Bahaya Laten Siaran Tak Mendidik

Bahaya Laten Siaran Tak Mendidik

Arbai  ;   Pendidik, Alumni S-2 MM UGM Yogyakarta,
Pengurus Asosiasi Guru Penulis Indonesia (Agupena)
SINAR HARAPAN,  21 Februari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                                                                                       
Banyak penelitian menyebutkan, terjadinya pergeseran perilaku akibat kehadiran teknologi televisi sejak puluhan tahun lalu. Kotak ajaib itu bukan saja mempercepat informasi, melainkan mereduksi tata nilai masyarakat. Percepatan informasi yang disajikannya pun membawa perubahan besar.
Maraknya tayangan bergenre kekerasan serta melanggar kesopanan dan kesusilaan sama artinya menjerumuskan anak pada masa depan yang suram. Jadi, tidak mengherankan banyak anak gemar berperilaku kasar serta melanggar kesopanan dan berlaku tidak senonoh.

The National Institute of Mental Health dalam laporan “Television and Behavior,” yang meneliti masalah kekerasan dalam televisi, menyimpulkan kekerasan dalam tayangan televisi menimbulkan perilaku agresif pada anak-anak dan remaja yang menyaksikan acara itu.

Banyak sekali kita saksikan lawakan yang disertai hinaan, umpatan, dan makian pada acara televisi telah menjadi menu “wajib” di beberapa stasiun televisi swasta akhir-akhir ini. Anak-anak pun tumbuh dan dibesarkan dengan acara-acara televisi yang tidak mendidik. Saban hari anak-anak disuguhi acara yang bisa meracuni alam pikirannya.

Seperti yang pada sanksi terhadap dua stasiun televisi swasta yang mendapatkan pengurangan durasi siaran 30 menit akibat menampilkan tayangan yang tak mendidik, yakni Pesbukers yang tayang di ANTV dan Dahsyat yang tayang di RCTI. Dalam surat bernomor 90/K/KPI/01/14 dan 91/K/KPI/01/14 disebutkan acara itu termasuk dalam kategori pelanggaran ketentuan perlindungan anak, serta norma kesopanan dan kesusilaan (Tempo.co, 25 Januari 2014).

Tayangan-tayangan lawakan yang disertai ejekan-ejekan ini sangat membahayakan pada perilaku anak-anak. Douglas Groothuis profesor filsafat dari Denver University, AS, mengatakan televisi tanpa henti menyajikan dunia palsu dari diskontinuitas dan fragmentasi. Siaran televisi tidak mementingkan konteks yang rasional secara keseluruhan acara, plot, dan berjalan tanpa alur.

Ini sangat berbahaya bagi perkembang anak yang mengonsumsi acara itu. Ini karena anak belum mempunyai filter yang cukup kuat untuk menangkap isi siaran. Dunia anak merupakan dunia imitasi. Karena itu, meniru merupakan sifat dominan yang dalam usia mereka yang belum dewasa.

Fungsi televisi sejatinya ada tiga, yaitu hiburan, pendidikan, dan informasi. Namun, jika melihat tayangan televisi yang didominasi hiburan yang tidak mendidik, patut disayangkan. Televisi swasta lebih mengutamakan sisi bisnis dan mementingkan rating siaran daripada sisi pendidikannya.

Lalu, beberapa stasiun televisi kita terlalu kebablasan dalam menayangakan lawakan yang sifatnya humor. Kata-kata kasar meluncur dari mulut pembawa acara yang bertujuan mendapatkan tawa dari pemirsa. Namun di saat yang sama, anak-anak yang menyaksikan acara mengenal kata-kata kasar tersebut. Ini secara tidak langsung mengajarkan mereka kekerasan verbal.

Acara-acara tidak mendidik terus saja mendominasi dibandingkan dengan acara yang sifatnya mendidik. Tayangan yang melecehkan bentuk fisik bukan lagi hal langka kita temukan pada acara televisi.

Sebuah ironis dan lebih mengerikan lagi tayangan-tayangan kekerasan pun mendominasi acara televisi, baik tayangan bersifat kekerasan fisik maupun kekerasan nonfisik (verbal). Berdasarkan pengaduan masyarakat, tayangan kekerasan masuk 10 besar jenis materi yang diadukan publik pada KPI (Riayanto, 2013).

Televisi tidak lagi mempertimbangkan pengaruh tayangan terhadap masyarakat. Padahal siaran televisi juga dituntut untuk memiliki kepekaan dan tanggung jawab sosial terhadap pemirsa. Hal ini itu sepertinya luput dari perhatian para pemilik stasiun.

Kecenderungan televisi lebih bersifat pragmatis. Televisi meraup laba sebesar-besarnya dengan mengabaikan pendidikan publik serta berorientasi pasar tanpa mempertimbangkan baik dan buruk efek yang ditimbulkannya.

Mendominasinya acara-acara yang tidak mendidik bagi anak-anak dan lebih mengejar rating siaran membutuhkan perhatian luas dari masyarakat, terutama para orang tua yang harus bertanggung jawab langsung pada anaknya. Jangan biarkan anak-anak menyaksikan acara-acara yang tak bermanfaat, melecehkan, dan melanggar kesopanan.

Awasi mereka ketika berada di hadapan layar kaca. Para orang tua harus selalu mendampingi anak-anaknya saat mereka berada di depan televisi. Para orang tua pun dianjurkan selektif memilih acara bagi anak-anak mereka agar tidak terkena dampak tayangan yang tidak mendidik.

Pihak pemilik stasiun televisi juga harus merancang siaran ramah anak yang sifatnya mendidik dan membuka pengetahuan baru. Kelayakan tayang siaran terutama saat prime time (19.00-21.00) harus menjadi pertimbangan.

Ini karena saat itu anak-anak biasanya sedang berada di depan layar kaca. Kalaulah stasiun televisi mempunyai perhatian yang diwujudkan dalam bentuk siaran yang ramah anak, paling tidak dapat mencegah mereka dari pembentukan sikap yang kurang baik.

Akhir kata, sebagaimana harapan kita semua para pemilik televisi dituntut untuk mempunyai komitmen bagi pembentukan karakter postif anak yang merupakan generasi penerus bangsa.

Karena itu, kita berharap fungsi edukasi dan peran televisi sebagai sarana pendidikan harus lebih diutamakan. Oleh sebab itu, sudah selayaknya tayangan televisi harus bisa menjadi guru yang menyemai kebaikan dan menjadi alternatif sumber ilmu pengetahuan bagi generasi muda. Semoga.
Indeks Prestasi

Post a Comment