Politik Kepemimpinan Otentik

Politik Kepemimpinan Otentik

Asep Salahudin  ;   Peneliti Lakpesdam PWNU Jawa Barat;
Dekan di Fakultas Syariah IAILM Suryalaya Tasikmalaya
KOMPAS,  22 Februari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                                                                                       
Politik selalu tampil dengan dua wajah paradoksal. Epifani ketulusan dan ekspresi buruk rupa. Lambang akal waras dan pantulan sesat pikir. Tarik- menarik di antara keduanya menjadi narasi sepanjang sejarah dan fenomena kedua yang acap kali tampil ke muka.

Menjadi sangat bisa dipahami jika Lord Acton kemudian mewartakan bahwa kekuasaan selalu memiliki kecenderungan korup. Kekuasaan sering disalahgunakan untuk kepentingan sesaat bahkan sesat. Maka, menjadi tepat kalau Aristoteles menyebut manusia sebagai makhluk politik, zoon politicon. Politik menjadi sebuah hasrat untuk berkelit dari watak ”kebinatangan” dan memunculkan spirit kemanusiaan. Meski demikian, lagi-lagi pada akhirnya kebinatangan dalam kisah politik yang acap kali tampil sebagai arus utama.

Thomas Hobbes dalam Leviathan menyebutnya homo homini lupus. Medan politik menjadi serupa belantara yang hanya menyediakan tempat bagi mereka yang kuat. Serigala menjadi raja rimba tidak tersebab ia  karnivora, tetapi karena daya agresivitas, kebuasan, dan kehendak untuk menyakiti lawan yang melekat dalam tubuhnya. Serigala jadi simbol rebutan kekuasaan yang hanya menyisakan kemenangan bagi yang tersiap, survival of the fittest. Hadir menjadi raja hutan bukan dengan fungsi melindungi kawanan hewan yang lemah, melainkan justru kebalikannya. Kekuasaan jadi alat mencengkeramkan dominasi, mengoperasikan hegemoni, dan menebarkan rasa takut.

Ketaatan yang didapatkan bukan karena rasa takzim, melainkan semata karena kekhawatiran dijadikan mangsa, rasa waswas kapan giliran jadi korban  berikutnya dari hasrat tamak serigala.

Di tengah absurditas negeri kepulauan dengan partai yang banyak, etnik berlimpah, bahasa dan agama berbeda, politik minimal menawarkan, bukan kehidupan sempurna tanpa cacat, tetapi harapan. Di balik kecemasan, rasa frustrasi, dan waswas, meminjam tafsir Albert Camus, selalu tebersit optimisme tentang kebaikan dunia (negara) yang dibayangkan.

Dalam konteks inilah demokrasi sebagai jangkar utama politik yang dianggap merepresentasikan kehendak publik menyelenggarakan pemilu. Pemilu siklus lima tahunan dipandang dapat jadi pintu masuk lahirnya  wakil rakyat (pemimpin) yang dapat mengubah kemustahilan menjadi kemungkinan, dapat mentransformasikan angan-angan khalayak menjadi kenyataan, mengejawantahkan mimpi kebangsaan menjadi bagian dari sejarah keseharian, atau dalam istilah Bung Karno menuntaskan revolusi yang belum selesai.

Wibawa kuasa

Pemilu dirayakan tidak saja agar fitrah manusia sebagai ternak politik menemukan salurannya yang konstitusional, tetapi lebih jauh dari itu adalah agar bagaimana melalui pemilu terjaring para pemimpin yang bisa meriwayatkan diri dan liyan dengan sahih, tanggung jawab, dan penuh adab. Agar ada pergeseran dari sekadar zoon politcon ke arah kata Levinas (1906-1995) respondeo ergo sum: saya bertanggung jawab, maka saya ada.

Pemilu membayangkan gambaran  ”keterwakilan” yang tidak saja secara fisik, tetapi lebih dari itu adalah visi yang jelas tentang masa depan bangsa. Visi guna menuntaskan seluruh cita-cita proklamasi yang dahulu baru dirumuskan hanya dalam tempo sesingkat-singkatnya

Di sinilah memilih wakil rakyat yang amanah menjadi suatu keniscayaan. Alan Badiou menyebutnya dengan kepercayaan (fidelity), pilihan (choice), dan menggerakkan perubahan  (change).

