Sertifikasi Bus TransjakartaFlo K Sapto W ; Praktisi Pemasaran |
TEMPO.CO, 18 Februari 2014
Beberapa bus baru Transjakarta diketahui telah rusak dan berkarat di beberapa bagian (Koran Tempo, 12 Februari 2014). Kini, upaya penyelidikan akan dilakukan. Hasil investigasi harian ini mengindikasikan adanya pseudo-office dari tiga perusahaan. Dua perusahaan setidaknya diketahui mensubkontrakkan lagi pengadaan bus ke perusahaan lain. Modus ini kurang-lebih serupa dengan pengadaan simulator SIM. Yang mengherankan, kenapa cara-cara vulgar ini masih saja dilakukan? Agaknya, pemerintah kita memang bebal, tidak mau belajar dari pengalaman dan tidak strategis, terutama dalam hal sertifikasi. Ketika pesawat jenis MA 60 milik Merpati jatuh di Teluk Kaimana, Papua Barat (7 Mei 2011), permasalahan sertifikasi dan keterpenuhan prosedur segera menjadi topik pembahasan. Pembelaan diri muncul bahkan dari para elite birokrat yang berkompeten. Pesawat buatan Cina yang menewaskan 27 penumpang itu ternyata tidak memiliki sertifikasi FAA (Federal Aviation Administration). Sertifikasi FAA yang dikeluarkan oleh otoritas Amerika Serikat dirasa sudah cukup diwakili oleh sertifikasi serupa dari otoritas Cina, yaitu Civil Aviation Administration of China (CAAC) dan otoritas penerbangan Indonesia, yaitu dari DKPPPU atau Direktorat Kelaikan Pesawat dan Pengoperasian Pesawat Udara (9 Mei 2011). Padahal, berdasarkan sertifikasi FAA, setidaknya bisa diketahui penerapan standar keselamatan tertinggi yang diakui pasar. Untuk itu, bisa dimengerti jika segmentasi konsumennya kemudian hanyalah negara-negara di luar AS dan Eropa. Di negerinya sendiri, pesawat itu hanya dibeli sebanyak sembilan buah oleh beberapa maskapai penerbangan Cina (Vivanews, 10 Mei 2011). Negara lain yang juga membeli produk ini adalah Bolivia, Ekuador, Laos, Myanmar, Nepal, Filipina, Kongo, Sri Lanka, Zambia, dan Zimbabwe-masing-masing dua sampai enam buah. Indonesia merupakan pengguna terbanyak dengan 15 buah pesanan. Mengenai permasalahan sertifikasi tersebut, keberadaan pesawat MA 60 dan bus Transjakarta tidak bisa dilepaskan dengan membanjirnya produk-produk Cina selepas pemberlakuan ACFTA pada Januari 2010. Sebelumnya, bahkan pasar lokal juga sudah dibanjiri oleh produk murah "mocin" (sepeda motor Cina). Kualitas produk yang dirasakan oleh para konsumen telah menjadikannya terpinggirkan. Namun pemerintah sebetulnya bisa melakukan hal lebih daripada sekadar membiarkan mekanisme pasar bekerja. Setidaknya, supaya tidak menimbulkan korban dan kerugian terlebih dulu. Satu hal yang mestinya dapat dilakukan adalah menerapkan serangkaian sertifikasi yang rumit dan berbelit terhadap sebanyak mungkin produk impor. Ini merupakan sebuah keahlian yang selama ini-disadari atau tidak-nyaris telah mendarah-daging dalam birokrasi. Merekayasa sebuah sistem sertifikasi yang tidak melanggar kesepakatan perdagangan bebas tentu akan menjadi sebuah terobosan. Jadi, kalau terhadap anak bangsa sendiri saja pemerintah hampir selalu melakukan hal ini, menjadi tidak masuk akal jika hal itu tidak dilakukan juga terhadap bangsa lain. Hal ini pun sebetulnya juga sudah dilakukan Amerika Serikat dan Eropa. Sejumlah audit dan sertifikasi akan dilakukan sebelum bisa berbisnis dengan mereka. Untuk itu, jika ini dilakukan terhadap sejumlah bus Transjakarta, publik akan melihat apakah sertifikasinya sek pok (sekali beli kapok) atau tetap saja adalah (karena) segepok (suap). ● |
Post a Comment