Bangsa yang Gagal

Bangsa yang Gagal

Sulastomo  ;   Pemerhati Sosial-Politik
KOMPAS,  22 Februari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                                                                                       
Dalam buku Why Nations Fail (2013), Daron Acemoglu dan James A Robinson mengulas mengenai mengapa sebuah bangsa bisa maju dan mengapa sebuah bangsa tetap tertinggal. Dampaknya, sebagaimana kita saksikan bersama, dunia mengenal negara dengan pendapatan per kapita yang demikian tinggi dan banyak negara yang masih dirundung kemiskinan. Karena itu, potret  dunia dewasa ini diwarnai ketimpangan sosial yang lebar, antara negara berpendapatan tinggi dan negara berpendapatan rendah. Kesenjangan itu bukan hanya antarnegara, melainkan juga antar-kawasan, antardesa yang berdampingan sekalipun.

Dicontohkan bagaimana masyarakat di Nogales; sebagian di utara termasuk wilayah Amerika Serikat, di Negara Bagian Arizona, dan masyarakat Nogales di bagian selatan yang termasuk wilayah Meksiko. Pendapatan keluarga di Nogales utara mencapai 30.000 dollar AS per tahun, sedangkan di Nogales selatan hanya sepertiganya. Perbedaan itu berdampak pada pendidikan generasi mudanya. Jika di Nogales utara semua anak muda memperoleh peluang mengikuti pendidikan, di Nogales selatan banyak anak muda yang tidak bersekolah. Sebab, di Nogales selatan belum cukup tersedia pendidikan menegah sekalipun.

Dalam skala yang lebih besar, buku itu mencatat mengapa antara Korea Selatan dan Korea Utara juga terdapat perbedaan yang mencolok. Mengapa sebagian besar Afrika masih dirundung kemiskinan dan bahkan kelaparan. Demikian juga antara Amerika Selatan dan Amerika Utara. Ternyata perbedaan itu setelah melewati perjalanan panjang hingga ratusan tahun.

Dapat disimpulkan, maju mundurnya sebuah bangsa, kawasan, atau desa tergantung pada bagaimana penyelenggaraan administrasi negara, kawasan, ataupun desanya. Kuncinya, bagaimana peran serta masyarakat dapat memperoleh insentif dan peluang melakukan inovasi. Inilah rahasianya mengapa Thomas Edison atau Bill Gates dapat melakukan inovasi di Amerika Serikat atau Samsung dan Hyundai di Korea Selatan. Demikian juga kelahiran Revolusi Industri di Inggris. Meskipun pemerintahannya berbentuk kerajaan, insentif untuk melakukan inovasi terbuka lebar. Hal sama juga di Jepang sejak Restorasi Meiji dan di Perancis sejak Revolusi Perancis.

Semua itu dapat terjadi kalau penyelenggaraan pemerintahan negara/kawasan/desa itu inklusif. Pertama, inklusif dari sistem politik yang berdampak pada inklusif sistem ekonominya. Dengan sistem politik dan ekonomi yang inklusif, semua warga negara—tanpa membedakan asal-usul, etnis, ataupun agama—memiliki hak, kewajiban, dan kesempatan yang sama. Pluralisme dalam hal ini jadi landasan utama sistem politik dan ekonomi.

Kondisi seperti inilah yang mendorong setiap orang melakukan inovasi agar dihargai dan berpeluang maju, termasuk dari aspek ekonomi. Bill Gates bisa jadi orang terkaya di dunia karena inovasinya yang tentu saja berdampak pada pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat. Demikian juga Samsung atau Toyota berperan besar bagi pertumbuhan Korea dan Jepang.

Meski demikian, teori itu tidak seluruhnya benar. Salah satu contohnya adalah China. Setelah reformasi Deng Xiaoping tahun 1979, China telah tumbuh tinggi dalam tiga warsa terakhir, sampai dewasa ini. Padahal, sistem politiknya masih belum inklusif. Hal yang sama juga terjadi di Rusia (Uni Soviet) di era Perang Dingin, sebelum reformasi Gorbachev (1985). Namun, sebagaimana kita catat, Rusia akhirnya berantakan. Sistem politik yang tidak inklusif ternyata tidak dapat bertahan. Akankah nasib yang sama kita lihat di China? Marilah kita tunggu beberapa tahun mendatang.

