisa dipahami. Memaksakan sebuah launching sebelum lulus threshold adalah sebuah keputusan politis yang tidak taktis. Sebab, hanya akan menempatkan partai politik sebagai pecundang, jika kelak tidak melewati ambang batas minimal itu. Meskipun wacana ini sebetulnya diterima dengan enggan oleh para elite PDIP sendiri, terutama para calon legislator. Sebab, dengan adanya pencalonan Jokowi, justru bisa mengangkat keterpilihan mereka dalam bursa pemilihan legislatif. Namun, sekali lagi, Megawati bukanlah politikus kemarin sore. Optimalisasi kinerja mesin partailah yang lebih diharapkan menentukan posisi PDIP. Bukan semata-mata karena faktor Jokowi. Jelas bahwa pemikiran ini akan mendorong PDIP melangkah sebagai sebuah organisasi modern karena lebih mengutamakan mekanisme organisasional daripada ketergantungan figural.

Di samping itu, siapa juga yang akan kehilangan kalau pencalonan prematur Jokowi malah berisiko adanya sebuah konspirasi pembunuhan terhadapnya? Fakta lain yang terlihat adalah bahwa rilis kandidat lebih awal tidak serta-merta meningkatkan elektabilitas, bahkan ketika pasangan itu adalah pemilik jaringan media terkemuka. Tidak juga ketika kandidat yang bersangkutan adalah pengusung romantisisme Orde Baru. Berbeda tentunya ketika produk yang di-launching lebih awal adalah memang eksklusif. Taruhlah seperti dalam setiap rilis Ferrari terkini. Hanya dengan menampilkan prototipenya, sudah akan memunculkan antrean pembeli inden. Jadi, siapa sebenarnya yang sedang berpolitik secara matang? Pemahaman ini bisa saja salah, namun setidaknya pernah dengan gemilang berhasil dilakukan Megawati dalam pemilihan kepala daerah Jawa tengah pada 26 Mei 2013.

Sertifikasi Bus Transjakarta

Sertifikasi Bus Transjakarta

Flo K Sapto W  ;   Praktisi Pemasaran
TEMPO.CO,  18 Februari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                                                                                       
Beberapa bus baru Transjakarta diketahui telah rusak dan berkarat di beberapa bagian (Koran Tempo, 12 Februari 2014). Kini, upaya penyelidikan akan dilakukan. Hasil investigasi harian ini mengindikasikan adanya pseudo-office dari tiga perusahaan. Dua perusahaan setidaknya diketahui mensubkontrakkan lagi pengadaan bus ke perusahaan lain. Modus ini kurang-lebih serupa dengan pengadaan simulator SIM. Yang mengherankan, kenapa cara-cara vulgar ini masih saja dilakukan?

Agaknya, pemerintah kita memang bebal, tidak mau belajar dari pengalaman dan tidak strategis, terutama dalam hal sertifikasi. Ketika pesawat jenis MA 60 milik Merpati jatuh di Teluk Kaimana, Papua Barat (7 Mei 2011), permasalahan sertifikasi dan keterpenuhan prosedur segera menjadi topik pembahasan. Pembelaan diri muncul bahkan dari para elite birokrat yang berkompeten. Pesawat buatan Cina yang  menewaskan 27 penumpang itu ternyata tidak memiliki sertifikasi FAA (Federal Aviation Administration). 

Sertifikasi FAA yang dikeluarkan oleh otoritas Amerika Serikat dirasa sudah cukup diwakili oleh sertifikasi serupa dari otoritas Cina, yaitu Civil Aviation Administration of China (CAAC) dan otoritas penerbangan Indonesia, yaitu dari DKPPPU atau Direktorat Kelaikan Pesawat dan Pengoperasian Pesawat Udara (9 Mei 2011). Padahal, berdasarkan sertifikasi FAA, setidaknya bisa diketahui penerapan standar keselamatan tertinggi yang diakui pasar. Untuk itu, bisa dimengerti jika segmentasi konsumennya kemudian hanyalah negara-negara di luar AS dan Eropa. Di negerinya sendiri, pesawat itu hanya dibeli sebanyak sembilan buah oleh beberapa maskapai penerbangan Cina (Vivanews, 10 Mei 2011). Negara lain yang juga membeli produk ini adalah Bolivia, Ekuador, Laos, Myanmar, Nepal, Filipina, Kongo, Sri Lanka, Zambia, dan Zimbabwe-masing-masing dua sampai enam buah. Indonesia merupakan pengguna terbanyak dengan 15 buah pesanan. 

Mengenai permasalahan sertifikasi tersebut, keberadaan pesawat MA 60 dan bus Transjakarta tidak bisa dilepaskan dengan membanjirnya produk-produk Cina selepas pemberlakuan ACFTA pada Januari 2010. Sebelumnya, bahkan  pasar lokal juga sudah dibanjiri oleh produk murah "mocin" (sepeda motor Cina). Kualitas produk yang dirasakan oleh para konsumen telah menjadikannya terpinggirkan.  

Namun pemerintah sebetulnya bisa melakukan hal lebih daripada sekadar membiarkan mekanisme pasar bekerja. Setidaknya, supaya tidak menimbulkan korban dan kerugian terlebih dulu. Satu hal yang mestinya dapat dilakukan adalah menerapkan serangkaian sertifikasi yang rumit dan berbelit terhadap sebanyak mungkin produk impor. Ini merupakan sebuah keahlian yang selama ini-disadari atau tidak-nyaris telah mendarah-daging dalam birokrasi. Merekayasa sebuah sistem sertifikasi yang tidak melanggar kesepakatan perdagangan bebas tentu akan menjadi sebuah terobosan. 

Jadi, kalau terhadap anak bangsa sendiri saja pemerintah hampir selalu melakukan hal ini, menjadi tidak masuk akal jika hal itu tidak dilakukan juga terhadap bangsa lain. Hal ini pun sebetulnya juga sudah dilakukan Amerika Serikat dan Eropa. Sejumlah audit dan sertifikasi akan dilakukan sebelum bisa berbisnis dengan mereka. Untuk itu, jika ini dilakukan terhadap sejumlah bus Transjakarta, publik akan melihat apakah sertifikasinya sek pok (sekali beli kapok) atau tetap saja adalah (karena) segepok (suap).