Melanjutkan Dinasti Politik

Melanjutkan Dinasti Politik

Robert Endi Jaweng  ;   Direktur Eksekutif KPPOD, Jakarta
KOMPAS,  07 Maret 2014
                                                                                                                       
                                                                                         
                                                                                                             
PANITIA Khusus Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah DPR akhirnya menolak usulan pemerintah perihal jeda sementara satu periode bagi kerabat petahana untuk dicalonkan sebagai kepala daerah (klausul pembatasan dinasti politik). Sebagaimana diputuskan dalam pembahasan akhir Februari lalu, mereka hanya bersepakat mengatur syarat wajib bagi setiap kandidat mengikuti uji publik terkait dengan kompetensi dan integritasnya (Pasal 31 Ayat 1 RUU Pilkada).

Tampaknya, DPR meyakini proses uji publik tersebut bisa menjadi kesempatan tepat bagi publik menilai kepatutan pencalonan seseorang, termasuk jika dia berasal dari trah petahana setempat. Namun, tanpa lebih jauh mengatur bentuk dan mekanismenya—terutama soal daya pengaruh hasil uji publik terhadap otoritas partai yang memegang kata akhir—wajar jika kita menganggap klausul versi DPR tersebut sebagai normatif, basa-basi.

Bukankah kompetensi dan integritas selalu secara normatif diwajibkan bagi setiap kandidat, apa pun asal-usul keturunannya, di antara sederet daftar persyaratan yang selama ini dibuat?

Dengan rumusan tersebut, dinasti politik dipersilakan berlanjut. Seriusnya keprihatinan publik atas fakta keras dinasti yang amat problematik, bahkan destruktif, di aras lokal tersebut ternyata tak berpengaruh apa pun atas sikap politik DPR. Mereka bergeming, sambil menyitir argumentasi hak politik setiap warga negara untuk dicalonkan serta mewanti-wanti akan adanya gugatan judicial review di Mahkamah Konstitusi jika klausul dinasti diatur dalam undang-undang (UU).

Cara berpikirnya legalistik, tanpa menelaah lebih kritis konsep keadilan politik dan akses politik bagi warga yang justru tersumbat secara sistematis oleh kehadiran ”hak politik” trah dinasti yang manipulatif itu. Selain itu, sindrom rabun jauh membatasi horizon politisi dalam melihat bahaya dinasti secara mendasar dalam jangka panjang. Titik masalahnya jelas tak berhenti pada soal pilkada, tetapi lebih jauh adalah tergerusnya keadilan dan akses kesejahteraan rakyat (alokasi sumber daya, APBD) lantaran gurita dinasti akan mengisap segala sendi sistem kehidupan publik kita. Favoritisme kepada kandidat dari trah dinasti, diskriminasi struktural terhadap demos, sirkulasi kekuasaan yang tak berbasis meritokrasi, rusaknya iklim demokrasi, dan lain-lain yang terjadi dalam pilkada jelas membuka jalan bagi hadirnya pasar gelap kekuasaan saat berlangsungnya pemerintahan.

Meretas jalan buntu

Tampaknya merawat struktur oligarkis dalam parpol dan menyuburkan ruang operasinya dalam arena politik lokal menjadi segala-galanya yang wajib diperjuangkan at all cost. Dengan itu, formasi lokal tetap bisa  disusun dalam hubungan berlapis: di tengah adalah inti (kerabat penguasa), dilingkari jejaring bisnis dan politik yang menggumpal sebagai oligarki, lalu mengeliling di luarnya elemen publik kritis serta kaum profesional.

Sisanya—yang tak membuat genap atau ganjil formasi yang ada—massa rakyat yang mengambang bebas atau bahkan terlempar ke luar arena. Hanya dengan terus memastikan sirkulasi kekuasaan dalam lingkaran tertutup, elite dominan bisa terus melanggengkan (status quo) relasi-kuasa yang timpang antar-lapisan.

Selain itu, tak diaturnya jeda sementara dapat menjadi humus baru bagi suburnya dinasti di lain tempat. Wilayah edar dinasti yang hari ini terjadi di 57 daerah berpotensi bertambah. Model dominannya yang hari ini  berpola ”regenerasi” (menggilir jabatan yang sama seperti arisan keluarga) kelak kian variatif karena meluasnya model ”beda kamar” (berbagi jabatan inti di eksekutif dan legislatif), model ”silang daerah” (berkuasa di daerah berlainan dalam satu provinsi), serta model ”antarlevel pemerintahan” (jabatan di kabupaten/kota dan provinsi). Pendalaman dan transformasi demikian diperkirakan masih terus menggelinding ke seantero Nusantara karena struktur sosial, karakter transisi politik, dan kerangka hukum kita memang mendukungnya. 

