Abimanyu Pantas Dihukum

Abimanyu Pantas Dihukum

Danang Prabotanoyo  ;   Peneliti Pusat Studi Reformasi Indonesia, Alumnus UGM
JAWA POS,  19 Februari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                                                                                       
RADEN Abimanyu, putra kesayangan Raden Arjuna, harus mati secara mengenaskan di Padang Kurusetra dalam Perang Baratayuda. Perang Pandawa dengan Kurawa yang sesungguhnya simbolisasi perang kebenaran versus keangkaramurkaan tersebut merenggut nyawa Abimanyu menjadi tumbal kejayaan Pandawa. Padahal, Abimanyu satu-satunya putra Arjuna yang diramalkan bisa menggantikan kedudukan Pandawa lima kelak. Bahkan, posisi Abimanyu sangatlah krusial, yakni penyambung keturunan Pandawa lima.

Namun, takdir bicara lain. Satu-satunya yang tersisa mesti perlaya di tangan para Kurawa. Kematian Abimanyu di tangan Kurawa selain karena strategi "kurung" yang membuat Abimanyu terkepung sejatinya merupakan penggenap supata Dewi Siti Sundari, istri Abimanyu. Siti Sundari pernah menimpakan sumpahnya kepada Abimanyu kala ingin meminang sebagai istrinya. Sang putri bersedia diambil sebagai istri asalkan Abimanyu masih berstatus bujangan. Bila berbohong, kelak Abimanyu tewas mengenaskan dalam perang Baratayuda. Demikian sumpah Sundari. 

Abimanyu cidra, mengatakan dirinya belum beristri kepada Sundari, padahal sudah beristri, yakni Dewi Utari. Karena sumpah Sundari sudah terucap dan "diamini" para Dewata, Abimanyu pun tewas sebagaimana supata Siti Sundari. 

Dalam fragmen cerita tersebut ada satu hal yang bisa diambil nilai positifnya, yakni pentingnya arti kejujuran. Abimanyu tewas bukan karena tidak sakti, bukan pula karena tidak tangkas berperang, melainkan tidak jujur dengan membohongi istri-istrinya. 

Ya, kejujuran merupakan barang langka di zaman serbapragmatis dan kompetitif seperti sekarang. Ironisnya, setiap hari kita disuguhi perilaku tidak jujur para pejabat, orang berpangkat, hingga kaum intelektual berpengetahuan dan berpendidikan tinggi. 

Menyimak berita korupsi di media, nyaris semua pelakunya adalah orang berpangkat dan berpendidikan tinggi. Bukan syak lagi bahwa korupsi adalah manifestasi perbuatan tidak jujur. Begitupun mark up, manipulasi, dan aksi suap merupakan pengingkaran laku amanah dan jujur.

Mengapa ketidakjujuran seperti epidemi di negeri ini? Lantas, di mana peran pendidikan sebagai sokoguru etika, moral, dan mentalitas anak bangsa ini? Nah, itulah yang menjadi problem besar dan urgen untuk dibenahi segera. Tujuan pendidikan sebagaimana disampaikan oleh Benjamin S. Bloom (1956) adalah menciptakan insan mumpuni dalam aspek kognitif, psikomotorik, dan afektif. Di ranah kognitif, pendidikan berusaha mencetak manusia dengan kemampuan olah pikir yang baik. Ranah psikomotorik lebih menekankan aktivitas fisik. Ranah afektif terkait erat dengan sikap, nilai, dan perilaku. Kejujuran ada di dalamnya. Fenomena wabah korupsi dan white crime collar di negeri ini merupakan ujung absennya penanaman aspek afektif di pendidikan.

Sulit mengelak bila pendidikan negeri ini dikatakan lebih menekankan ke aspek kognitifnya. Dari tingkat pendidikan dasar hingga menengah, tengarai tersebut mencuat dan disimbolkan dalam rezim unas. 

Penekanan aspek pendidikan yang kurang mendukung pembentukan mental dan karakter makin diperparah dengan adanya kehampaan suri teladan para pendidik. Peribahasa "guru kencing berdiri, murid kencing berlari" bukan kalimat kosong. 

Kasus termuktakhir adalah dugaan aksi penjiplakan yang dilakukan Anggito Abimanyu, guru besar UGM. Kasus ini menampar keras pendidikan nasional. Anggito selama ini dipersepsikan publik sebagai sosok humble dan relatif lurus. Nalar sebagian orang yang meyakini sosok Anggito demikian menjadi terjungkirkan manakala dia mampu melakukan ketidakjujuran dengan memplagiat karya orang. 

Meski yang bersangkutan menyatakan mundur dari UGM karena kasus plagiasi (17/2), itu tidak berarti rampungnya persoalan. Setidaknya, ini memunculkan fenomena gunung es, bahwa ketidakjujuran di ranah pendidikan sangatlah nyata dari sisi kuantitas dan kualitas. Dalam catatan, aksi plagiarisme yang dilakukan kalangan pendidik sudah tersebar di pelbagai perguruan tinggi, seperti: UI, ITB, UPI, Unila, dan sekarang UGM. Justifikasi bahwa pelaku korupsi mayoritas lulusan pendidikan tinggi menjadi connected dengan adanya kasus dosen yang mencuri karya orang. Bukankah korupsi dan plagiarisme hakikatnya adalah sama-sama mencuri? 

Harus ada upaya masif dalam melawan ketidakjujuran ini. Di ranah korupsi, aparat penegak hukum harus lebih sinergis dan akseleratif dalam menumpas tindak korupsi. Menjatuhkan hukuman maksimal serta memiskinkan para koruptor merupakan langkah tepat. Perguruan tinggi hendaknya tidak menolerir dan menutup-nutupi aksi plagiarisme yang dilakukan oleh dosen. Meski Anggito Abimanyu sudah menyatakan mundur dari UGM, itu lebih ke urusan pribadinya. Namun, kerugian UGM dan civitas academikanya jelas tak ternilai. Jika Mahkamah Agung "mulai" berani menjatuhkan hukuman berat ke koruptor, mestinya UGM bisa melakukan hal yang sama untuk dosennya yang tak bermoral. UGM sebagai kiblat pendidikan di negeri ini mestinya jangan kalah dengan Unpar (swasta) yang berani menjatuhkan sanksi pemecatan secara tidak hormat kepada Prof Anak Agung Banyu Perwita yang juga melakukan tindak plagiarisme. 

Dengan hukuman maksimal diharapkan ada efek jera bagi yang ingin mencoba tidak jujur dengan melakukan aksi penjiplakan karya. Keberanian Siti Sundari menjatuhkan supata mati kepada Raden Abimanyu hendaknya menitis ke para petinggi UGM dalam memutus hukuman yang pantas untuk Anggito Abimanyu. Maksudnya bukan "membunuh" Anggito Abimanyu secara pribadi, tapi "membunuh" aksi plagiarisme di Kampus Biru tersebut.
Indeks Prestasi

Post a Comment