Politik Pemuda?Arya Budi ; Peneliti Pol-Tracking Institute |
TEMPO.CO, 18 Februari 2014
Dalam satu dekade ini, sejak pemilihan presiden langsung mulai digelar pada 2004 hingga menjelang 2014, wacana kepemimpinan muda muncul sejalan dengan gagasan mengganti generasi Orde Baru. Tapi, polemik kasus korupsi Anas Urbaningrum bisa menjadi preseden buruk atas hadirnya tokoh-tokoh muda segar dalam Pemilu 2014 setelah satu dekade ini. Anas Urbaningrum, yang memberi harapan baru bagi politik pemuda dalam Kongres Demokrat-partai pemenang Pemilu 2009 dan partai pemerintah-pada 2010, kini terjerembap "lumpur Hambalang". Namun, apakah terperosoknya Anas dalam Hambalang adalah sebentuk senjakala politik pemuda? Pada 2010, bertepatan dengan terpilihnya Anas Urbaningrum sebagai Ketua Umum Partai Demokrat, pada tahun yang sama Edward Samuel Miliband atau Ed Miliband terpilih sebagai pemimpin Partai Buruh (Labour Party) di Inggris pada usia 41 tahun. Namun, kedua politikus muda ini mengalami nasib berbeda. Ed Miliband terus memimpin oposisi mengawal pemerintahan David Cameron dari Partai Konservatif, sementara Anas Urbaningrum "tersandung" kasus Hambalang, diikuti sekuel publisitas konflik antar-faksi partainya sendiri, Partai Demokrat. Setelah mengalahkan kakaknya sendiri, David Miliband, di kongres "kompetisi bersaudara" Partai Buruh, Ed merepresentasikan generasi baru setelah Tony Blair dan Gordon Brown. Di Indonesia, Anas tumbang di tengah jalan dan partai kembali dipegang secara kultural dan struktural oleh generasi yang sudah terlalu akrab dengan jabatan publik. Tentu skema konstitusi Indonesia (presidensial) dan Inggris (parlementer) serta sistem politik yang berbeda tidak bisa menjadi dasar perbandingan Indonesia dengan Inggris, karena bisa jadi ini adalah soal mentalitas dan kesiapan personal politik pemuda. Pertanyaannya, apa yang menyebabkan penyintasan politik pemuda di Indonesia bersumbu pendek? Ringkasnya, ada dua bentuk kegagapan politik pemuda saat ini. Pertama, pemuda-aktivis terjebak dalam mekanisme dan kultur politik kepartaian yang oligarkis dan paternalistik (kalau tidak juga maternalistik), yang juga cenderung berwatak kolutif. Kedua, pemuda-aktivis gagap dalam hal otoritas dan kekuasaan yang besar, sehingga pengaruh dan otoritas yang besar dalam jabatan partai menciptakan kecenderungan penyalahgunaan kekuasaan secara koruptif. Selain Demokrat, terpilihnya Anis Matta pada awal 2013 sebagai pemimpin PKS menggantikan LHI sebenarnya juga menunjukkan refleksi lain politik pemuda. Sayangnya, kedua partai inilah yang juga digebuk alat pembunuh partai paling mematikan: kasus korupsi pimpinan partai. Kini, Anis Matta yang memimpin PKS pun berada di tengah gempuran isu korupsi partai. Kini, pemuda berangsur tak lagi terkonsentrasi ke dalam gerakan politik ekstra parlementer setelah Pemilu 1999 berhasil terselenggara secara fair. Aktivis kampus atau pemuda dengan latar belakang organisasi gerakan mahasiswa dan organisasi pemuda lainnya secara gegap-gempita masuk ke partai politik. Tidak sedikit pemuda dan mantan aktivis kampus berada di antara 6.607 calon legislator 2014. Alhasil, partai pun menyediakan organ lembaga untuk mengakomodasinya. Tak bisa dibantah, semua partai, terutama 12 partai peserta Pemilu 2014, mempunyai organisasi sayap kepemudaan. Sebagai misal adalah Tunas Indonesia Raya (Gerindra), Angkatan Muda Partai Golkar, Taruna Merah Putih (PDIP), Angkatan Muda Demokrat, Pemuda Hanura, Gerakan Pemuda Kebangkitan Bangsa, Gerakan Pemuda Ka'bah, Garda Pemuda Nasdem, Matahari Nusantara (PAN), serta Pemuda Bulan Bintang, Pemuda Penegak Keadilan dan Persatuan Indonesia. Bisa jadi, senjakala politik pemuda dengan refleksi kasus Anas bisa terjadi karena ketidaksiapan pemuda dalam kelembagaan partai politik di Indonesia. Misalnya, berdasarkan assessment research Pol-Tracking Institute oleh 100 public opinion makers dan pakar pada Oktober 2012 terhadap 35 figur muda terseleksi, dari skor total 13 aspek yang dinilai, hanya ada empat kader partai yang termasuk dalam peringkat 10 teratas. Meskipun demikian, jika semua nilai masing-masing figur dibuat rerata, secara keseluruhan rerata skor terendah figur yang terseleksi ada pada aspek akseptabilitas publik (53,7), dan rerata tertinggi pada aspek kapabilitas (62,2). Artinya, berdasarkan hasil riset ini (dengan standar ketercukupan adalah 60,0), sebenarnya banyak figur muda-baik sebagai kader partai maupun di luar kelembagaan partai-yang mempunyai kapasitas dan kepantasan sebagai pemimpin politik, namun tidak terlalu dikenal publik. Kalkulasi assessment ini menunjukkan fenomena politik yang sejauh ini menjadi asumsi publik. Padahal, dulu dalam satu era (1950–1959), sirkulasi kursi eksekutif jabatan perdana menteri Indonesia dipegang oleh para figur muda. Apakah sejarah kembali berulang? Kita lihat saja pada Juli 2014! ● |
Post a Comment