Sistem politik dan ekonomi yang inklusif juga perlu arah dan kebijakan yang terintegratif dalam sebuah negara. Kebijakan nasional yang terintegratif itu harus mampu diimplementasikan. Dengan demikian, juga diperlukan kepemimpinan nasional yang kuat. Kalau tidak justru bisa melahirkan kondisi chaos. Pertumbuhan ekonomi yang diharapkan akan terganggu. Jelas,
sistem politik dan ekonomi yang inklusif belum menjamin kelangsungan pertumbuhan ekonomi.

Pelajaran bagi Indonesia

Buku itu dapat jadi bahan pembelajaran sangat berharga bagi Indonesia. Sistem politik dan ekonomi sejak era reformasi dapat dianggap telah inklusif meski dalam sistem politik masih saja ada benih-benih primordialisme agama dan bahkan etnisitas. Secara struktural, inklusivisme sistem politik dan ekonomi bahkan berlebihan. Hal ini tecermin dari kebijakan otonomi  daerah yang begitu luas sehingga banyak peraturan daerah yang dibatalkan pemerintah pusat. Tidakkah hal ini mengindikasikan sulitnya koordinasi penyelenggaraan negara? Demikian juga yang terjadi pada tingkat provinsi. Betapa sulit koordinasi antara pemerintah daerah tingkat dua di setiap provinsi. Otonomi yang demikian luas juga terbuka peluang ketimpangan antardaerah, mengingat perbedaan potensi setiap daerah bisa sangat lebar.   

Selain itu, sistem ekonomi yang kita terapkan ternyata juga telah membuka peluang penguasaan asing. Hal ini mungkin tidak terelakkan, mengingat peran investor asing kita harapkan.  Pertumbuhan ekonomi yang kita nikmati dapat dikatakan juga dinikmati asing. Wajar kalau masalah pengentasan dari kemiskinan dan pengangguran masih jadi pekerjaan rumah yang sangat berat. Belum lagi masalah ketenagakerjaan yang juga belum mantap. Apalagi peringkat kemudahan  doing-business kita juga masih tertinggal dibandingkan dengan banyak negara lain. Apa yang salah?

Ada pelajaran yang mungkin dapat kita petik dari Jepang dan negara-negara Skandinavia. Di sana, meskipun sistem politik dan ekonominya inklusif, ada kebijakan ekonomi dan juga budaya  yang mampu mengintegrasikan segenap potensi bangsa. Kebijakan dan budaya itu adalah rasa kebersamaan atau kegotongroyongan. Perekonomian negara-negara Skandinavia sangat menekankan pengembangan koperasi sehingga pekerja/buruh diberi peluang memiliki perusahaan lewat koperasi pekerja/buruh tempat kerja. Di Jepang dikenal dengan apa yang disebut long live employment, ’hubungan kerja seumur hidup’, sehingga seluruh hidupnya dihabiskan bagi kepentingan perusahaan.

Rasa memiliki sangat besar karena tempat kerja menjamin kebutuhan dasar hidup yang layak bagi semua pekerja, melalui program jaminan sosial. Dengan demikian, juga tidak dikenal sistem outsourcing sehingga mengurangi permasalahan tenaga kerja. Jepang dalam hal ini terkenal sebagai negara yang memiliki tabungan dana jaminan sosial yang sangat besar. Dengan disimpan di bank Jepang, peringkat bank Jepang termasuk tinggi dengan suku bunga kredit yang sangat rendah, di bawah 1 persen.  Kenyataan ini telah berdampak terbukanya lapangan kerja yang semakin besar.

Tak berlebih bahwa kita, bangsa Indonesia, masih harus bergulat menemukan sistem politik dan ekonomi yang sesuai dengan budaya Indonesia. Budaya inklusif sebenarnya sudah sesuai dengan Bhinneka Tunggal Ika. Ada kesan, kebijakan otonomi daerah dan demokrasi yang kita terapkan dengan sistem pemilu/pilkada dan sistem multipartai merupakan wujud inklusivisme berlebihan. Kalau sulit mewujudkan semangat integrasi, baik dari aspek kebijakan maupun kepemimpinan, dikhawatirkan dapat menimbulkan chaos.
Indeks Prestasi

Post a Comment