Mitigasi dan Penanganan BencanaFadjri Alihar ; Peneliti Bidang Ekologi Manusia LIPI, Doktor Geografi, Kassel University, Jerman |
KORAN JAKARTA, 19 Februari 2014
Sebulan terakhir negeri ini seakan dikepung berbagai jenis bencana dari segala penjuru mata angin silih berganti dari Sabang sampai Mereuke. Erupsi Gunung Sinabung belum reda betul, bencana banjir terus mengancam setiap waktu. Pada hari Kamis malam tanggal 13 Februari 2014 Gunung Kelud meletus, mengakibatkan hampir 100 ribu orang mengungsi. Untuk mengurangi risiko bencana dan kerugian yang timbul kiranya diperlukan berbagai langkah mitigasi dan antisipasi sejak dini. Sebenarnya bencana-bencana sejak awal dapat diprediksi menggunakan berbagai ilmu pengetahuan dan teknologi. Hanya, persoalannya, pemerintah tidak pernah mau belajar dan selalu gagap jika terjadi bencana. Ironisnya, masyarakat sengaja dibiarkan sendirian menghadapi. Tanpa mengesampingkan bencana lain, banjir merupakan musibah paling banyak melanda. Bencana banjir merupakan fenomena yang selalu melekat pada berbagai wilayah dan berkaitan erat dengan perubahan cuaca yang sangat ekstrem sehingga mengakibatkan intensitas curah hujan tinggi. Dampaknya, sejumlah wilayah dilanda banjir. Karakteristik banjir pada awal tahun 2014 berbeda dengan sebelumnya mengingat cakupannya sangat luas meliputi seluruh wilayah Indonesia. Pulau Jawa merupakan wilayah paling parah dilanda banjir, terutama di daerah pantai utara (Pantura). Banjir telah melumpuhkan jalur transportasi yang menghubungkan DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Sudah tidak terhitung lagi kerugian material seperti kerusakan infrastruktur dan kehancuran lahan pertanian masyarakat. Curah hujan yang sangat tinggi ternyata telah mengubah konfigurasi daerah-daerah yang dilanda banjir. Yang selama ini aman ternyata tiba-tiba dilanda bencana banjir bandang, seperti di Sulawesi Utara (Manado dan Kabupaten Sitaro), Maluku Tenggara (Maluku), dan Nunukan (Kalimantan Timur). Selama ini, beberapa daerah tersebut jarang dilanda bencana. Kini berubah menjadi kubangan bencana. Bencana banjir perlu mendapat perhatian serius dari pemerintah karena terjadi secara masif dengan cakupan sangat luas, sementara kerugian yang ditimbulkan kemungkinan setara dengan kerugian akibat bencana tsunami di Aceh. Fenomena banjir tersebut kiranya perlu dipertanyakan karena terjadi secara sistemik sepanjang tahun. Apakah bencana tersebut semata karena pengaruh tingginya curah hujan ataukah karena faktor kerusakan lingkungan. Kerusakan Ekosistem Seyogianya pemerintah dapat menjelaskan secara objektif faktor penyebab bencana banjir sekarang tanpa berlindung di balik faktor anomali cuaca mengingat selama ini banyak sekali kebijakan pembangunan yang dibuat pemerintah ditengarai penuh KKN, terutama melalui praktik rent-seeking. Tidak bisa dimungkiri bahwa banjir yang melanda beberapa wilayah, sebulan terakhir, merupakan dampak kerusakan ekosistem sebuah kawasan akibat tingginya aktivitas pembangunan. Kasus suap yang melibatkan Bupati Buol dalam pembukaan areal perkebunan kelapa sawit merupakan salah satu bentuk praktik rent-seeking yang melibatkan penguasa dan pengusaha. Dalam kasus suap tersebut telah terjadi alih fungsi lahan dalam pembukaan perkebunan kelapa sawit dengan menggunakan areal bekas HPH yang seharusnya berfungsi sebagai resapan air. Namun, dalam kenyataannya, pemerintah daerah berlomba-lomba mengonversi lahan secara besar-besaran untuk dijadikan perkebunan kelapa sawit dengan dalih peningkatan PAD tanpa memperhitungkan dampak lingkungan. Kematian 16 penerobos sehingga menjadi korban letusan gunung Sinabung pada tanggal 1 Februari 2014 merupakan salah satu bentuk kecerobohan pemerintah dalam penanganan bencana. Bahkan, sebelum peristiwa tersebut pemerintah berencana mengembalikan separo jumlah pengungsi (sekitar 16 ribu orang) ke daerah sekitar Gunung Sinabung dalam radius 5 kilometer. Namun, rencana tersebut belum sempat terealisasi karena tiba-tiba Gunung Sinabung kembali meletus. Pengalaman tersebut menunjukkan betapa lemahnya mitigasi yang dilakukan pemerintah dalam pengurangan risiko bencana. Dalam kasus meletusnya Gunung Sinabung terlihat mitigasi diterjemahkan sangat sederhana oleh pemerintah. Untuk menghindari jatuhnya korban kemudian pemerintah memasang baliho-baliho yang melarang masyarakat memasuki kawasan Gunung Sinabung. Baliho-baliho tersebut sama sekali tidak berarti bagi masyarakat lokal karena mereka dengan mudah memasuki kawasan Gunung Sinabung melalui jalan-jalan khusus yang selama ini mereka kuasai. Sebagai catatan, bencana besar yang terjadi sekarang biasanya jauh sebelumnya telah pernah terjadi, baik bencana banjir, gunung api, gempa bumi, maupun tsunami. Catatan sejarah tersebut kiranya perlu dicermati sekaligus dilakukan berbagai langkah antisipasi melalui kegiatan mitigasi, terutama untuk menghindari bencana yang lebih besar. Dengan demikian, secara periodik, perlu dilakukan simulasi-simulasi untuk mengurangi dampak risiko bencana, baik di daerah-daerah langganan bencana maupun wilayah yang jarang dilanda bencana. Berhubung sebagian besar wilayah Indonesia merupakan daerah rawan bencana, kiranya pemerintah perlu membentuk sebuah "Bank Data Bencana" yang di dalamnya berisi berbagai data, seperti sejarah, jenis, perilaku, dan jumlah korban bencana. Melalui bank data tersebut dapat dipantau perkembangan sebuah daerah yang rawan bencana dan sekaligus menyiapkan berbagai kebijakan berkaitan dengan penanganan bencana, mulai dari kegiatan mitigasi hingga antisipasi. Pemahaman tentang kebencanaan seyogianya disosialisasikan kepada masyarakat melalui pendidikan formal dan nonformal. Dengan demikian, masyarakat selalu waspada bila sewaktu-waktu terjadi bencana dan sekaligus dapat mereduksi jumlah korban. Pemerintah tidak menyadari bahwa bencana yang sama akan terulang pada waktu yang lain. Penanganan bencana yang dilakukan secara optimal sangat dibutuhkan, terutama untuk mengurangi penderitaan masyarakat dan jangan biarkan mereka seolah hidup di negeri yang kebal terhadap bencana. ● |
Post a Comment