Efek Positif KultivasiGunawan Witjaksana ; Dosen dan Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi (Stikom) Semarang |
SUARA MERDEKA, 05 Maret 2014
SETELAH Ramadhan Pohan, giliran Marzuki Alie melontarkan pernyataan melalui berbagai media, berkait kesangsiannya terhadap kemampuan Jokowi. Kendati elektabilitas Jokowi saat ini paling tinggi, keduanya tetap menyangsikan kemampuan Joko Widodo andai dicalonkan presiden oleh PDIPdan kemudian terpilih. Dua elite Partai Demokrat tersebut antara lain menunjuk ketidakmampuannya mengatasi banjir dan kemacetan di DKI Jakarta. Apa yang mereka sampaikan itu seolaholah tidak ada persoalan. Hal itu mengingat pada era demokrasi, menyampaikan pendapat atau pandangan, termasuk kritik, justru menjadi suatu keniscayaan. Sudahkah tepat kritik dua petinggi Demokrat yang mereka lontarkan melalui berbagai media massa? Bagaimana kira-kira dampaknya, baik terhadap Jokowi (sebagai Gubernur DKI atau andai kelak dicapreskan partainya), maupun bagi parpol pengusungnya. Atau justru sebaliknya, dampak bagi pengkritik dan parpol tempat keduanya bernaung. Di sisi lain kini publik melihat, kendati hal itu bukan atau belum menjadi sikap resmi PDIP, hasrat untuk mencapreskan Jokowi makin menguat. Minimal hal itu tercermin dari sikap PDIP Projo (Pro-Jokowi) yang akan mendeklarasikan pencalonan itu (SM, 4/3/14). Melontarkan kritikan melalui media massa, tentu memerlukan perhitungan cermat, terlebih bila elite politik yang melakukan. Sedari awal mereka perlu memperhitungkan kekuatan media massa, dari melipatgandakan pengetahuan hingga menghasilkan interaksi pararasional. Demikian pula menyangkut isi pernyataannya, apakah itu sesuai dengan kenyataan, dan apa persepsi masyarakat yang makin dicerdaskan media, terhadap tokoh yang mereka kritik. Mencermati kritik dua petinggi Demokrat, setidak-tidaknya masyarakat tentu akan memersepsikan sebagai kelumrahan karena datang dari lawan politiknya. Terlebih menjelang Pemilu 2014 yang waktunya kian dekat. Permasalahannya, tepatkah dan objektifkah isi kritik itu? Kritik mereka terhadap ketidakmampuan Jokowi mengatasi banjir dan kemacetan di DKI Jakarta, sangatlah tidak objektif. Selain Jokowi belum genap setahun menjabat gubernur, ia pun telah melakukan berbagai upaya nyata. Termasuk berkoordinasi dengan pusat dan kepala daerah sekitar mengingat penyebab banjir Jakarta justru dipicu oleh faktor dari luar Jakarta, semisal ’’kiriman’’ air dari Bogor. Jokowi pun telah menormalisasi Waduk Pluit dan Ria-Rio, serta alur Kali Ciliwung. Terkait dengan penanganan kemacetan pun, tentu tak mudah seperti membalik telapak tangan. Selain pertumbuhan kendaraan yang antara lain terkait dengan program mobil murah yang tentu bukan wewenang Pemprov DKI, juga ada ketidakberimbangan pertumbuhan jalan. Publik juga tahu Jokowi telah berupaya menyediakan bus terintegrasi, menambah unit bus Trans Jakarta, termasuk mensterilisasi jalur (bus way). Kultivasi Positif Justru masyarakat yang kini makin cerdas, melihat capaian-capaian positif Jokowi sehingga tidaklah mengherankan kinerjanya sebagai gubernur yang terekspose media memunculkan efek kultivasi yang positif terhadap keseriusannya. Secara otomatis, elektabilitasnya terdongkrak dari waktu ke waktu. Sangatlah tidak tepat bila Pohan dan Marzuki mengatakan tidak ada kaitannya antara elektabilitas Jokowi dan kemampuannya memimpin RI andai kelak terpilih jadi presiden. Kita bisa melihat, minimal salah satu prinsip komunikasi dan public relations yang menyatakan bahwa hasil kerja lebih berseru nyaring dibanding hanya berwacana (work speack loudly than words). Realitas itu menyebabkan orang makin bersimpati dan berkeinginan memilih Jokowi andai kelak dicalonkan sebagai presiden oleh partainya. Kemeningkatan elektabilitas Jokowi yang sekaligus memperkuat keinginan masyarakat berdasarkan hasil suvei yang dilakukan oleh berbagai lembaga, tentu bukanlah main-main, terlebih andai menuduh by design. Opini mayoritas telah terbentuk maka yang mencoba menentangnya, bila tidak cermat, tidak berhati-hati, dan salah memilih momentum, justru akan menimbulkan efek bumerang. Meski pelaksanaan pemilu makin dekat dan pencitraan itu masih cukup efektif guna meraih positioning di mata calon pemilih, calon pemilih yang makin cerdas pun tentu telah memiliki keinginan terhadap calon pemimpinnya ke depan (consumers insight). Hasil survei menyangkut elektabilitas merupakan indikator konkret terkait hal itu. Ke depan, dalam melontarkan pernyataan atau pun kritik melalui media, seyogianya para elite politik tetap mengedepankan empati, serta berhati-hati memilih pesan dan waktu yang tepat. Pilihan sikap itu supaya pernyataan dan kritiknya tidak justru berbalik menjadi bumerang yang menohok dirinya sendiri. ● |
Post a Comment