Filsuf yang lain meletakkan kualifikasi itu pada kemampuan pengendalian diri, arif, berani dan adil (Plato), tercerahkan dan memiliki keutamaan serta pengetahuan yang bisa membedakan mana yang esensial dan mana yang artifisial, mana ideen  dan  meinungen (Aristoteles). Memuliakan akal budi, kukuh dalam rasionalitas publik dengan segala imperatif moralnya yang berporos pada palung nurani demi keberlangsungan kebaikan bersama (Kant), punya iman otentik dengan tetap merawat kebebasan agar setiap keputusan kelak yang diambilnya dapat menjaga jarak dengan politik kepentingan (Kierkegaad).

Al-Mawardi dalam al-Ahkam as-Sulthaniyah mencatat kriteria moral seorang yang layak menjadi pemimpin: (1) kecermatan mengendalikan nafsu yang dijangkarkan pada penghayatan iman kudus; (2) dapat menyalurkan aspirasi masyarakatnya dengan penuh keseriusan; (3) mampu bertindak adil; (4) dapat menciptakan rasa aman; (5) memiliki pengetahuan dalam hal ikhtiar menyejahterakan khalayak; (6) menyuntikkan sikap optimistis yang terukur.

Kota jahil

Pemimpin dan wakil rakyat seperti itu yang selayaknya dipilih dan atau setidaknya mendekati kriteria itu. Karena hanya manusia dengan karakter ini yang dapat membangun negara utama (al-madinah al-fadhilah). Bakal bisa memunculkan kesejahteraan umum sekaligus mengapresiasi keragaman warga sebagai bagian dari fitrah berbangsa.

Jika tidak, sesungguhnya kita tengah berlayar menuju negeri dengan tiga kemungkinan buruk, meminjam tipologi negara dari Al-Farabi yang banyak dipengaruhi Aristotoles dan belajar logika kepada Kristen Nestorian Yuhanna ibn Hailan dalam kitabnya al-Madinah al-Fadhilah,  al-Siyasah al-Madaniyah, Fushul al-Madani.

Pertama,  negara sesat (al-madinah al-dhalalah). Semacam negara dengan kepemimpinan yang tidak efektif dan tak berwibawa sehingga rakyat setiap saat bertindak anarkistis dan menyelesaikan persoalan dengan jalan kekerasan. Pemimpin yang sama sekali tidak bekerja kecuali sekadar melakukan pidato yang dirutinkan untuk memperkokoh citra bahwa dia adalah raja. Kedua, negara dungu (al-madinah al-jahilah) yang dicirikan dengan: terpesona fantasi angka-angka ekonomi saja, gila penghormatan dan tamak, tersekap dalam kebodohan, dan akhirnya senantiasa melihat persoalan dengan kacamata kuda.

Ketiga,  negara tunamoral (al-madinah al-fusqah) adalah negara dengan payung agama dan undang-undang jelas, falsafah hidup yang tidak disangsikan karena digali dari hamparan khazanah kearifan lokal tetapi tidak ada kesediaan seluruh komponen bangsa untuk membumikannya secara fungsional dalam praksis.

Dari rahim pemilu yang adil dan jujur kita mengharapkan lahir para pemimpin yang dapat menarasikan persoalan bangsa dengan tanggung jawab. Pemilu sudah seharusnya menjadi keran yang mengalirkan para wakil rakyat yang tidak saja ingat terhadap haknya, tetapi juga sadar atas seluruh kewajiban di pundaknya.

Kewajiban menghindarkan Ibu Pertiwi dari wabah ”sampar”–meminjam novel La Peste Albert Camus–yang akan bikin negeri dan seluruh masyarakat terjebak dalam hidup yang getir dan absurd. Hidup yang dikepung kerumunan ”tikus”.
Indeks Prestasi

Post a Comment