Repotnya, ruang bagi kontra-aksi atas pilihan legal policy para pembentuk UU tadi terasa kian terbatas. Kita nyaris mentok dengan kemungkinan jalur legislasi yang justru memilih tidak mengaturnya lantaran para pembentuk UU lihai menutup pintu di UU Parpol dan kini RUU Pilkada; secara licik menyamarkan rumusannya dalam formula normatif. Opsi untuk mewajibkan parpol memberlakukan demokrasi internal dalam pencalonan (konvensi, primary-election, dan lain-lain) tampaknya juga sulit terwujud, sementara opsi pemilu serentak masih diragukan efektivitasnya sebagai instrumen pengendali dinasti dalam politik elektoral.

Uji materi di MK

Jalur yudisial lewat uji materi di MK tampaknya membersitkan sedikit peluang. MK diharapkan menjadi positive-legislature untuk membawa masuk klausul pembatasan dinasti ke dalam revisi UU Pilkada nantinya. Di sini, melampaui justifikasi legalistik ihwal hak politik seorang trah dinasti, alasan konstitusional terkait keadilan politik demos dan akses kesejahteraan (bonum commune) yang terbukti kuat banyak dibajak trah dinasti selama ini jelas sudah merupakan perkara yang jauh lebih fundamental. Tafsir hak dasar/konstitusional yang patut diusung tentu tidak boleh lepas dari segala prinsip keutamaan dalam kehidupan publik, bukan kacamata kuda (legalistik) yang memang dalam dirinya sudah mengandung niat tipu-tipu (manipulasi).

Tahapan advokasi berikutnya bisa dilakukan dalam kerangka pengadilan sengketa pilkada. Kasus-kasus konkret terkait kemenangan kandidat dari trah dinasti harus diperbesar tingkat posibilitasnya untuk diuji dalam sidang MK. Deliknya adalah perihal pelanggaran proses dan hasil uji publik yang diatur UU Pilkada tadi ataupun penyelewengan kekuasaan petahana (politisasi birokrasi dan jabatan, korupsi APBD, manipulasi program, dan lain-lain) sebagai rekayasa demi ”memengaruhi hasil akhir” bagi kemenangan pewarisnya. Segala terobosan hukum progresif mesti terus didorong untuk mengimbangi superioritas para politisi yang memanipulasi peranti legislasi dan menafikan segala keutamaan publik demi kepentingan sempit mereka.

Akhirnya, dalam jangka menengah ke depan, berlapis ikhtiar lain wajib digarap. Pertama, gerakan sosial. Dalam konteks pilkada, orientasinya adalah penyadaran rakyat akan bahaya politik transaksional dan idola-isme yang sering menjadi aksi manipulatif kandidat dinasti. Dalam kebutuhan fundamental, gerakan ini menjadi jalan membangun democratic-citizenship, suatu kesadaran demos sebagai subyek kekuasaan politik dalam bernegara.

Kedua, memperkuat sistem integritas sektor publik agar desentralisasi uang/kuasa bisa terkelola secara akuntabel. Birokrasi, yang hari ini dijamin UU No 5/ 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, tak boleh terus merawat loyalitas buta terhadap kepala daerah yang seronok menyimpangkan kekuasaannya; mesti mulai berani menolak tunduk pada atasan lalim. Sejauh bersih dan profesional, di bawah UU baru, nasib aparatur sipil tak bergantung kepada kepala daerah, tetapi berdasarkan penilaian tersentralisasi dan relatif obyektif di manajemen kepegawaian pusat.

Konstruksi Bermasalah Desentralisasi Pertambangan

Konstruksi Bermasalah Desentralisasi Pertambangan

Robert Endi Jaweng  ;   Direktur Eksekutif KPPOD, Jakarta
MEDIA INDONESIA,  04 Maret 2014
                                                                                                                       
                                                                                         
                                                      
SENGKETA antara pemerintah Indonesia dan Churchill Mining Plc -sebuah perusahaan pertambangan asal Inggris-kini sedang bergulir di International Center for Settlement of Investment Disputes (ICSID). Pihak Churchill menuntut ganti atas kerugian yang ditaksir lebih dari US$1 miliar akibat pencabutan izin usaha pertambangan (IUP) empat lokasi tambang di Busang oleh Pemerintah Daerah Kutai Timur, Kaltim, pada 2010.

