Harta, Tahta, dan Jelita

Harta, Tahta, dan Jelita

Intiyas Utami  ;   Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) UKSW Salatiga,
Peneliti aspek Keperilakuan dalam Akuntansi
SUARA MERDEKA,  18 Februari 2014
                                                                                                                       
                                                                                         
                                                                                                                       
KETERKUAKAN tengara bahwa artis Jennifer Dunn menerima ‘hadiah’ berupa mobil mewah Toyota Vellfire dari Tubagus Chaeri Wardana (Wawan), tersangka kasus pidana pencucian uang, menambah panjang deret sejarah pencarian harta dan tahta dengan melibatkan wanita. Fenomena itu sejatinya bukan hal baru yang mencengangkan masyarakat.

Korupsi, dalam ranah akuntansi, termasuk salah satu dari tiga cabang ’’pohon’’ fraud (kecurangan), yang memiliki tiga ranting, yaitu korupsi, penyalahgunaan aset (misappropriation asset), dan kecurangan laporan keuangan. Lewat buku Auditing (2012), Arens dkk menyebutkan bahwa fraud, termasuk korupsi, bisa timbul karena ada tiga penyebab, yaitu kesempatan, tekanan, dan rasionalisasi.

Pertama; kesempatan itu muncul karena kemelemahan sistem pengendalian internal pada suatu entitas organisasi. Sistem pengendalian internal ibarat gembok untuk memastikan seisi  rumah aman dari pencurian. Pasalnya, gembok itu hanya bisa dibuka oleh orang yang berwenang dan memegang kunci. Demikian pula dalam organisasi, gembok merupakan sistem pengendalian internal untuk mengamankan aset dari berbagai pelanggaran yang bisa menggerogoti aset, yang akhirnya meruntuhkan organisasi.

Kedua; tekanan, khususnya dari internal pelaku dalam organisasi. Tekanan hidup dan tekanan sosial itu datang baik dari keluarga maupun lingkungan, yang menuntut seseorang hidup glamor dan lebih hebat dari orang di sekitar tempat tinggal atau lingkungan kerja. Keterbangunan tuntutan dari keluarga/dinasti bisa membuat seseorang dalam jabatannya harus memilih antara harta atau etika.

Ketiga; rasionalisasi. Mitos komunitas masyarakat layaknya bebek berbaris itu menunjukkan manusia cenderung meniru perilaku tokoh yang dianggapnya teladan. Hal ini karena manusia merasionalisasi banyak hal di sekitarnya dan ketika lingkungan di sekitarnya ’’sukses’’ korupsi, maka ia menganggap tindakan itu boleh dan lumrah dilakukan.

Para elite atau tokoh yang terjerat korupsi merupakan orang terkemuka, terpelajar dan terkenal karena media massa mengungkap pesona dan auranya. Contoh Rudi Rubiyandini, yang kesahajaannya pernah diekspose media karena memilih mudik naik kereta api. Lalu Angelina Sondakh, mantan putri Indonesia yang terjun ke politik, bahkan menjadi ikon iklan ìkatakan tidak pada korupsiî.

Keterbangunan pesona atau aura tokoh itu ketika masih bersinar, dalam ilmu keperilakuan dikenal sebagai efek halo. Halo merupakan pendaran cahaya yang mengelilingi suatu objek bersinar. Demikian pula ketika menilai objek manusia, riset pada bidang keperilakuan menunjukkan bahwa orang cenderung mengalami bias kognitif, salah satunya dikenal sebagai bias keterwakilan.

Ketika menilai individu lain, kita cenderung bertumpu pada penilaian satu karakteristik pertama yang menonjol, dan penilaian tersebut memengaruhi penilaian karakter lain dari individu tersebut. Misal melihat orang berkacamata tebal, pendiam, dan terlihat lugu, kita bisa menilai ia berpendidikan, kutu buku, pandai, dan jujur. Penilaian positif pada satu karakter itu berimbas pada penilaian karakter lain yang positif dari orang tersebut. Sebaliknya penilaian negatif muncul bila kita melihat pria bertubuh kekar, bertato, beranting-anting, dan berpenampilan sangar. Fenomena tersebut disebut bias kognitif efek halo.

Karakter Positif

Ketika image seseorang ditanamkan begitu positif, publik akan mengenal individu tersebut memiliki karakter lain yang juga positif. Efek halo bisa tercipta karena keterbatasan kognitif manusia. Penggunaan keterbatasan kognitif biasa dipakai untuk mengiklankan produk yang cenderung memanfaatkan tokoh yang dianggap bisa mewakili.

’’Pemanfaatan’’ artis oleh parpol  pun bisa dikatakan ’’memanfaatkan’’ keterbatasan kognitif manusia sehingga partai memilih tokoh terkenal dengan harapan tercipta efek halo. Belajar dari kasus efek halo tapi berakhir di jeruji besi maka ada beberapa hal yang harus kita perhatikan. Pertama; keterbatasan kognitif individu tak dapat dihindari, dan satu-satunya yang bisa dilakukan adalah meningkatkan skeptisme dalam menilai objek. Ke depan kita tak mudah percaya pada suatu hal, sebaliknya kritis menilai suatu objek.

Sikap kritis ini tak bisa muncul begitu saja tetapi harus selalu diasah. Sikap kritis harus dibangun sejak dini, sejak di bangku SD, lewat penanaman pendidikan karakter. Ke depan, siswa itu bakal menjadi pemimpin sehingga sikap kritis harus berakar kuat di memori mereka.

Kedua; masyarakat makin peka terhadap penampilan tokoh sekaligus skeptis menilainya, terlebih menjelang Pileg dan Pilpres 2014.

Iklan bertubi-tubi, pencitraan sebuah partai dengan mengusung sejumlah tokoh hebat bertujuan menanamkan image positif terhadap partai tersebut. Sebaiknya, perlu mengkritisi dan mencari informasi pembanding atas program yang ditawarkan, tidak semata-mata menilai tokoh yang dijadikan figur dan brand ambassador partai tersebut. Jangan menilai suatu objek hanya dari bungkus.

Kita berharap media juga mengungkap aspek positif pembangunan bangsa. Ikhtiar itu untuk menanamkan kepada anak usia dini dan masyarakat bahwa kita masih memiliki sisi positif dan komitmen kuat pemberantasan korupsi. Bila ingin menciptakan budaya antikorupsi, marilah kita menampilan tayangan yang bisa membuat individu berpikir tidak ingin korupsi. Tayangan positif akan dinilai positif, dan itulah imunisasi bagi kita untuk antikorupsi.
Indeks Prestasi

Post a Comment