Menguji Kelayakan Monorel

Menguji Kelayakan Monorel

Darmaningtyas  ;   Ketua Bidang Advokasi Masyarakat Transportasi Indonesia
KORAN JAKARTA,  24 Februari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                                                                                       
Pembangunan proyek monorel Jakarta oleh PT Jakarta Monorail (JM) terhenti lagi dengan alasan tidak jelas. Wakil Gubernur Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) mencurigai JM tidak memiliki dana. Tetapi, Gubernur Joko Widodo (Jokowi) menyatakan masih ada tiga syarat yang belum dipenuhi JM, dan sekarang sedang dalam proses pemenuhan persyaratan tersebut.

Setelah tiga persyaratan terpenuhi, diharapkan perjanjian kerja sama (PKS) antara Pemprov DKI Jakarta dan JM dapat ditandatangani sehingga proyek dapat dilanjutkan. Kebenaran informasi ini sesungguhnya akan diuji waktu mengingat keduanya memiliki otoritas untuk mengatakan yang sama.

Proyek infrastruktur transportasi perkotaan yang peletakan batu pertamanya dilakukan Presiden Megawati Soekarnoputri (2004) itu memang sudah lama terhenti. Bahkan pada tahun 2011, Gubernur DKI Jakarta, Fauzi Bowo (Foke), mengeluarkan surat No 1869/-1.811.3 tanggal 21 September 2011 untuk mengakhiri perjanjian kerja sama dengan JM.

Terkait dengan pengakhiran kerja sama itu, PT Adhi Karya (AK) menggugat JM ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan untuk mendapat kembali hak-haknya atas gambar-gambar dan bangunan konstruksi yang telah dibuat.

Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No 296/Pdt G/2012/PN Jkt Sel tanggal 22 Oktober 2012 menyatakan 1. AK merupakan pemilik dan satu-satunya pihak yang berhak atas gambar-gamber konstruksi. 2.

AK merupakan pemilik dan satu-satunya pihak yang paling berhak atas bangunan fondasi hingga tiang konstruksi monorel di koridor hijau (green line) di 221 lokasi. Terhadap putusan pengadilan tersebut, sampai jangka waktu yang ditentukan, JM tidak melakukan upaya hukum banding sehingga putusan tersebut telah memunyai kekuatan hukum tetap.

Berdasarkan kronologi tersebut, jelas sekali bahwa JM sebetulnya sudah tidak memiliki hak untuk melanjutkan pembangunan monorel di jalur hijau. Hak jalurnya melekat pada AK yang ingin melanjutkan pembangunan jalur monorel tersebut bersama konsorsium BUMN lainnya. Tetapi, jalurnya menghubungkannya dengan daerah pinggiran, seperti Cibubur dan Bekasi Timur.

Pertimbanganya, akan dapat mengurangi kepadatan arus lalu lintas dari arah Cibubur dan Bekasi Timur. Ini tentu cukup rasional bila monorel diharapkan dapat mengurangi kemacetan Jakarta. Membangun monorel dengan melingkar-lingkar di tengah kota saja tidak akan mengatasi kemacetan Jakarta.

Tetapi, entah mengapa, Gubernur Jokowi memilih untuk tetap melanjutkan kerja sama dengan JM meskipun pada saat hearing (November 2012) di depan Gubernur Jokowi, penulis secara terbuka meragukan kemampuan PT JM untuk menyelesaian proyek tersebut.

Pada saat itu, Gubernur Jokowi mengusulkan agar konsorsium AK dan JM bergabung saja. Namun, AK menolak tawaran tersebut karena tidak mudah menjalin kerja sama BUMN dan swasta murni.

Terhenti

Menurut rencana awal, monorel akan dibangun di jalur hijau sepanjang 14,8 kilometer (HR Rasuna Said Kuningan–Gatot Subroto–Senayan–Pejompongan–Karet–Dukuh Atas–kembali ke Kuningan) dan jalur biru sepanjang 12,2 km (Kampung Melayu–Casablanca–Karet–Tanah Abang hingga Roxy).

Tetapi, baru satu jalur saja sudah terhenti sejak tahun 2006 dan bertahun-tahun tidak ada perkembangan. Gubernur Jokowi memberi kesempatan kembali kepada JM melanjutkan pembangunan monorel di jalur hijau dengan kesediaannya melakukan groundbreaking, tanda dimulainya kembali pembangunan monorel pada 16 Oktober 2013. Namun, ternyata sampai sekarang juga tidak ada perkembangan. Mengapa tiba-tiba terhenti?