Namun, pemerintah optimistis menang dalam pengadilan arbitrase tersebut lantaran legal standing dari Churchill dinilai lemah; belum terdaftar di BKPM dan tidak memiliki izin beroperasi sebagai pemilik usaha tambang di Indonesia. Alih-alih memenangi sengketa, korporasi berbasis di London itu bisa dikenai pasal berusaha tak sah (ilegal) di wilayah Republik.

Hasil akhir putusan masih perlu kita tunggu beberapa waktu ke depan. Namun, dalam konteks otonomi ataupun penataan urusan desentralisasi, kasus tersebut memberikan dimensi lain yang mesti menjadi refleksi semua pihak, khususnya pemerintah pusat dan pemerintah daerah (pemda). Dimensi masalah dari desentralisasi, lebih-lebih jika berkenaan pembagian urusan, tentu tidak saja memengaruhi hubungan pusat dan daerah, tetapi juga berdampak kepada masyarakat dan pelaku usaha terkait dengan risiko politik dan regulasi usaha yang tak berkepastian. Momentum revisi UU Pemda yang saat ini dibahas di DPR harus menjadi pintu masuk bagi ikhtiar perbaikan kerangka kebijakan yang menjamin kejelasan urusan dan tanggung jawab pusat dan daerah ataupun kepastian berusaha di daerah.

Progresif, bahkan eksesif

Harus diakui, bila dibandingkan dengan desentralisasi sektor lain (kehutanan, perkebunan, perikanan, dll), desentralisasi pertambangan terbilang amat progresif, bahkan eksesif. Sentralisasi masa Orde Baru bahkan perlahan dikurangi justru jauh sebelum era otonomi mulai diterapkan pada 2001. Setelah melewati fase awal sentralisasi pertambangan dalam skema UU No 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-
Ketentuan Pokok Pertambangan, sejak 1992 tabir desentralisasi dalam sisi fiskal mulai dibuka lewat peningkatan porsi bagi hasil tambang yang signifikan kepada daerah (PP No 79/1992).

Arus balik yang lebih masif lagi terjadi saat desentralisasi dimulai pada 2001. Dalam sektor pertambangan, struktur kesempatan begitu terbuka bagi peran daerah diatur luas dalam PP No 75/2001. Domain pemrosesan dan kewenangan penandatanganan sebagian KP, KK, dan PKP2B diserahkan ke daerah yang menerbitkan surat izin pertambangan daerah (SIPD). Bahkan irisan kewenangan pusat atas sektor tersebut tidak lagi bersifat eksklusif lantaran sebelum membuat keputusan perizinan masih harus terlebih dulu mendengarkan pendapat dari kepala daerah wilayah pertambangan berlokasi.

Puncak evolusi desentralisasi pertambangan terjadi ketika UU No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara diberlakukan. Pertama, pemberian IUP dan izin pertambangan rakyat (IPR) sepenuhnya menjadi otoritas pemerintah kabupaten/kota, kecuali yang lintas wilayah sebagai domain provinsi. Kedua, perubahan rezim kontrak menjadi rezim perizinan. Selama ini, di bawah rezim kontrak, posisi pemda tidak saja mendua (ambigu) sebagai regulator dan pihak berkontrak, tetapi secara mendasar telah merendahkan posisi negara selevel kontraktor. Implikasi hukum perubahan rezim dalam UU itu menempatkan pemda pada otoritas besar di depan investor. Ketiga, sebagai implikasi putusan MK atas uji materiil yang diajukan Bupati Kutai Timur Isran Noor akhir 2012, otoritas penetapan wilayah pertambangan (WP), wilayah usaha pertambangan (WUP), luas dan batas wilayah izin usaha pertambangan yang tadinya dipegang pusat kini berpindah ke pemda.

Konstruksi desentralisasi tersebut di satu sisi bernilai positif. Pihak daerah menjadi lebih berkuasa atas investor dan lebih berkewenangan dalam mengelola sumber daya lokal. Harapannya, proses pengurusan izin hingga mitigasi risiko bisa terkelola secara efektif lantaran dekatnya rentang kendali antara pemegang otoritas dan lokasi usaha. Lebih jauh, kapitalisasi atas pengelolaan sumber daya strategis tersebut menjadi lebih jelas dan langsung dirasakan manfaat riilnya bagi masyarakat, khususnya warga lingkar tambang, baik berupa akses lapangan kerja, program sosial (CSR), maupun pemanfaatan hasil pajak bagi pembangunan daerah.

