Konstruksi Bermasalah Desentralisasi Pertambangan

Konstruksi Bermasalah Desentralisasi Pertambangan

Robert Endi Jaweng  ;   Direktur Eksekutif KPPOD, Jakarta
MEDIA INDONESIA,  04 Maret 2014
                                                                                                                       
                                                                                         
                                                      
SENGKETA antara pemerintah Indonesia dan Churchill Mining Plc -sebuah perusahaan pertambangan asal Inggris-kini sedang bergulir di International Center for Settlement of Investment Disputes (ICSID). Pihak Churchill menuntut ganti atas kerugian yang ditaksir lebih dari US$1 miliar akibat pencabutan izin usaha pertambangan (IUP) empat lokasi tambang di Busang oleh Pemerintah Daerah Kutai Timur, Kaltim, pada 2010.

Namun, pemerintah optimistis menang dalam pengadilan arbitrase tersebut lantaran legal standing dari Churchill dinilai lemah; belum terdaftar di BKPM dan tidak memiliki izin beroperasi sebagai pemilik usaha tambang di Indonesia. Alih-alih memenangi sengketa, korporasi berbasis di London itu bisa dikenai pasal berusaha tak sah (ilegal) di wilayah Republik.

Hasil akhir putusan masih perlu kita tunggu beberapa waktu ke depan. Namun, dalam konteks otonomi ataupun penataan urusan desentralisasi, kasus tersebut memberikan dimensi lain yang mesti menjadi refleksi semua pihak, khususnya pemerintah pusat dan pemerintah daerah (pemda). Dimensi masalah dari desentralisasi, lebih-lebih jika berkenaan pembagian urusan, tentu tidak saja memengaruhi hubungan pusat dan daerah, tetapi juga berdampak kepada masyarakat dan pelaku usaha terkait dengan risiko politik dan regulasi usaha yang tak berkepastian. Momentum revisi UU Pemda yang saat ini dibahas di DPR harus menjadi pintu masuk bagi ikhtiar perbaikan kerangka kebijakan yang menjamin kejelasan urusan dan tanggung jawab pusat dan daerah ataupun kepastian berusaha di daerah.

Progresif, bahkan eksesif

Harus diakui, bila dibandingkan dengan desentralisasi sektor lain (kehutanan, perkebunan, perikanan, dll), desentralisasi pertambangan terbilang amat progresif, bahkan eksesif. Sentralisasi masa Orde Baru bahkan perlahan dikurangi justru jauh sebelum era otonomi mulai diterapkan pada 2001. Setelah melewati fase awal sentralisasi pertambangan dalam skema UU No 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-
Ketentuan Pokok Pertambangan, sejak 1992 tabir desentralisasi dalam sisi fiskal mulai dibuka lewat peningkatan porsi bagi hasil tambang yang signifikan kepada daerah (PP No 79/1992).

Arus balik yang lebih masif lagi terjadi saat desentralisasi dimulai pada 2001. Dalam sektor pertambangan, struktur kesempatan begitu terbuka bagi peran daerah diatur luas dalam PP No 75/2001. Domain pemrosesan dan kewenangan penandatanganan sebagian KP, KK, dan PKP2B diserahkan ke daerah yang menerbitkan surat izin pertambangan daerah (SIPD). Bahkan irisan kewenangan pusat atas sektor tersebut tidak lagi bersifat eksklusif lantaran sebelum membuat keputusan perizinan masih harus terlebih dulu mendengarkan pendapat dari kepala daerah wilayah pertambangan berlokasi.

Puncak evolusi desentralisasi pertambangan terjadi ketika UU No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara diberlakukan. Pertama, pemberian IUP dan izin pertambangan rakyat (IPR) sepenuhnya menjadi otoritas pemerintah kabupaten/kota, kecuali yang lintas wilayah sebagai domain provinsi. Kedua, perubahan rezim kontrak menjadi rezim perizinan. Selama ini, di bawah rezim kontrak, posisi pemda tidak saja mendua (ambigu) sebagai regulator dan pihak berkontrak, tetapi secara mendasar telah merendahkan posisi negara selevel kontraktor. Implikasi hukum perubahan rezim dalam UU itu menempatkan pemda pada otoritas besar di depan investor. Ketiga, sebagai implikasi putusan MK atas uji materiil yang diajukan Bupati Kutai Timur Isran Noor akhir 2012, otoritas penetapan wilayah pertambangan (WP), wilayah usaha pertambangan (WUP), luas dan batas wilayah izin usaha pertambangan yang tadinya dipegang pusat kini berpindah ke pemda.

