Sinergi Atasi Bahaya Narkotika

Sinergi Atasi Bahaya Narkotika

Sri Winarti  ;   PNS Provinsi Jawa Tengah,
Pernah bekerja di Badan Narkotika Nasional Provinsi Jawa Tengah
SUARA MERDEKA,  05 Maret 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                      
Hasil survei BNN dan UI tahun 2011 tentang penyalahgunaan narkotika di Indonesia menyebutkan angka prevalensi sudah mencapai 2,2% atau sekitar 3,8 juta orang dari total populasi penduduk usia 10-60 tahun.

Dibanding tahun 2008, dengan prevalensi 1,99% atau sekitar 3,3 juta orang, yang berarti dalam tiga tahun meningkat 0,21%. Kini bahkan muncul kekhawatiran penyalahgunaan narkotika bakal terus meningkat bila program Pencegahan, Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkotika (P4GN) tidak berjalan efektif.

Hal itu diperburuk oleh banyaknya laboratorium gelap (clandestine laboratory/CL) yang dibuat sindikat pengedar narkotika, baik berskala rumahan maupun pabrikan.

Keberadaan laboratorium gelap itu menjadikan posisi Indonesia yang semula hanya negara transit menjadi produsen, khususnya untuk jenis amphetamine-type stimulants (ATS). Sindikat membangun ’’pabrik’’ ATS tidak hanya di Jakarta tapi juga di ibu kota provinsi lain, semisal di Surabaya, Medan, Pekanbaru, dan Banjarmasin.

Bahkan, beberapa waktu lalu pihak yang berwajib menemukan ’’pabrik’’ di Tulungagung, dan Banyuwangi (Jatim), Maros (Sulsel), dan Batam (Kepri). Penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika bukan hanya menyangkut masalah kesehatan melainkan juga menjadi penyakit sosial.

Bahkan jadi beban pemerintah, dan masyarakat, terutama berkait biaya penyembuhan, seperti detoksifikasi dan rehabilitasi. Terlebih bila ada ekses seperti terinfeksi HIV, terkena AIDS, hepatitis, atau tuberkolusis.

Belum lagi keterkaitannya dengan produktivitas rendah dari pecandu, risiko menjadi penganggur, dan kerugian harta benda akibat kecelakaan atau tindak pidana yang mungkin dilakukan pecandu. Kita tidak bisa memungkiri pecandu narkotika tak bisa berpikir jernih atau rasional bila sedang ketagihan.

Menyadari kompleksitas permasalahan akibat penyalahgunaan narkotika sudah waktunya semua eleman di Jateng memadukan langkah. Sinergitas itu melibatkan instansi vertikal (lembaga yang mengemban amanat UU Narkotika dan perpres) dan Pemprov beserta pemkab/pemkot, melalui instasi terkait di wilayah kerjanya.

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika mengamanatkan ada pemisahan perlakuan antara pengedar dan pecandu narkotika. Seorang pecandu pada hakikatnya adalah orang sakit yang harus mendapatkan pelayanan perawatan, baik rehabilitasi medis maupun rehabilitasi sosial.

Kendala Kelembagaan

Implementasinya didukung PP Nomor 25 Tahun 2011 tentang Tata Laksana Wajib Lapor Pecandu Narkotika. Regulasi itu mengatur siapa yang bisa melakukan wajib lapor, dan tempat/institusinya.

Institusi wajib lapor (IPWL) adalah institusi yang ditunjuk pemerintah untuk memberikan pelayanan, baik perawatan medis maupun sosial. Realitasnya kita masih melihat banyak hambatan menyangkut bidang kelembagaan, seperti kesiapan puskesmas, rumah sakit, dan lembaga rehabilitasi, dan aparatur pemerintah.

Belum lagi apatisme dari pecandu, dan stigma dari masyarakat yang memandang penyalahguna narkotika adalah pelaku kriminal . Mengatasi kendala itu, pemerintah melalui instansi yang menangani bidang P4GN dapat melibatkan secara aktif seluruh komponen masyarakat, termasuk pegiat LSM, serta tokoh agama/masyarakat/ormas.

Selain itu, membangun komitmen dan sinergitas antarlembaga terkait, termasuk membentuk jejaring dan pemberdayaan masyarakat. Berkait penanganan pelayanan rehabilitasi medis ataupun sosial di Jawa Tengah, persoalan mendasar adalah tidak memadainya kapasitas lembaga yang menangani. Keterbatasan itu menyangkut ketersediaan sarana dan prasarana, SDM, dana, dan pemahaman pola penanganan yang tak melanggar HAM.

Karena itu, upaya tersebut memerlukan sinergitas antarpemangku kepentingan (stakeholder). Penyembuhan pecandu bukan usaha yang mudah karena penanganannya tak seperti mengobati penyakit fisik namun menyangkut kompleksitas persoalan.
Indeks Prestasi

Post a Comment