Perang Simbolik Singapura-IndonesiaStanislaus Sandarupa ; Dosen Antropolinguistik pada FIB Universitas Hasanuddin |
KOMPAS, 22 Februari 2014
Protes Singapura lewat Menteri Pertahanan Kedua Chan Chun Sing atas penamaan kapal perang Indonesia, Usman Harun, merupakan peristiwa tutur menarik. Apa di belakang serangan protes itu? Kita teringat pada Shakespeare lewat suara Juliet bertanya kepada Romeo, ”Apalah arti sebuah nama? Yang kita sebut mawar, dengan nama lain pun, tetap sama harum.” Meski keluarga besar Romeo, Montague, bermusuhan dengan keluarga Juliet, Capulet, nama tak penting lagi karena hubungan mereka dilandasi cinta sejati. Walter Lippmann, seorang kolumnis politik, pernah berkata, ”Pertama kita melihat, kedua kita menamai, dan hanya dengan itu baru kita memahami.” Dari kedua pandangan itu, ada teka-teki sekitar nama dan penamaan. Terdapat suatu tradisi yang membedakan nama diri dan nama kelas. Nama diri berlaku untuk satu obyek, seperti Usman dan Harun, sedangkan nama kelas berlaku untuk sejumlah obyek seperti ”manusia”. Sejak dulu para filsuf sudah memperdebatkan apakah nama diri punya makna seperti kata sifat, kata benda, dan deskripsi tertentu. Paling kurang ada tiga kelompok pendapat filsuf. Pertama, teori nama tanpa makna atau nama menunjuk langsung yang dinamai, referen. Pendapat ini diajukan Plato dalam Theatetus dan Cratylus (dialog Plato dalam Hamilton 1985 [1961]) dengan prinsip Aufbau: nama merefleksikan bendanya. Russell tegas mengatakan bahwa nama diri tidak bermakna tanpa referen (Russell 1948). Wittgenstein menegaskan makna nama diri adalah obyek yang ditunjuk nama itu (Wittgenstein 1958). Kedua, teori kelompok deskriptivis yang mengembangkan pandangan di atas. Frege, misal-nya, mengatakan bahwa di samping nama dan referen terdapat juga makna. Dalam The Evening Star is the Morning Star terdapat dua nama yang menunjuk referen sama: planet Venus, tetapi punya makna berbeda. Makna memberi semacam cara obyek mempresentasikan diri yang berfungsi mengidentifikasi obyek. Obyek diterangi dari dua sisi oleh makna sehingga kedua ungkapan memberi informasi yang berbeda tentang referen sama. Pandangan ketiga adalah teori mata-rantai historis komunikasi Kripke. Kripke melihat bahwa ruang yang ada antara nama diri dan referen sebenarnya diisi sebuah proses yang terjadi berda- sarkan sebuah mata rantai. Sesudah penamaan, terjadi penyebaran lewat pemakaian dalam percakapan, pembacaan, dengan cara from link to link as if by chain (Kripke 1981[1972]). Penting di sini historisitas sebuah nama. Ketiga, teori ini mengetengahkan ada korelasi antara tiga komponen penamaan: nama, makna, dan referen. Dapat disimpulkan, nama diri adalah sejenis gantungan tempat melengketnya deskripsi penuh makna yang muncul secara historis dalam proses komunikasi dan berfungsi mengidentifikasi referen yang statusnya sama dengan nama. Transparansi penamaan Kritik Singapura dan reaksi Indonesia dapat didefinisikan sebagai perang simbolik kata tentang kata yang ditujukan pada kata. Tiga aspek penting di sini. Pertama, nama diri sebagai kata, seperti Usman dan Harun, secara denotatif menunjuk dua orang yang lahir ke dunia. Kedua, ia menunjuk kata masa lalu. Secara historis lambat laun kedua nama jadi gantungan tempat melengketnya berbagai deskripsi mengidentifikasi orangnya. Ada dua versi deskripsi yang memaknai kedua nama itu. Versi Indonesia: kedua nama itu berarti anggota KKO, sukarelawan atas perintah Soekarno, peledak bom di MacDonald House, WNI yang dieksekusi pada 17 Oktober 1968 di penjara Changi Singapura. Versi Singapura kurang lebih sama dengan Indonesia, kecuali deskripsi ”sukarelawan”. Yang sangat berbeda: deskripsi ”peledak bom”. Ini terjadi karena makna deskripsi itu mempresentasikan diri secara berbeda kepada kedua negara. Singapura mengidentifikasi Usman dan Harun teroris karena mengebom kompleks perkantoran. Bagi Indonesia, ia pahlawan karena membela negaranya melawan proyek neokolonialisme. Transferensi makna bukan saja mengungkap perbedaan makna historis, melainkan juga perbedaan ideologi bahasa. Bagi Singapura, itu mengandung ideo- logi pembangkit rasa sakit. Untuk Indonesia, ia membangun dan mempertahankan perjuangan semangat kepahlawanan kedua prajurit berani. Aspek ketiga, perdebatan kata tentang kata ditujukan kepada kata. Yang dituju Jalesveva Jayamahe ’Di Lautan Kita Jaya’. Pembelian kapal fregat dari Inggris dan penamaannya sebagai kebangkitan model kepahlawanan kedua anggota KKO itu merupakan pelaksanaan ideologi kejayaan di laut. Singapura melihatnya bahaya. Berdaulat Dikelilingi kelemahan Indonesia berhubungan dengan tetangga seperti Australia (penyadapan, pengungsi, Corby), Malaysia (kasus TKI dan masalah kepulauan), muncul intervensi Singapura tentang penamaan. Kecil, tetapi perkaranya besar. Dengan membalik makna dialog Romeo dan Juliet, kita katakan nama penting karena Singapura belum memperlihatkan hubungan persahabatan sejati. Masa penamaan pun diintervensi? Penamaan merupakan hak dan kedaulatan RI. Untunglah pemimpin TNI AL tegas. Namun, jangan berhenti di penamaan. Pembangunan kejayaan di laut harus didukung dana besar dan program terpadu. Ini pekerjaan rumah untuk presiden terpilih nanti. Mari membangun kekuatan atas kekhawatiran lain. Namun, ini latihan perang-perangan simbolik saja. Mari tingkatkan hubungan persahabatan. ● |
Post a Comment