Konstruksi desentralisasi tersebut di satu sisi bernilai positif. Pihak daerah menjadi lebih berkuasa atas investor dan lebih berkewenangan dalam mengelola sumber daya lokal. Harapannya, proses pengurusan izin hingga mitigasi risiko bisa terkelola secara efektif lantaran dekatnya rentang kendali antara pemegang otoritas dan lokasi usaha. Lebih jauh, kapitalisasi atas pengelolaan sumber daya strategis tersebut menjadi lebih jelas dan langsung dirasakan manfaat riilnya bagi masyarakat, khususnya warga lingkar tambang, baik berupa akses lapangan kerja, program sosial (CSR), maupun pemanfaatan hasil pajak bagi pembangunan daerah.

Namun, fakta umum di banyak tempat, realisasi dari ideal-ideal normatif tersebut masih jauh panggang dari api. Pada level kebijakan, konstruksi tersebut mengidap cacat serius yang berimplikasi pada implementasi. Pertama, perubahan cara pembagian urusan pusat dan daerah yang sebelumnya berdasarkan klasifikasi penggolongan bahan galian ke model pembagian atas dasar luasan wilayah (level pemerintahan), belum terbukti menjamin terkelolanya jangkauan dampak (eksternalitas), tercapainya efisiensi, dan terjaminnya akuntabilitas pemda kepada masyarakatnya.

Kedua, model tersebut bahkan membuat kabur otoritas pusat atas jenis investasi asing (PMA) lantaran yang menjadi rujukan dalam soal penentuan level kewenangan ialah luasan wilayah operasi. Daerah merasa berhak berurusan dengan pihak asing, bergerak lintas negara dan mewakili Republik bernegosiasi dengan pihak ketiga (swasta asing). Sebagaimana terlihat pada kasus Churchill tadi, pemerintah pusat biasanya baru berperan saat terjadi sengketa dengan investor asing, sebagai badan hukum yang mewakili negara di pengadilan arbitrase.

Konstruksi tersebut kian problematis karena lemahnya kontrol pusat pascaputusan MK tadi. Keseimbangan peran sedianya dapat terjadi, antara lain, lewat pembagian otoritas penetapan WP di tangan pusat. Hanya atas dasar penetapan WP tersebut pemda boleh memberikan IUP. Pascaputusan MK, keseimbangan itu terganggu, kontrol pusat menjadi sulit lantaran dari fase penetapan WP hingga pemberian IUP semuanya dipegang pemda. Lebih celaka lagi kalau suatu daerah belum memiliki Perda Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), penetapan WP boleh jadi tidak berdasarkan peta peruntukan dan perwilayahan yang pasti.

Ketiga, kekaburan yang lebih serius lagi terjadi pada domain kewenangan provinsi. Model pembagian urusan berdasar luas wilayah melahirkan aksi tipu-tipu di lapangan; WUP lintas wilayah sengaja dipecahpecah dan dilokalisasi dalam batas yurisdiksi tiap-tiap kabupaten sehingga level urusan perizinannya berada di tangan pemerintah kabupaten. Ti dak mengherankan konflik kewenangan terjadi antara gubernur yang merasa luasan wilayah tambang itu sudah merupakan lintas daerah dan bupati yang sengaja memecahkan WUP yang ada.

Langkah ke depan

Good mining practice menjadi barang mahal. Alih-alih tata kelola, yang terjadi ialah salah urus. Hasil rekonsiliasi atas data-data IUP terlihat bahwa dari 10.566 izin yang pernah diterbitkan pemda, terdapat sekitar 5.940 yang masih non-clean and clear (3.988 izin operasi dan produksi mineral, serta 1.952 IUP operasi dan produksi batu bara). Semua itu memperberat masalah klasik selama ini: praktik buruk perusakan lingkungan (keruk cepat), penyelewengan wewenang, dan praktik korupsi merebak di sektor ekstraktif tersebut.

Lapisan masalah memang bertumpuk dan tak terkendali. Respons terpenting kita ialah koreksi cepat ataupun penataan sistemis jangka panjang. Selain perbaikan pada kerangka kebijakan, termasuk klausul dalam revisi UU Pemda yang memindahkan urusan pertambangan dari kabupaten/kota ke provinsi, agenda di depan mata ialah peningkatan kapasitas pemda dan penguatan kontrol pusat.

Pusat mesti tegas menegakan ketentuan ihwal pembagian urusan luar negeri, termasuk dalam PMA sebagai domain pusat. Lemahnya kontrol pusat dan buruknya aliran informasi investasi dari daerah selama ini berdampak pada mahalnya harga yang harus dibayar atas kerusakan yang telanjur hadir.

Manajemen `pemadam kebakaran', sebagaimana ditunjuk dalam kasus Churchill, tidak saja mencerminkan lemahnya pusat di depan daerah, tapi juga mengancam daya tawar dan daulat negara sebagai tuan rumah di negeri sendiri sebagai pemangku hak penguasaan negara/HPN atas segala sumber daya alam saat berhadapan dengan pihak asing.
Indeks Prestasi

Post a Comment