Mengkritisi JokowiTulus Abadi ; Anggota Pengurus Harian YLKI |
TEMPO.CO, 28 Februari 2014
Gaya kepemimpinan Gubernur Jakarta Joko Widodo (Jokowi) hingga detik ini masih menjadi idola sebagian publik. Terbukti elektabilitas Jokowi bertengger pada posisi tertinggi versi hasil survei calon presiden. Aktivitas blusukan Jokowi menjadi trademark bahkan menjadi kosakata baru dalam ranah bahasa Indonesia. Mimik dan bahasa tubuh yang terkesan ndeso juga menjadi oasis di tengah sikap jumawa para politikus yang duduk asyik di singgasana kekuasaan. Namun, khususnya warga Jakarta, seyogianya sudah mulai kritis terhadap performa (kinerja) Jokowi dalam mengelola kompleksitas permasalahan di Jakarta. Memori warga Jakarta harus dibangunkan, mengingat usia politik Jokowi sudah hampir 1,5 tahun (16 bulan) dalam memimpin DKI Jakarta, apalagi jika dikaitkan dengan janji Jokowi saat berkampanye sebagai calon gubernur (2012). Misalnya Jokowi dengan tegas menyatakan "tak ada lagi kemacetan" dan "tak ada lagi banjir" di Jakarta. Dalam konteks janji kampanye "tak ada kemacetan di Jakarta...", ini nyaris belum tersentuh. Hingga detik ini, Jokowi belum menelurkan kebijakan apa pun untuk mengatasi kemacetan di Jakarta. Memang, pada awal kepemimpinannya, Jokowi sempat menelurkan wacana pemberlakuan sistem ganji-genap. Wacana ini tak sempat menguat, bak hilang ditelan bumi, hingga sekarang. Ketidaksiapan infrastruktur dan sumber daya (kepolisian) menjadi alasan utama gagalnya implementasi ganjil-genap. Bahkan electronic road pricing (ERP), yang secara konsep dan regulasi lebih siap, pun tak jelas juntrungannya. Potret pelayanan angkutan umum juga belum ada perubahan apa pun: ngetem sembarangan, sopir ugal-ugalan, memutar sebelum tujuan akhir; masih menjadi pemandangan sehari-hari. Metro Mini berkarat pun masih berseliweran di seantero Jakarta. Janji Jokowi untuk mendatangkan 1.000 bus sedang hingga kini belum nongol satu pun. Bahkan jadi atau tidak pun tidak diketahui. Paling konyol adalah kasus impor bus baru Transjakarta (dari Cina) yang terbukti sudah berkarat. Jokowi pun belum mampu menambah jalur/koridor baru Transjakarta. Standar pelayanan minimal (SPM), yang drafnya sudah ada sejak Gubernur Fauzi Bowo, belum juga diratifikasi. Akibatnya, kendati Transjakarta menjadi sistem BRT (bus rapid transit) terpanjang di dunia (191 km), toh di sisi lain Transjakarta menjadi satu-satunya sistem BRT yang beroperasi tanpa SPM. Rencana membangkitkan kembali pembangunan monorel juga terancam gagal akibat tidak akuratnya penghitungan jumlah modal dan jumlah penumpang. Bahkan, sejak awal, pembangunan monorel--jika diestimasikan untuk mengatasi kemacetan di Jakarta--tak banyak mendulang dukungan. Sebaliknya, Jokowi justru merestui pembangunan dua ruas tol dalam kota di area Jakarta Utara, dan ini merupakan pemantik untuk melanjutkan pembangunan enam ruas tol dalam kota. Sekali lagi, sudah 16 bulan Jokowi memimpin Jakarta, tapi janji untuk mewujudkan "Jakarta Baru" belum tampak, khususnya jika diukur dengan parameter manajemen transportasi dan mengatasi banjir. Apalagi, jika Jokowi benar-benar turut berkompetisi dalam pilpres mendatang (seandainya terpilih), semangat mewujudkan Jakarta Baru hanya akan menjadi dongeng belaka. Apakah ini yang akan diwariskan oleh Jokowi untuk warga Jakarta? ● |
Post a Comment