Namun, fakta umum di banyak tempat, realisasi dari ideal-ideal normatif tersebut masih jauh panggang dari api. Pada level kebijakan, konstruksi tersebut mengidap cacat serius yang berimplikasi pada implementasi. Pertama, perubahan cara pembagian urusan pusat dan daerah yang sebelumnya berdasarkan klasifikasi penggolongan bahan galian ke model pembagian atas dasar luasan wilayah (level pemerintahan), belum terbukti menjamin terkelolanya jangkauan dampak (eksternalitas), tercapainya efisiensi, dan terjaminnya akuntabilitas pemda kepada masyarakatnya.

Kedua, model tersebut bahkan membuat kabur otoritas pusat atas jenis investasi asing (PMA) lantaran yang menjadi rujukan dalam soal penentuan level kewenangan ialah luasan wilayah operasi. Daerah merasa berhak berurusan dengan pihak asing, bergerak lintas negara dan mewakili Republik bernegosiasi dengan pihak ketiga (swasta asing). Sebagaimana terlihat pada kasus Churchill tadi, pemerintah pusat biasanya baru berperan saat terjadi sengketa dengan investor asing, sebagai badan hukum yang mewakili negara di pengadilan arbitrase.

Konstruksi tersebut kian problematis karena lemahnya kontrol pusat pascaputusan MK tadi. Keseimbangan peran sedianya dapat terjadi, antara lain, lewat pembagian otoritas penetapan WP di tangan pusat. Hanya atas dasar penetapan WP tersebut pemda boleh memberikan IUP. Pascaputusan MK, keseimbangan itu terganggu, kontrol pusat menjadi sulit lantaran dari fase penetapan WP hingga pemberian IUP semuanya dipegang pemda. Lebih celaka lagi kalau suatu daerah belum memiliki Perda Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), penetapan WP boleh jadi tidak berdasarkan peta peruntukan dan perwilayahan yang pasti.

Ketiga, kekaburan yang lebih serius lagi terjadi pada domain kewenangan provinsi. Model pembagian urusan berdasar luas wilayah melahirkan aksi tipu-tipu di lapangan; WUP lintas wilayah sengaja dipecahpecah dan dilokalisasi dalam batas yurisdiksi tiap-tiap kabupaten sehingga level urusan perizinannya berada di tangan pemerintah kabupaten. Ti dak mengherankan konflik kewenangan terjadi antara gubernur yang merasa luasan wilayah tambang itu sudah merupakan lintas daerah dan bupati yang sengaja memecahkan WUP yang ada.

Langkah ke depan

Good mining practice menjadi barang mahal. Alih-alih tata kelola, yang terjadi ialah salah urus. Hasil rekonsiliasi atas data-data IUP terlihat bahwa dari 10.566 izin yang pernah diterbitkan pemda, terdapat sekitar 5.940 yang masih non-clean and clear (3.988 izin operasi dan produksi mineral, serta 1.952 IUP operasi dan produksi batu bara). Semua itu memperberat masalah klasik selama ini: praktik buruk perusakan lingkungan (keruk cepat), penyelewengan wewenang, dan praktik korupsi merebak di sektor ekstraktif tersebut.

Lapisan masalah memang bertumpuk dan tak terkendali. Respons terpenting kita ialah koreksi cepat ataupun penataan sistemis jangka panjang. Selain perbaikan pada kerangka kebijakan, termasuk klausul dalam revisi UU Pemda yang memindahkan urusan pertambangan dari kabupaten/kota ke provinsi, agenda di depan mata ialah peningkatan kapasitas pemda dan penguatan kontrol pusat.

Pusat mesti tegas menegakan ketentuan ihwal pembagian urusan luar negeri, termasuk dalam PMA sebagai domain pusat. Lemahnya kontrol pusat dan buruknya aliran informasi investasi dari daerah selama ini berdampak pada mahalnya harga yang harus dibayar atas kerusakan yang telanjur hadir.

Manajemen `pemadam kebakaran', sebagaimana ditunjuk dalam kasus Churchill, tidak saja mencerminkan lemahnya pusat di depan daerah, tapi juga mengancam daya tawar dan daulat negara sebagai tuan rumah di negeri sendiri sebagai pemangku hak penguasaan negara/HPN atas segala sumber daya alam saat berhadapan dengan pihak asing.