Mencermati JKN dan BPJS

Mencermati JKN dan BPJS

Tri Astuti Sugiyatmi  ;   Dokter PNS di DKK Tarakan
JAWA POS,  19 Februari 2014
                                                                                                                       
                                                                                         
                                                                                                                       
SISTEM Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) sudah berjalan mulai 1 Januari lalu. PT Askes sudah bertransformasi menjadi BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) bidang kesehatan, masyarakat sudah menerima haknya, provider pelayanan kesehatan (puskesmas, rumah sakit, dll) beserta petugas kesehatan di dalamnya sudah melaksanakan kewajibannya. Lalu, apa lagi? 

Dalam hitungan hari, tentu saja masih terlalu dini menilai keberhasilan atau kegagalan JKN dan efeknya dalam meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Namun, pada awal pelaksanaan, yang mengemuka justru banyaknya keluhan dan komentar negatif masyarakat di berbagai media. 

Di sisi lain, ada petugas kesehatan yang mengeluhkan tarif paket/metode pembayaran prospektif yang dianut Ina-CBG's (Indonesian Case Based Groups), misalnya untuk operasi sectio caesaria (SC) yang dirasa kurang berimbang dengan sumber daya yang dipakai. Dokter kandungan pelaksana SC hanya mendapatkan bayaran dalam kisaran Rp 60 ribu. Tidak sebanding dengan keahlian dan risiko (termasuk tuntutan hukum) yang ada. Bila dibandingkan dengan tindakan sirkumsisi (sunat) yang tarifnya tidak jauh berbeda, terkesan bahwa perhitungan yang ada memang masih mentah dan belum final. 

Di tengah keluhan jasa para profesional, justru mencuat sebuah berita bahwa direksi BPJS menerima gaji yang sangat fantastis, yakni Rp 365 juta rupiah. Dalam forum ahli ekonomi kesehatan terungkap bahwa besaran gaji direksi BPJS yang diusulkan dengan peraturan presiden itu tidak transparan. 

Monitoring dan Evaluasi 

Tentu saja, banyaknya keluhan yang mengemuka ini tidak bisa diabaikan begitu saja. Memang, sejatinya harus diakui bahwa berani memulai era ini saja adalah sebuah kemajuan bahkan lompatan besar bagi sebuah bangsa yang sedang terpuruk pada banyak bidang ini. Namun, itu saja belumlah cukup. Keluhan dan kritik yang muncul bila tidak ditanggapi dan tidak segera ditindaklanjuti bisa jadi justru akan membahayakan keberlangsungan program ini dalam jangka panjang. 

Menyitir guru besar di Universitas Indonesia Prof Hasbullah Thabrany, program yang dianalogikan seperti berlian tetapi diperlakukan sebagaimana barang karatan itu terancam gagal bila semua pihak yang berkepentingan tidak serius dalam menjalankannya. Sehingga sangatlah wajar bila kehadiran kegiatan monitoring dan evaluasi (monev) untuk melihat proses sudah berjalan on the track atau tidak adalah sebuah keniscayaan. 

Tanpa monev secara masif dan masal, semua proses dianggap dan dilaporkan sudah baik. Padahal, dalam kenyataannya, masih banyak kekurangan di sana-sini. Dalam hal ini, peranan Dewan Pengawas BPJS semestinya dimaksimalkan walaupun disadari dalam hal ini agak sulit. 

Titik Keseimbangan Baru 

JKN sebagai bentuk reformasi sistem pembiayaan kesehatan yang mewadahi semua penduduk dalam sistem asuransi kesehatan sosial disadari membawa konsekuensi yang tidak kecil. Terjadi perubahan sistem pembiayaan dan pelayanan kesehatan yang cukup fundamental. Akibatnya dapat ditebak, yakni terjadi "kekacauan" pada awal-awal pelaksanaannya. Untuk itu, empat aktor utama dalam sistem (BPJS, pemerintah, provider, dan masyarakat) harus segera menyadari dan berbenah. 

Provider dan para tenaga medis harus makin "sadar biaya" dan meningkatkan efisiensi dalam hal pemanfaatan sumber daya yang disediakan. Dalam hal pemanfaatan teknologi canggih dalam mendiagnosis maupun terapi, maka faskes bahkan dokternya harus bijak. Dengan tools HTA (health technology assesment), pemberian layanan teknologi canggih dapat ditinjau dari sisi ekonomi kesehatan. Sebuah pendekatan baru dengan -tentu saja- tanpa mengabaikan kualitas dan keselamatan pasien. 

Masyarakat juga harus memahami pelayanan kesehatan di berbagai level, baik primer, sekunder, maupun tersier. Bila membutuhkan layanan khusus dan spesialistis, kecuali dalam hal emergensi, sistem rujukan berjenjang menjadi keharusan. 

Pemerintah sebagai regulator dan DJSN sebagai pemberi asupan rumusan kebijakan bagi presiden diharapkan membuat peraturan yang adil bagi semua pihak terkait. Kesejahteraan provider kesehatan sebagai ujung tombak pelayanan semestinya juga diperjuangkan. 

Direksi dan Dewan Pengawas BPJS harus makin paham dengan suasana psikologis masyarakat dan provider yang menginginkan transparansi dalam banyak hal, termasuk dalam penggajian. Bagi sebagian masyarakat dan provider, gaji direksi yang disamakan saat masih menjadi PT Askes akan memicu kecemburuan sosial. Jangan sampai karena posisinya di UU yang memungkinkan, direksi bersikap "seenaknya" dalam hal tersebut. 

Sikap optimistis pemerintah dan BPJS tentang JKN yang akan menghadirkan layanan kesehatan yang bermutu dan berkeadilan akan semakin menjauh manakala para pengambil kebijakan dan semua perangkatnya tidak terbuka terhadap berbagai kritik.
Indeks Prestasi

Post a Comment