Moral Akademikus Kita

Moral Akademikus Kita

Munawir Aziz  ;   Esais dan Peneliti, Alumnus Pascasarjana UGM;
Peneliti tamu di Goethe Frankfurt Universitat, Jerman
SINAR HARAPAN,  24 Februari 2014

                                                                                         
                                                                                                                       
Kasus-kasus plagiarisme yang marak terjadi menunjukkan keroposnya bangunan integritas akademikus dan intelektual.

Konstruksi moral dan kekuatan integritas para akademikus pelan-pelan runtuh karena tradisi instan dalam menghasilkan karya. Dari lubang ini, muncul kasus-kasus penjiplakan yang dilakukan dosen, mahasiswa, bahkan agamawan.
Heboh penjiplakan Anggito Abimanyu menambah rentetan panjang catatan negatif tentang perilaku akademikus kita. Abimanyu didakwa menjiplak setelah artikelnya “Gagasan Asuransi Bencana” yang dimuat di harian Kompas (10 Februari 2014), hampir sama dengan artikel “Menggagas Asuransi Bencana” karya Hotbonar Sinaga dan Munawar Kasan yang pernah dimuat di Kompas, 21 Juli 2006.

Artikel Anggito Abimanyu mengutip mayoritas tulisan Sinaga dan Kasan tanpa menyebutkan sumber penulis. Di akhir tulisan, ia menambah keterangan tentang riset kebencanaan yang dilakukan UGM.

Tentu saja kasus ini menjadi heboh di tengah kampanye Anggito Abimanyu tentang reformasi birokrasi dan penataan lembaga. Abimanyu, dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Gadjah Mada, dikenal sebagai akademikus dan birokrat berprestasi. Ia piawai menyampaikan gagasan, membuat konsep, hingga eksekusi dalam menata birokrasi.

Duetnya dengan Sri Mulyani di Kementerian Keuangan menandakan sukses reformasi birokrasi. Selanjutnya, Anggito Abimanyu membantu Menteri Agama Surya Dharma Ali menangani urusan haji di Indonesia. Ia dipercaya sebagai Dirjen Penyelenggara Haji dan Umroh Kementerian Agama.

Dalam kasus ini, Anggito memang terbukti bersalah. Ia berhak mendapatkan hukuman akademik. Namun, sikapnya untuk mengakui kesalahan dengan menjelaskan kronologi dan mundur dari UGM, menjadi bagian dari sikap bertanggung jawab. Inilah ujian integritas dan moral Anggito Abimanyu.

Bercermin dari kasus Anggito Abimanyu, tentu saja yang menjadi sorotan utama adalah etos intelektual. Dari kasus-kasus plagiarisme yang tercatat selama ini, lebih dari 100 dosen terjebak kasus penjiplakan (Data Kemendikbud). Moral akademikus kita perlu disegarkan dengan mengukuhkan kembali etos dan kejujuran.

Krisis Moral

Hancurnya fondasi ilmu pengetahuan merupakan inti dari keroposnya nilai-nilai akademik. Ini berpengaruh pada mentalitas dan moralitas manusianya. Plagiarisme menjadi bagian dari bunuh diri kaum intelektual.

Proses menuju tahapan bunuh diri intelektualitas inilah merupakan bencana ilmu pengetahuan, yang tak kalah dahsyat dengan bencana alam yang menghantui warga di seluruh pelosok negeri ini. Krisis jati diri dengan fakta penjiplakan, hadir berbarengan dengan lunturnya penghargaan terhadap ilmu pengetahuan, nilai kemanusiaan, dan etika moral sebagai konfigurasi dasar peradaban.

Intelektualitas ataupun kecendekiawanan warga Indonesia sedang diuji situasi zaman. Pemerintah dan kultur masyarakat tak selalu beriringan dengan aspirasi para akademikus.

Tantangan menjadi intelektual yang jujur dan berintegritas semakin mengadang kuat. Usaha-usaha kaum intelektual sebagai representasi kerja ilmu pengetahuan dan peradaban semakin sulit diwujudkan. Godaannya jelas, budaya materialisme serta nalar instan yang menyelimuti.

Edward Shils (1980) menyebutkan, "kaum cendekiawan ialah sekumpulan orang di masyarakat mana pun yang memakai lambang-lambang yang lingkupnya sangat umum dan kaitannya abstrak, yaitu simbol-simbol mengenai manusia, masyarakat, alam, dan jagad raya."

Simbol-simbol ilmu pengetahuan berupa arsip sejarah, buku, dan kejujuran dalam berkarya telah berangsur dihancurkan. Menjiplak karya orang lain, kemudian diakui sebagai karya sendiri merupakan usaha menghancurkan integritas pribadinya.

Belajar dari kasus Anggito Abimanyu, banyak yang bisa dijadikan refleksi. Kasus Anggito mengabarkan pentingnya kehati-hatian untuk terus menjaga integritas moral. Sejatinya, kesalahan fatal menulis satu artikel menjadi “kiamat 800 kata” bagi seorang akademikus. Kesalahan ini menghapus jejak-jejak intelektual dan menandai noktah hitam dalam catatan akademik hidupnya.
Indeks Prestasi

Post a Comment