Mewaspadai Tantangan Ekonomi Menjelang PemiluSerian Wijatno ; Aktif di Yayasan Podomoro University, Profesional Keuangan dan Pendidikan, Mantan CEO Adira dan Ketua Yayasan Tarumanagara, Alumni Magister Manajemen UI, Serta Mahasiswa Program Doktoral |
KORAN SINDO, 18 Februari 2014
Tahun 2014 merupakan tahun politik, di mana sepanjang 2014 ini hampir seluruh elemen sibuk menyongsong pemilihan umum, baik legislatif dan pemilihan presiden. Lebih menarik lagi, tahun ini akan muncul presiden baru menggantikan Presiden Susilo BambangYudhoyono (SBY) yanghabis masa jabatannya. Hiruk politik sebenarnya sudah terjadi tahun 2013 lalu, bahkan Presiden SBY pun sempat mengeluh akan kinerja kabinetnya yang kurang fokus terhadap pekerjaannya dan lebih penting memprioritaskan partainya. Gejala ini sebenarnya juga bukan hal yang baru, karena secara manusiawi para menteri yang duduk sebagai pengurus partai lebih condong mengurus partai karena bisa jadi menteri karena mengurus partai dan bukan menyangkut kapabilitas seseorang. Pertanyaannya mendasar, bagaimana prospek ekonomi dan dunia usaha di tahun politik ini? Pengalaman selama tiga kali pemilu dalam kondisi yang aman, tidak terjadi bentrokan horizontal, karena asas yang diperjuangkan pun relatif sama dan hanya berbeda warna bendera semata. Pendek kata sebelum dan sesudah pemilu, kondisi tetap aman. Lebih menarik lagi, pilar kebijakan ekonomi dikendalikan oleh para profesional. Tahun 1999, 2004, dan 2009, pos-pos ekonomi, seperti menteri keuangan (menkeu), gubernur BI, dan menteri koordinator (menko) perekonomian dipegang oleh profesional. Hanya memang tahun 2009, posisi menko dipegang oleh Hatta Rajasa sebagai orang partai. Namun intinya dari perjalanan politik kondisi ekonomi relatif minim campur tangan partai. Hanya memang menjelang akhir pemerintahan SBY banyak kritikan yang muncul mengenai fokus dari kebijakan banyak bersifat politis, salah satunya adalah subsidi bahan bakar minyak (BBM). Kondisi politik menjelang pemilu atau setelah pemilu di Indonesia tentu berbeda dengan negara-negara lain, seperti Mesir, Suriah, Turki, Thailand, Kamboja, bahkan Malaysia pun, Anwar Ibrahim, tokoh oposisi masih meributkan hasil pemilu. Pengalaman selama tiga kali pemilu justru memberi berkah bagi peningkatan belanja masyarakat. Kecenderungan makin nyata melemahkan keterkaitan antara ekonomi dan politik (decoupling). Masa paling erratic adalah masa transisi pemerintahan Habibie dan Gus Dur. Namun sejak masa pemerintahan Megawati membaik hingga sekarang. Bahkan, pelaku asing pun tenang menghadapi gejolak yang terjadi. Salah satu contoh terakhir adalah ketika pemerintah menerbitkan global bond (Januari 2014) yang membeli 80 persen adalah investor asing (AS) dengan tenor jangka panjang. Investor asing yang membeli obligasi negara dalam jangka panjang menunjukkan akan prospek Indonesia masih tetap menarik. Tidak mungkin investor asing membeli obligasi tanpa memperhitungkan prospek ekonomi jangka panjang kendati harus diakui juga yield yang ditawarkan cukup tinggi. Ada beberapa hal memang yang perlu diperhatikan lebih serius. Bukan karena dampak pemilu, tapi lebih banyak karena faktor global dan penyakit struktural ekonomi dalam negeri. Penyakit defisit neraca pembayaran yang ”ngeri-ngeri sedap”. Sementara impor sulit dibendung karena masalah kebutuhan masyarakat yang sulit dikendalikan pula. Gaya hidup hedonis dan kebutuhan akan BBM bersubsidi juga sulit dikendalikan. Itu artinya, impor BBM yang merupakan bagian terbesar menjadi hal yang membuat pesimistis. Jika sisi fiskal sulit dibenahi dalam jangka pendek, BI harus mengambil langkah untuk meredam situasi agar tidak memburuk dengan menaikkan suku bunga. Bahkan, kebijakan yang tidak populer ini diambil sambil mengingatkan, kalau tidak dilakukan maka akan semakin parah di masa yang akan datang. Apalagi jika BI menaikkan suku bunga dengan penuh nafsu atau terlalu tinggi. Pengalaman masa lalu, kenaikan BI Rate ini bukan tanpa risiko. kebijakan suku bunga tinggi pernah dilakukan, terutama ketika menghadapi krisis tahun 1998–1999 lalu. Berdasarkan resep IMF, Bank Indonesia menaikkan suku bunga hingga mencapai 36% dan pasar uang bisa mencapai 70%. Suku bunga kredit juga terbang tinggi. Akibatnya, non-performing loan (NPL) meningkat dan cost of fund juga melayang sehingga terjadi negative spread yang memukul bank. Jadi, tantangan ekonomi ke depan, khususnya di tahun pemilu ini lebih banyak karena faktor struktur ekonomi dalam negeri dan tekanan pasar global. Tantangan-tantangan itu antara lain pengendalian inflasi, suku bunga yang liar, dan nilai tukar yang naik-turun lebih sering. Itu kondisi yang perlu diwaspadai dalam masa Pemilu 2014 ini. Sementara dunia usaha masih akan dihadapkan pada masalah kepastian pasar global, karena pasar global yang membaik akan menentukan kepastian produksi. Harga komoditas yang masih belum beranjak akan memperpanjang kegelisahan dunia usaha. Namun, nilai tukar rupiah yang melemah tetap akan memberi optimisme dalam ekspor. Pemilu akan memberi berkah bagi peningkatan belanja swasta dan negara dan pada akhirnya akan meningkatkan konsumsi masyarakat. Namun, memang gerakan buruh yang menuntut akan membuat perubahan lokasi pabrik ke daerah-daerah yang relatif ”adem ayem” dari gerakan buruh dan demo buruh seperti ke arah Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Yogyakarta. Untuk itu, dalam kaitan pemilu dengan pemimpin baru— yang perlu direnungkan adalah pertumbuhan ekonomi yang berkualitas dan pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan. Pengalaman, selama ini pertumbuhan yang ada, lebih banyak menimbulkan kesenjangan dari pada menciptakan lapangan kerja dan pertumbuhan yang rawan akan guncangan. Pemilu 2014 tetap akan memberi peluang yang besar bagi ekonomi Indonesia. Faktor pentingnya masih pada pemulihan ekonomi global dan kemampuan memperbaiki defisit neraca pembayaran dengan mengurangi subsidi BBM, sehingga kesehatan fiskal lebih baik. Dengan itu, Indonesia bisa mengurangi pengangguran, menekan kemiskinan dan ketimpangan, sehingga Indonesia tidak masuk pada jebakan negara yang masuk kelas menengah. ● |
Post a Comment