Orang Tidak Punya

                            Orang Tidak Punya

Kristi Poerwandari  ;   Kolumnis “Konsultasi Psikologi” Kompas
KOMPAS,  16 Februari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                      
”Kompas” menulis ”Ketika Pasien Takut Dibuang Rumah Sakit” (11 Februari 2014), setelah berita rumah sakit membuang seorang pasien miskin dan tak punya keluarga. Warga tak mampu khawatir anggota keluarganya akan mendapat perlakuan kurang baik atau dibuang RSUD tersebut.

”Kalau saya punya uang, saya lebih pilih bawa ibu ke rumah sakit lain daripada waswas,” kata Sulaiman. Sementara Ida bilang pasien yang punya keluarga dan biaya pasti tidak ingin keluarganya dirawat di situ. ”Masalahnya warga miskin tidak punya pilihan.”

Budaya kemiskinan

Sejauh upaya saya membaca dan memahami hingga saat ini, psikologi belum tertarik dan belum mampu menjelaskan secara baik bagaimana masyarakat miskin memaknai dan menjalani hidup. Jika ada penelitian psikologi mengenai kemiskinan pun, cara pandangnya dari perspektif kelas menengah yang gagal menyajikan keutuhan penghayatan orang miskin.

Akhirnya saya kembali pada penelitian sangat kuno yang dilakukan Oscar Lewis (1970), bukan psikolog, melainkan antropolog. Penelitiannya di Meksiko menjelaskan adanya ciri-ciri cukup umum pada masyarakat miskin. Misalnya, perilaku ekonomi tidak berpikir panjang, mudah terjerat utang pada rentenir, tidak mengembangkan prioritas, enggan menabung. Pada mereka juga lebih banyak ditemukan kehamilan muda atau di luar nikah, perceraian atau hidup bersama, fenomena perempuan kepala rumah tangga, laki-laki yang pergi dan tidak menjalankan tanggung jawab sebagai suami dan ayah, kekerasan dan kriminalitas, sikap hidup pasif, kemalasan, aspirasi rendah, hingga penggunaan obat. Lewis akhirnya menelurkan konsep ”budaya kemiskinan” yang simpulan akhirnya kurang lebih ”penyebab kemiskinan lebih terletak pada budaya yang berkembang pada masyarakat miskin itu sendiri”.

Lewis banyak menuai kritik karena dianggap blaming the victim. Malah menyalahkan masyarakat miskin yang sebenarnya adalah korban dari struktur masyarakat yang menjauhkan mereka dari berbagai akses, layanan publik, hingga jaringan pengembangan diri yang dapat dinikmati kelas menengah. Contohnya banyak: orang miskin (hampir) selalu memperoleh yang lebih buruk: layanan di RS, kesempatan pendidikan di sekolah yang kurang baik, tidak mampu memberikan pendidikan tambahan kepada anak (misalnya kursus bahasa Inggris), anak tidak dapat rutin mengonsumsi makanan bergizi sehingga dengan sendirinya kalah bersaing dalam hal kepandaian dengan anak-anak orang berpunya.

Muhammad Yunus, pendiri Grameen Bank dan penerima Hadiah Nobel Perdamaian, terkejut ketika pada awal 1970-an menemukan ibu-ibu miskin tidak mampu keluar dari kemiskinannya, sekadar karena tidak mampu meminjam uang kurang dari 1 dollar untuk membeli alat yang dapat memudahkan kerja mereka menganyam tikar. Ia mengupayakan pinjaman ke bank bagi ibu-ibu itu dan ditolak oleh bank. Akhirnya ia membuat percobaan, meminjamkan uangnya sejumlah 27 dollar AS bagi 42 perempuan Banglades. Semua ibu tersebut berhasil mengembalikan pinjamannya dan 30 tahun kemudian Grameen Bank memiliki lebih dari 3,2 juta peminjam, melayani 41.000 desa, menjadi buah bibir di seluruh dunia. Yunus menolak pandangan yang menyalahkan masyarakat miskin. Ia mengatakan, ”Poor people are bonsai people. There’s nothing wrong with their seed, society never allowed them the space to grow as tall as everybody else.”

Adaptasi

Bagaimanapun, saya menduga Lewis tidak bermaksud menyalahkan orang miskin dan dari teorinya ada pembelajaran sangat penting. Orlando Patterson (2000) bilang, budaya adalah ”perangkat peralatan yang diajarkan secara sosial dan dipindahkan dari generasi ke generasi mengenai bagaimana kita harus hidup dan mengambil keputusan”. Lewis memaksudkan sebagai ”suatu bentuk adaptasi terhadap kondisi dan tuntutan obyektif dari masyarakat yang lebih luas, yang ketika terbentuk, akan cenderung memantap dari generasi ke generasi karena efeknya terhadap anak”.

Pengertian di atas menjelaskan adanya interaksi kompleks dan dinamis antara lingkungan lebih luas, budaya, dan perilaku. Saya membayangkan sulit bagi saya untuk memiliki keyakinan dan kebanggaan diri jika tinggal di dekat tempat pembuangan sampah, tidak memiliki baju cukup baik untuk pergi kondangan. 

Seorang perempuan yang mengalami pemerkosaan dari mertuanya lari dari rumah. Meski saya mendampinginya, sepertinya ia merasa malu untuk ”meminjam uang” dari saya, hampir saja terjebak berutang pada bank keliling yang mungkin akan menjebaknya seumur hidup pada utang bunga berbunga.

Orang miskin mungkin tidak berani bercita-cita terlalu tinggi karena terlalu sering mengalami kekecewaan akibat halangan demi halangan dalam kehidupan mereka sehari-hari. Di lain pihak, kadang mereka demikian berharap sehingga mudah ditipu, misalnya berani berutang jutaan rupiah agar bisa jadi PNS atau pekerja pabrik dengan membayar calo. Mereka juga memilih menghabiskan uang yang diperoleh hari ini karena telanjur terbiasa hidup here and now, tidak punya akses ke bank, dan takut jika menyimpan uang di balik kasur akan dicuri orang lain. Anak-anak pun akan dibesarkan dalam situasi demikian.

Terima kasih kepada bapak-ibu yang telah memberikan dukungan kepada Ibu CH. Juga kepada Ibu DM yang menyampaikan ada Yayasan Obor Kasih di Pondok Gede, Bekasi, yang dapat membantu menampung masyarakat kurang mampu yang memiliki gangguan kejiwaan.

Memang, orang miskin jadi ”bonsai” karena tidak diberi lahan dan kesempatan untuk berkembang. Terima kasih kepada semua yang paham bahwa korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan itu sangat jahat karena memiskinkan masyarakat dan bahwa penanggulangan kemiskinan adalah tanggung jawab kita semua.
Indeks Prestasi

Post a Comment