Tak Cukup dengan TeknokrasiAnggun Trisnanto ; Pengajar di Universitas Brawijaya |
TEMPO.CO, 19 Februari 2014
Belakangan ini, nama Jokowi dan Risma kembali mencuat. Dua orang pejabat publik tersebut contoh pemimpin yang baik. Namun Wali Kota Risma sedang menghadapi masalah internal. Walaupun belum bisa dipastikan kebenarannya, tekanan birokratis ada di balik wacana pengunduran diri Risma. Tulisan ini tidak akan membahas tentang apa dan siapa di balik persoalan tersebut. Namun tulisan ini akan mengungkap bahwa apa yang dilakukan Risma,dan mungkin juga Jokowi, tidak cukup untuk melakukan reformasi birokrasi. Salah satu agenda yang penting pasca-Reformasi 1998 adalah reformasi birokrasi. Sayangnya, tidak dirinci secara detail bagaimana melakukan halter sebut. Yang selama ini dilakukan adalah reformasi birokrasi yang sifatnya teknokratik. Proses pengambilan kebijakan yang transparan dan pola penganggaran yang partisipatif adalah contoh model tradisional dalam model teknokrasi. Tapi, kenapa semua ini belum dirasa cukup untuk melakukan reformasi total? Ada dua alasan yang akan diuraikan. Pertama, jabatan publik adalah juga jabatan politik. Artinya, pejabat harus mengakui bahwa dia akan melakukan pembenahan ke dalam instansi pemerintahannya. Ini sudah terjadi, khususnya yang dilakukan Jokowi di Jakarta. Namun, yang harus diingat, jabatan publik adalah juga bentuk kompromi atas relasi kekuasaan. Relasi inilah yang sekarang ini berubah (dalam kasus Risma). Dukungan bisa berubah menjadi ancaman dan juga sebaliknya. Pengakuan masyarakat terhadap kinerja pemerintahan ternyata belum cukup tanpa adanya penguatan dari aliansi pendukungnya. Aliansi ini bentuk nyata kemapanan relasi kekuasaan antara pejabat publik, partai politik,dan masyarakat sipil. Apabila peta aliansi berubah, maka jangan harap kekuasaan pejabat publik akan langgeng. Kedua, kebijakan publik yang dikeluarkan tanpa menghitung kalkulasi ekonomi-politik justru akan menjadi bumerang bagi pejabat publik. Misalnya,kebijakan pengentasan masyarakat dari kemiskinan, peningkatan pelayanan publik, transparansi anggaran dan pengadaan barang, bisa jadi sebuah terobosan baru, namun bisa menjadi blunder apabila kebijakan ini mengesampingkan kekuatan ekonomi-politik. Kekuatan ekonomi-politik di sini adalah pengusaha, cukong, dan broker yang selama ini menikmati keuntungan dari sistem lama yang korup. Bisa jadi, kekuatan ini tidak hilang, namun sembunyi sementara untuk melihat kapan waktu yang tepat untuk melakukan serangan balik. Karena itu, perlu digagas ide baru tentang penyeimbangan kekuatan ekonomi-politik dan model teknokrasi yang selama ini berjalan tidak seiring. Dari dua alasan tersebut, tulisan ini ingin menggarisbawahi bahwa model penyelesaian teknokratik seperti yang sekarang dilakukan Jokowi dan Risma tidaklah cukup untuk melanggengkan program kerja mereka yang sudah berjalan baik. Perlu ada kalkulasi ulang dan pemetaan kembali peta relasi kekuasaan yang dulu telah mendukung mereka mendapatkan jabatan publik. Sekaligus, mengakomodasi kepentingan mereka dalam proses pembuatan kebijakan (dengan catatan bahwa kepentingan mereka tidak berbenturan dengan kepentingan publik). ● |
Post a Comment