Setelah Deklarasi Marunda

Setelah Deklarasi Marunda

Ridho Imawan Hanafi ;   Peneliti di Soegeng Sarjadi Syndicate
TEMPO.CO,  20 Maret 2014
                          
                                                                                         
                                                      
Pencapresan Jokowi oleh PDIP setidaknya memunculkan dua situasi yang berbeda dalam perkembangan dinamika politik kepartaian menjelang pemilihan legislatif, yakni bagi PDIP dan partai lain. Yang pertama, bagi PDIP, pencapresan Jokowi telah menerbitkan optimisme mengenai masa depan partai berlambang banteng moncong putih itu. Semangat ganda muncul dan menjadi daya dorong bagi kader dan simpatisan mereka dalam memenangi kompetisi elektoral, baik pemilihan legislatif maupun pemilihan presiden mendatang.

Nama Jokowi kini menjadi semacam garansi kemenangan. Berbagai potret sigi yang dirilis banyak lembaga survei berkompeten memperlihatkan penunjuk jalan akan perolehan suara PDIP jika Jokowi dicapreskan sebelum pemilihan legislatif digelar. Pencapresan Jokowi diprediksi bisa mendongkrak perolehan suara PDIP. Karena itu, wajar jika nanti dalam PDIP terhampar harapan tidak saja dapat memenuhi presidential threshold sebesar 20 persen, tapi juga melebihi target yang dicanangkan: 27,02 persen.

Target tersebut bukan tidak mungkin akan tercapai. Hal-hal berikut bisa membantu menjelaskan kemungkinan tersebut. Internal PDIP terlihat solid dalam mengusung Jokowi sebagai capres. Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri, seorang yang memiliki peran sentral dalam langkah politik partai, menggenggam penuh keputusan politiknya untuk mengusung Jokowi. Semua elemen partai juga satu suara, berada di belakang Megawati untuk mengamankan Jokowi.

Soliditas seperti itu tentu memudahkan partai. Artinya, PDIP tidak dihadapkan pada sebuah ruang spekulasi, seperti yang terlihat pada sebagian partai lain. PDIP memiliki elektabilitas yang tinggi, dan peluang menang di pemilihan legislatif juga besar. Selain itu, calon presiden PDIP berpeluang menjadi pemenang. Di sebagian partai, tampak antara partai dan capresnya belum kongruen peluangnya seperti yang terlihat pada PDIP. Dengan kata lain, elektabilitas partainya tinggi, sedangkan capresnya belum, atau sebaliknya.

Dengan adanya soliditas internal dan ditambah momentum peluang tersebut akan menjadi modal politik yang penting bagi para kader PDIP dari pusat sampai daerah yang sedang berusaha menjadi calon anggota legislatif. Sambil itu, mereka dapat memupuk keyakinan politik bahwa dengan menang pemilihan legislatif, Jokowi akan bisa meraih kursi presiden. Bagi PDIP, inilah momentum untuk kembali memerintah setelah satu dasawarsa memilih untuk berada di luar pemerintahan.

Yang kedua, situasi menguntungkan yang dipetik PDIP tersebut berbeda halnya dengan partai lain. Pencapresan Jokowi kini bisa dikatakan memunculkan perasaan "harap-cemas" bagi partai di luar PDIP. Prospek elektoral Jokowi yang dinilai bisa melambungkan perolehan suara PDIP membuat mawas partai lain mengenai nasib perolehan suara mereka. Karena hasil riset survei di antaranya juga memperlihatkan bahwa pencapresan Jokowi turut menyedot suara partai untuk kemudian teralihkan ke PDIP.

Kondisi tersebut mau tidak mau akan memaksa partai-partai untuk meninjau ulang strategi politiknya. Di hadapan mereka kini terdapat kandidat presiden lawan yang kekuatannya belum bisa terbendung oleh kandidat-kandidat lain. Sementara sebelumnya masih terdapat ketidakpastian apakah PDIP akan mencapreskan Jokowi atau tidak, setelah deklarasi Marunda terikrar, kini hal itu terang-benderang. Dalam artian, peta politik yang sebelumnya sedikit samar, sekarang sudah tergambar dengan jelas.

