Memberangus Kejahatan KehutananIlham Kurniawan ; Peneliti Hukum dan Analisis Kebijakan KKI Warsi |
KOMPAS, 20 Februari 2014
INDONESIA dengan dua per tiga daratan (131,28 juta hektar) sebagai kawasan hutan merupakan negara yang kaya akan sumber daya alam. Sayang, kita tidak mampu menjaganya karena derasnya laju degradasi dan deforestasi hutan. Berdasarkan data State of the World’s Forests 2007 dari Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) periode 2000-2005, angka deforestasi hutan Indonesia 1,8 juta hektar per tahun. Guinness Book of Record menyebut Indonesia sebagai negara perusak hutan tercepat di dunia. Menurut Greenpeace, kehilangan semakin besar dengan rata-rata 2,31 juta hektar per tahun akibat pembalakan liar dan alih fungsi hutan pada 2004-2009. Dengan kekayaan hutan melimpah, selayaknya Indonesia memperoleh pemasukan yang besar di sektor kehutanan. Namun, kenyataannya, pemasukan minim sedangkan kerugiannya besar. Dari segi pemasukan, Kementerian Kehutanan mencatat dalam lima tahun terakhir ini mendapat Rp 13 triliun-Rp 15 triliun atau 2,25 persen dari total penerimaan pajak. Adapun kontribusi penerimaan pajak terhadap produk domestik bruto hanya sekitar 1,2 persen. Hal ini jauh dari harapan. Setiap tahun kita malah rugi besar karena terkena dampak kejahatan kehutanan seperti bencana kebakaran dan kabut asap saat kemarau serta banjir dan longsor pada musim hujan. Belum lagi kejahatan pajak, pembalakan liar, korupsi, dan pencucian uang. Kejahatan korporasi Kejahatan atau tindak pidana korporasi bersifat organisatoris. Meminjam pendapat Mardjono Reksodiputro, tindak pidana korporasi merupakan bagian dari white-collar crime (WCC). Istilah WCC dilontarkan di Amerika Serikat tahun 1939 sebagai suatu kejahatan kerah putih yang dilakukan oleh seseorang yang terpelajar atau eksekutif perusahaan terkait dengan penyalahgunaan jabatan atau posisinya. WCC adalah akar kejahatan korporasi. Kejahatan korporasi tidak hanya terjadi di ranah pengadaan barang dan jasa pada proyek pemerintah saja, tetapi juga merambah sektor kehutanan. Berdasarkan penelitian Indonesia Corruption Watch pada tahun 2011, potensi kerugian negara akibat kejahatan kehutanan oleh 22 perusahaan di Kabupaten Seruyan, Sambas, Ketapang, dan Bengkayang di Kalimantan mencapai Rp 9,149 triliun. Ini belum termasuk daerah lain seperti Sumatera dan Papua. Bahkan, Human Rights Watch (HRW) mencatat sepanjang 2003-2006 kerugian di sektor kehutanan mencapai 2 miliar dollar AS atau setara Rp 22 triliun setiap tahunnya. Begitu juga di Sumatera. Di Riau ada kasus Asian Agri Group dengan kerugian negara Rp 1,259 triliun. Putusan Mahkamah Agung kemudian mewajibkan perusahaan itu membayar denda Rp 2,519 triliun. KPK pun pernah menangani korupsi 15 perusahaan kehutanan di Riau dengan kerugian negara Rp 1,2 triliun. Di Jambi, Badan Pemeriksa Keuangan menemukan PT Rimba Hutani Mas, PT Tebo Multi Agro, dan PT Wirakarya Sakti menunggak pajak dana reboisasi Rp 181,7 miliar dan menebang kayu melebihi batas, yaitu 4.300.332,51 meter kubik. Selain itu, mereka juga menggarap di luar izin areal seluas sekitar 2.000 hektar di Kabupaten Batanghari sehingga negara dirugikan Rp 50,84 miliar. Jeratan Sejatinya jeratan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo No 20/2001 (UU Tipikor) sudah diterapkan dalam sejumlah kasus korupsi Kehutanan. Persoalannya, saat ini belum ada penetapan korporasi sebagai subyek hukum dalam tindak pidana. Padahal, jika kita elaborasi lebih dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini, ada ruang untuk memproses korporasi dan menuntut pidana. Ada beberapa ketentuan yang dapat dijadikan penjerat kejahatan korporasi di bidang kehutanan. Pertama, UU Tipikor Pasal 20 Ayat (1) bisa menyeret korporasi sebagai subyek hukum dalam tindak pidana dengan tiga pilihan, yaitu pengurusnya, korporasinya, atau keduanya: pengurus dan korporasinya. Kedua, UU No 8/2010 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU). Selain menjerat dengan tindak pidana asal—misalnya korupsi, perpajakan, kehutanan, pertambangan, tata ruang, dan perkebunan—UU TPPU juga bisa menjerat aset-aset yang dimiliki korporasi dari hasil kejahatan untuk mengembalikan kerugian negara (asset recovery). Ketiga, UU No 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) memberikan ruang untuk menjatuhkan pidana tambahan, seperti perampasan keuntungan. Sementara perbaikan akibat tindak pidana dapat menggunakan Pasal 119 UU PPLH. Keempat, menggunakan UU P3H yang bisa menjerat korporasi yang melakukan kejahatan kehutanan. Kelima, menerapkan asas pembuktian terbalik terhadap aset korporasi yang diduga melakukan kejahatan kehutanan. Dengan pembuktian terbalik, korporasi harus bisa membuktikan dari mana asal aset dan keuntungan yang diperolehnya, apakah hasil kejahatan atau bukan. Saatnya aparat penegak hukum bersungguh-sungguh menjerat pelaku kejahatan kehutanan, baik individu maupun korporasi. Apalagi, menjelang Pemilu 2014 para penjahat ”berkerah putih” disinyalir menjadi penyumbang dana kampanye terbesar terhadap politikus yang akan bertarung menduduki kekuasaan di republik ini. ● |
Post a Comment