Partai Kabah Mencari KiblatIsmatillah A Nu’ad ; Peneliti dari Pusat Studi Islam dan Kenegaraan Universitas Paramadina Jakarta |
SUARA MERDEKA, 17 Februari 2014
PUTRI Sulung almarhum KH Abdurrahman Wahid, Yenny Wahid menolak menjadi capres dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Partai Islam yang telah eksis sejak zaman Orba itu, kini seperti ingin mencari ìkiblatî di tengah konstalasi politik menyongsong Pemilu 2014. Padahal Partai Kakbah tersebut terbilang partai politik yang sudah banyak makan asam garam, dan sekiranya dari pengalaman matang itulah seharusnya partai ini tidak selalu menjadi partai pengekor. Berdiri sejak 1973, PPPmerupakan fusi dari partai-partai Islam yang sebelumnya pernah ada, seperti partai NU, PSI dan sebagainya. Dalam perkembangannya, PPP dalam bahasa R. William Liddle (1997) disebut mengalami erosi kandungan Islam, dan setidak-tidaknya kemudian terbuka bagi anggota-anggota yang komitmen terhadap keislamannya tidak sepenuhnya dapat dipertanggungjawabkan. Tahun 1984, NU, komponen yang paling besar, akhirnya menyatakan keluar dari PPP karena ingin kembali pada khitah, dan pascareformasi 1998 mereka membentuk PKB. Bagi generasi Islam yang dilahirkan pada dekade 1970 atau 1980-an, mereka umumnya hanya mengenal satu partai Islam yaitu PPP. Aspirasi politik umat Islam pun ketika itu hanya diwakili oleh PPP, sampai akhirnya Soeharto jatuh pada Mei 1998 dan di sisi lain kebebasan berekspresi bagi warga sipil menjadi tak terkendali. Hal itu salahsatu di antaranya berimplikasi pada kemunculan banyaknya partai politik Islam baru seperti Partai Keadilan, Partai Bulan Bintang, Masyumi, PUI, PNU, dan lain-lain. Segera stigma buruk yang selama itu lekat dan menempel pada PPP, seperti bahwa partai yang hanya sekadar untuk legitimasi dan partai Islam think thankpenguasa Orde Baru, dan sebagainya, mulai buruburu diubah citra dan paradigmanya sebagai tuntutan pada zaman reformasi. Perubahan itu paling tidak seperti persoalan fundamental asas kepartaian, yang sebelumnya menggunakan asas Pancasila sebagai konsekuensi kebijakan yang dibuat pemerintah Orde Baru pada 1985, kemudian pada zaman reformasi diganti dengan asas Islam. Juga menyangkut logo partai yang sebelumnya tidak boleh menggunakan lambang Kakbah, lalu memakai lambang itu. Tampaknya perubahan formalitas itu tak dibarengi secara signifikan dengan sikap dan perilaku reformistik, terutama yang direpresentasikan oleh orang-orang di dalamnya. Tendensi atau kecenderungan politik yang hanya dibawa untuk kepentingan individu dan berkuasa, tampaknya lebih besar ketimbang menempatkan politik sebagai instrumen dakwah dan perjuangan (jihad) untuk mengaspirasikan umat Islam dalam pangung politik nasional. Konsekuensinya, PPP akhirnya mulai ditinggalkan secara masif oleh konstituen, dan mereka yang berpindah lebih memilih partai Islam yang agak lebih reformistik, seperti Partai Keadilan Sejahtera. Umumnya konstituen loyal PPP adalah konstituen jaringan lama, mereka yang lazimnya generasi 1950 atau 1960-an. Adapun generasi baru muslim yang lahir pada dekade 1970 atau 1980-an lebih memilih partai-partai Islam yang lebih reformistik itu. Partai lama Islam seperti PPP dianggap kurang mengakomodasi generasi baru muslim diakibatkan paling tidak oleh tiga hal. Pertama; isu-isu yang ditonjolkan tidak seiring dengan tuntutan dan semangat generasi baru muslim, seperti soal respons Islam terhadap tantangan globalisasi dan westernisasi. Kurang Diakomodasi Kedua; intensitas perjuangan yang ditunjukkan (show of force) untuk membantu negara-negara Islam lain seperti membantu perjuangan rakyat Palestina, dilakukan oleh partai-partai baru Islam. Realitas baru tersebut dengan sendirinya menarik keinginan generasi baru muslim. Ketiga; soal tuntutan reformasi seperti pemberantasan KKN, pemulihan ekonomi, perjuangan memberantas kemiskinan, kebodohan, dan tawaran Islam sebagai landasan politik dan kenegaraan, yang ditawarkan partai baru Islam umumnya kurang diakomodasi partai lama Islam lama. Realitas itulah yang kemudian dapat menarik konstituen generasi baru muslim. Selama ini antara Islam dan politik yang diejawantahkan oleh partai-partai lama Islam cenderung bertolak belakang. Islam seakan-akan tidak menjangkau kepentingan bangsa yang tengah sakit akibat bencana alam, konflik di antara sesama anak bangsa, krisis sosial, politik dan ekonomi yang berkepanjangan, dan banyak persoalan lain. Idealnya, antara Islam yang diejawantah oleh partaipartai lama Islam itu dan politik atau persoalan-persoalan kebangsaan, tak bisa saling dipertentangkan satu dengan lainnya. Jika partai-partai politik Islam gagal mewujudkan dan mengejawantahkan prinsip-prinsip ajaran Islam maka di situ pula sesungguhnya mereka gagal sebagai partai politik. Benar kiranya Olivier Roy lewat karyanya, The Failure of Political Islam (1996) mengatakan bahwa Islam-politik gagal dalam kehidupan politikkebangsaan modern karena tak mampu mengadaptasikan Islam dalam kehidupan modern, baik dalam politik, pendidikan, sosial, ekonomi, kesejahteraan, maupun demokrasi. Mereka hanya bisa berapologi tentang Islam tapi tak bisa mewujudkan dalam kehidupan sosial. ● |
Post a Comment