Buku di Masa KecilSetyaningsih ; Penulis |
TEMPO.CO, 28 Februari 2014
Masa kecil ada di lembaran buku. Ikatan pertama tercipta dari tangan yang memegang, mata yang menyaksikan wajah sampul, dan batin yang membaca setiap aksara. Permulaan menjadikan tubuh terus mengingat. Buku pertama yang selesai dibaca pada masa kecil menjadi kenangan puitis. Setelah itu, selalu saja ada buku yang membuat diri takjub, menangis, terluka, tertawa, bersedih, terdiam, marah, dan bahagia. Kita menemukan waktu, ruang, dan peristiwa dalam buku. Dalam buku Tempat-tempat Imajiner, Perlawatan ke Dunia Sastra Amerika (1994), Michael Pearson-penulisnya-tidak luput menuliskan ingatan masa kecilnya di halaman pengantar. Buku ini menjadi ruang pertemuan Pearson dengan para pengarang dan pelbagai tempat mereka mencipta karya. Ingatan masa kecil Pearson bersama buku menjadi rujukannya untuk terus membaca dan bertualang. Pearson mengakui bahwa masa kecilnya itu menjadi bekal baginya untuk terus ada bersama buku-buku. Pearson menulis, "Kenangan yang masih begitu nyata dari masa kanak-kanak adalah huruf-huruf itu sendiri." Pearson belajar membaca di kelas I. Sejak kecintaan membaca terbit, kehendak untuk menulis buku ini pun berawal. Pearson ingin melihat tempat di mana tulisan para pengarang masih meninggalkan magis. Steinbeck dan Twain ada di ingatan Pearson sejak masih kanak-kanak. Setelah dewasa, Pearson semakin mengagumi mereka. Buku merepresentasikan bergeraknya waktu bersama para juru kisah. Buku mengasuh imajinasi. Buku mengasuh masa bocah yang lugu dan selalu ingin tahu. Hari-hari menjadikan buku teman itu kenyataan. Bersama buku, mereka seperti mendapatkan teman yang baik dan bersahaja. Namun betapa kebahagiaan itu tidak berhenti mengalir ketika orang tua menjadi peletak pertama kecintaan kepada buku. Peristiwa membeli buku pada akhir pekan, membacakan buku sebelum tubuh terlelap, atau hadiah buku akan menjadi ingatan sepanjang masa. Hari ini, kebanyakan anak tidak lagi merasakan kegairahan imajinasi dalam asuhan buku. Anak-anak diasuh oleh media yang lebih canggih sekaligus buruk. Mereka lebih akrab dengan televisi dan video game. Media-media ini mendapat keberpihakan dari orang tua untuk menjadi pengasuh selama mereka bekerja dan berkutat dengan kesibukan. Lebih baik anak tinggal di rumah dengan segala kecanggihan daripada keluar bermain di tanah lapang. Buku-buku pun sekadar menjadi selingan ketika mereka tidak belajar. Tentu, buku-buku bergelimang imajinasi, seperti dongeng, cerita binatang, dan legenda, tidak masuk daftar buku untuk belajar. Buku-buku ini tidak akan menghuni meja belajar. Pun tidak akan menambah prestasi sekolah atau sekadar naik pangkat menjadi hadiah untuk menggantikan buku tulis. Tidak dapat disangkal bahwa buku memang menjadi salah satu produk kemajuan zaman. Dulu, anak-anak dikelilingi oleh cerita-cerita lisan dan tembang-tembang dolanan yang dinyanyikan orang tua. Namun kini, anak-anak semakin kehilangan keduanya. Pada abad ke-21, buku dan cerita-cerita lisan tertinggal jauh. Petuah dan nasihat tersegel tanpa terbaca. Sedangkan produk percepatan dan teknologi berkejaran mendapat perhatian dari anak-anak. Dan, apa yang dikatakan oleh Joko Pinurbo (1999) tak akan teralami oleh anak-anak dan imajinasinya. "Masa kecil kau rayakan dengan membaca. Kepalamu berambutkan kata-kata.” ● |
Post a Comment