Terhentinya kembali pembangunan monorel tersebut membuktikan bahwa proyek itu memang tidak layak untuk dibangun di tengah Kota Jakarta karena dari segi bisnis tidak menguntungkan, sedangkan dari segi teknis juga tidak mampu mengurai kemacetan.

Bila dari segi bisnis menguntungkan, tentu banyak investor ingin menanamkan modalnya untuk penyelesaian pembangunan monorel.
Nyatanya swasta tidak berminat.

Pada awal tahun 2007, misalnya, muncul sindikasi bank nasional, Bank Rakyat Indonesia (BRI), Bank Nasional Indonesia (BNI) 46, dan Bank Mandiri, yang berminat membiayai monorel. Namun ternyata, sindikasi bank nasional tersebut membatalkan. Ini tentu karena menurut perhitungan para bankir tidak menguntungkan.

Usaha pencarian dana yang dilakukan JM sampai ke Dubai, Timur Tengah, dengan melobi ke Dubai Islamic Bank (DIB). Pihak DIB bersedia mengucurkan dananya, tapi minta jaminan pemerintah. Ini alasan yang rasional mengingat menyangkut dana triliunan rupiah dan antarnegara yang letak geografisnya berjauhan.

Jaminan pemerintah itu diperoleh berkat lobi Gubernur DKI Jakarta, Sutiyoso, kepada Wakil Presiden Jusuf Kalla, saat itu. Pemerintah pusat pun memberi surat dukungan dalam bentuk Perpres 103/2006 dan Permenkeu 30/PMK.02/2007 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemberian Jaminan Pemerintah untuk Pembangunan Proyek Monorel Jakarta.

Dalam perpres tersebut dikatakan bahwa pemerintah memberi surat dukungan kepada Pemprov DKI Jakarta dengan menjamin dana kekurangan penumpang (shortfall guarantee).

Jaminan pemerintah diberikan sebesar 50 persen dari shortfall atas batas penumpang minimum sebanyak 160.000 penumpang per hari atau 50 persen dari nilai maksimal 22.500.000 dollar AS per tahun selama lima tahun.

Namun, Permenkeu 30/PMK.02/2007 yang merupakan turunan Perpres No 56 Tahun 2006 mengatur bahwa masa jaminan itu hanya 36 bulan sejak tanggal ditetapkan Peraturan Menteri Keuangan dan proyek Monorel Jakarta harus telah beroperasi komersial dengan kemampuan angkut 270.000 penumpang per hari.

Apabila jangka waktu itu tidak dapat dipenuhi, pemberian jaminan berdasarkan peraturan menteri keuangan ini dinyatakan batal dan tidak berlaku.

Keberadaan Perpres No 56/2006 dan Permenkeu 30/PMK.02/2007 itu sudah merupakan bentuk komitmen nyata pemerintah membantu menyelesaikan pembangunan monorel.

Dengan jaminan pemerintah diharapkan menarik lembaga keuangan lokal maupun asing untuk memberi pinjaman atau bahkan tertarik menjadi investornya, namun tidak juga. Boleh jadi karena berdasarkan studi kelayakan, monorel memang tidak layak secara ekonomis.
Ketidaklayakan pembangunan monorel Jakarta tentu tidak masuk pertimbangan JM sebagai inisiator. Bagi JM, monorel sangat layak untuk dibangun di Jakarta. Sebab bila mereka mengatakan tidak layak, tidak bisa menjual proyek tersebut kepada pihak-pihak lain, termasuk Gubernur DKI Jakarta Jokowi.

Yang berkompeten mengatakan layak dan tidak layaknya monorel adalah para investor untuk pembangunan infrastruktur transportasi perkotaan. Senyatanya, genap 10 tahun JM tidak mampu mewujudkan bangunan monorel tersebut karena ketiadaan dana.

Kesimpulannya, menurut para investor, monorel memang tidak layak dari segi bisnis. Janji JM untuk menyelesaikan pembangunan monorel bersama investor dari China dan Singapura masih perlu dibuktikan.
Indeks Prestasi

Post a Comment