Pemilu Merawat Imajinasi Bersama

Pemilu Merawat Imajinasi Bersama

W Riawan Tjandra  ;   Pengamat Hukum dan Kebudayaan
KOMPAS,  18 Februari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                                                                                       
KEHADIRAN pemilu di tahun politik sudah niscaya. Seluruh mesin politik, baik di aras publik maupun privat, telah bekerja untuk memastikan kehadirannya pada April 2014. Pemilu sejatinya adalah pintu yang dibuka oleh negara melalui perangkat regulasi ataupun institusi untuk memperbarui kontrak politik dengan rakyat atas nama sistem demokrasi perwakilan. Oleh Jean Jacques Rousseau (1712-1778) hal itu diperkenalkan sebagai kontrak sosial. Dengan kontrak sosial, terbentuk kehendak umum (volonte generale) sebagai dasar kedaulatan untuk mengelola urusan-urusan publik (res publica) melalui wakil-wakil yang dipilih rakyatnya.

Jika mencermati kontestasi politik di tahun politik saat ini, nyaris belum terlihat adanya paradigma baru dalam sistem pemilu yang dibangun ataupun permainan politik dari para aktor yang berkontestasi.

Padahal, pemilu dalam sistem demokrasi modern dinisbatkan menjadi jalan untuk mengisi kursi-kursi negara bagi para pemimpin yang akan menjadi pemegang kendali pemerintahan.

Susan Rose-Ackerman (2000) dalam risetnya pernah menyimpulkan bahwa di negara-negara demokrasi, proses pemilihan demokratis mampu mendorong terbentuknya pemerintahan yang terbuka dan transparan. Dan kebalikannya, negara-negara non-demokratis sangat rentan terhadap praktik-praktik korupsi karena sistem koersif dan ketertutupan yang mengiringi sistem tersebut. Namun, demokrasi tak selalu berhasil mengekang korupsi.

Guy Peters (2007) pernah menyarankan agar semua organisasi, termasuk negara, bisa mengidentifikasi keberhasilan dan kegagalannya serta belajar dari capaian-capaian tersebut untuk memperbaiki sistem yang dibangunnya.

Seharusnya pemilu yang akan digelar bisa menjadi sebuah jalan pematangan demokrasi yang katupnya telah dibuka sejak 1998.

Pemilu yang diselenggarakan sebagai sarana untuk memperbarui kontrak politik di arena yang kumuh dengan berbagai praktik mega-korupsi mulai dari kasus Century, Hambalang, suap SKK Migas, dan seterusnya, tak cukup hanya dimaknai sebagai sebuah kontestasi antar-aktor politik dalam memperebutkan ruang-ruang teritorialitas politik yang distipulasikan dalam regulasi sebagai daerah pemilihan (dapil) dan memperebutkan ruang-ruang publik melalui okupasi kanal-kanal informasi.
Pemilu sejatinya adalah kehadiran negara yang mendekat ke rakyatnya untuk meminta persetujuan ulang memperbarui kontrak politiknya.

Dalam pemahaman itu, rakyat harus dilihat sebagai pemegang kedaulatan yang diajak untuk bersama-sama mengonstruksi imajinasi politik.

Konsep sebuah negara bukanlah hanya sebatas konsep yang menyatakan wujud fisik konkret teritorialitas, manusia dan lingkungannya. Namun—seperti yang disebut oleh Benedict Anderson—juga sebagai komunitas yang diimajinasikan (imagined community).

Imajinasi politik yang dibangun melalui pemilu (seharusnya) bukan hanya diproduksi melalui mesin-mesin politik yang memainkan citra para aktor politik yang melampaui batas makna sejatinya (hipersemiotik), yang digambarkan oleh Baudrillard sebagai tanda yang berlebihan (hyper-sign) melalui teknologi pencitraan (imagology).

Akibatnya, seperti telah terbukti selama ini, tanda-tanda semacam itu pada gilirannya jika terbukti hanya menjadi sebuah tanda palsu (false sign), justru akan memperluas apatisme publik.

Imajinasi politik yang dibangun bersama rakyat/konstituen seharusnya dihasilkan dari sebuah empati para aktor politik dan menghadirkan kehendak umum (volonte generale) dalam konklusi-konklusi politik melalui keputusan-keputusan yang berdampak pada publik.

Negeri ini perlu belajar genealogi kekuasaan di saat para pendiri negara (the founding fathers and mothers) merawat imajinasi bersama rakyatnya di awal bangsa ini menjadi negara konstitusional demokrasi.

Berpolitik pada hakikatnya adalah sebuah pengabdian dan penyangkalan diri karena dengan hal itu seorang pemimpin mampu mencapai kesejatian dirinya melalui kesejahteraan rakyatnya (bonum commune). ●
Indeks Prestasi

Post a Comment