Sedangkan untuk agenda pemilihan presiden, masing-masing partai yang saat ini sebagian sudah memiliki calon presiden tidak bisa bersikap terlalu kaku untuk mempertahankan pendirian pengusungan calonnya. Mereka dapat memilih melakukan koalisi agar bisa mengimbangi persaingan dengan Jokowi. Koalisi seperti itu mensyaratkan pasangan capres dan cawapres dengan performa yang bisa mendekati elektabilitas Jokowi. Jika tidak memenuhi syarat itu, harapan untuk bisa bersaing sulit dicapai.

Pilihan lainnya, bagi partai yang belum memiliki capres unggulan, yang bisa mereka lakukan adalah bersaing untuk memperebutkan cawapresnya Jokowi. Cawapres PDIP adalah posisi yang saat ini menjadi incaran mengingat posisi tersebut menjanjikan kekuasaan.

Dalam dua cermatan tersebut, khusus bagi PDIP, sikap optimisme boleh saja ditaburkan dalam masa kampanye. Para calon anggota legislatif mereka juga bisa memanfaatkan modal positif di atas. Hanya, sikap optimisme tidak serta-merta ditingkatkan levelnya sehingga menjadi surplus optimisme. Karena surplus optimisme bisa menawarkan jebakan yang membuat mereka hanya memanfaatkan momentum partai yang positif dan popularitas Jokowi semata tanpa mengimbanginya dengan kerja optimal.

Selain itu, PDIP perlu bersiap dengan sorotan-sorotan yang muaranya mendegradasi partai dan Jokowi. Karena besar kemungkinannya akan muncul beragam upaya dari pihak-pihak yang berada dalam posisi berseberangan dengan PDIP dan Jokowi menginginkan dukungan suara pada Jokowi tergerus. Namun, sebagai partai yang tampaknya bersiap diri untuk menang, saya kira PDIP sudah menyiapkan langkah antisipasinya.

Megawati dan Deklarasi Marunda

Megawati dan Deklarasi Marunda

 Sukardi Rinakit ;   Peneliti Senior Soegeng Sarjadi Syndicate
KOMPAS, 15 Maret 2014

                                                                                
                                                                                                             
SAYA terharu dengan jiwa besar Megawati Soekarnoputri, Ketua Umum PDI-P. Kini terbukti sudah bahwa Megawati memang anak biologis dan ideologis Bung Karno. Bukan kekuasaan untuk diri sendiri yang direngkuh, melainkan nasib bangsa Indonesia.

Sebagai ibu, demi harapan terwujudnya Indonesia Raya, Megawati selama ini bekerja dalam diam. Ia membesut para kader muda PDI-P, mengonsolidasi partai, serta menerima kritikan dan ejekan lawan politik tanpa berkata-kata. Hingga Jumat 14 Maret 2014, ia akhirnya mengeluarkan perintah harian yang berwibawa dan terasa sakral karena ditulis dengan tangan.

”Saya Ketua Umum Partai Demokrat Indonesia Perjuangan. Kepada seluruh rakyat Indonesia yang mempunyai mata hati keadilan dan kejujuran di mana pun kalian berada! Dukung Bapak Joko Widodo sebagai capres dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Jaga dan amankan jalannya pemilu legislatif–terutama di TPS-TPS dan proses penghitungan yang berjalan dari segala bentuk kecurangan dan intimidasi, teguh dan tegarkan hati dalam mengawal demokrasi di Republik Indonesia tercinta.”

Makna kultural

Perintah harian itu segera disambut oleh rakyat dengan kegembiraan dan rasa syukur. Keikhlasan Megawati menggendong dan menuntun Joko Widodo alias Jokowi untuk menyeberang jalan dengan selamat membuktikan bahwa sebagai pribadi Megawati memang sudah ”duduk” (resolved).

Ia ibarat bunga bakung dan matahari, selalu meneduhi dan memberi energi bagi terwujudnya Indonesia Raya yang ditegakkan dengan ketiga pilar Trisakti Bung Karno (berdaulat secara politik, berdikari di bidang ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan).

Dengan konstruksi seperti itu, ambisi politik Megawati sejatinya bukan lagi sekadar urusan kontestasi kekuasaan dan hak-hak istimewa politik dan ekonomi, melainkan menyaksikan rakyat Indonesia bisa mesem (tersenyum). Cukup pangan, sandang, papan, serta biaya pendidikan dan kesehatan yang terjangkau. Apalagi jika rakyat bisa gemuyu (tertawa).

Maknanya, selain kebutuhan dasar tersebut, mereka juga mempunyai tabungan dan bisa piknik. Pendeknya, dalam batas-batas tertentu, secara teoretis Megawati boleh disebut sudah post-materialist.

Sementara itu, di rumah panggung yang dulunya milik si Pitung di Marunda, Jakarta Utara, Jokowi, yang mendapat mandat dari Megawati Soekarnoputri, dengan santun mendeklarasikan diri sebagai calon presiden dari PDI-P.

Secara kultural, Deklarasi Marunda tersebut penuh makna. Salah satunya adalah kuatnya narasi perjuangan untuk menegakkan keadilan, membebaskan diri dari kemiskinan dan ketakutan, serta menggalang keberanian dan optimisme bersama.

Ini berkaitan dengan kondisi Marunda yang selama ini terbelit kekumuhan dan suara-suara kemiskinan. Jokowi berkehendak bukan saja membebaskan beban berat mereka, melainkan juga seluruh bangsa Indonesia.

Komunikasi politik kultural                                                   

Merenungkan hal tersebut, saya teringat kata-kata Emak, 18 Agustus 2013. Katanya, pada saat yang tepat, Megawati pasti akan mengumumkan Jokowi sebagai calon presiden. Sejatinya, Megawati perasaannya halus dan bisa membaca ”tanah punya mau” (gerak sejarah).

Lebih dari itu, Emak juga mengatakan, menurut gugon tuhon (kepercayaan) orang-orang tua dulu, Raja Jayabaya dari Kerajaan Kadiri pernah menulis dalam bukunya yang berjudul Musasar.
                                                                    
Salah satu isinya: ”Pada suatu masa nanti bekas kerajaan Majapahit akan lebih adil dan makmur apabila dipimpin oleh anak yang lahir di dekat Gunung Lawu, rumahnya pinggir sungai, masa kecilnya susah tukang cari kayu, badannya kurus seperti Kresna, wataknya keras kepala seperti Baladewa, kalau memakai baju tidak pantas, ada tahi lalat di pipi kanannya, dan mempunyai pasukan yang tidak kelihatan”.

Mendengar cerita itu, saya langsung tertawa. Tanpa berpikir pun, mudah ditebak, ilustrasi tersebut mirip dengan Jokowi. Agar Emak tidak tersinggung, penulis menahan tawa dan pura-pura batuk.

Meski penulis menekuni pendekatan budaya politik, sejauh ini bangunan teoretisnya berpijak pada sejarah kampung dan bukan gugon tuhon. Preferensi politik masyarakat ditentukan oleh lingkungan tempat dia dibesarkan. Mereka yang tumbuh di lingkungan pertanian padi, misalnya, mempunyai preferensi politik berbeda dengan mereka yang tumbuh di perkebunan tebu.

Alam bawah sadar masyarakat yang tumbuh di lingkungan pertanian padi secara umum lebih percaya pada klenik. Mungkin karena terlalu banyak upacara tradisional di sini.

Sebaliknya, mereka yang tumbuh di perkebunan tebu lebih terikat pada ideologi. Ini bisa dilihat dari sejarah republik di mana pemberontakan komunis umumnya terjadi di daerah perkebunan, terutama perkebunan tebu. Konflik kelas antara petani dan pihak pabrik (tebu) menjadi medan sosialisasi ideologi kritis bagi mereka yang tumbuh di lingkungan tersebut.

Akan tetapi, setelah Deklarasi Marunda ini saya berpikir dari kacamata komunikasi politik kultural. Jika ibu saya saja meyakini gugon tuhon itu, berapa banyak orang Jawa yang juga mempercayainya?

Terlepas dari kontroversi yang mungkin timbul, apabila hal itu dikapitalisasi secara tepat, ia bisa menjadi mesin optimisme. Orang akan bersedia bekerja keras, prihatin, hidup sederhana, membangun, dan bergotong-royong mengikuti panduan Jokowi.

Hormat saya kepada Megawati Soekarnoputri!