Produk Tiongkok vs non-Tiongkok

Produk Tiongkok vs non-Tiongkok

Effnu Subiyanto  ;   Ketua Cikal Foundation, Pendiri Forkep,
Kandidat Doktor Ekonomi Unair
JAWA POS,  21 Februari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                                                                                       
KAMPANYE produk Tiongkok versus non-Tiongkok kembali mengemuka setelah persoalan bus Transjakarta dan bus kota terintegrasi busway (BKTB) yang diimpor Pemprov DKI Jakarta bermasalah. Sejumlah bus mengalami karat pada bagian penting bus dan kerusakan beberapa bagian. Kecurigaan menguat bahwa bus-bus untuk menyelesaikan masalah transportasi ibu kota tersebut adalah bus yang dibeli bukan keadaan baru.

Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Udar Pristono dicopot Gubernur Jokowi (12/2/2014) dan dimutasi menjadi Tim Gubernur untuk Percepatan Pembangunan (TGUPP). Udar Pristono dianggap paling bertanggung jawab di balik kisruh pengadaan Transjakarta dan BKTB itu. Nilai kontrak dengan manufaktur bus asal Tiongkok senilai Rp 2 triliun untuk 1.000 unit bus Transjakarta dan Rp 1,8 triliun untuk 3.000 unit BKTB tersebut benar-benar ternoda karena ulah Udar Pristono.

Kendala Bahasa

Tender pengadaan bus-bus sedikit banyak dikambinghitamkan dari aib impor bus-bus asal Tiongkok itu. Sistem tender konvensional yang sudah digantikan dengan e-procurement tetap belum menyelesaikan masalah pelik kongkalikong atau hengki pengki dalam setiap proses tender. Wakil Gubernur Ahok bahkan bersikeras bahwa tender dengan basis e-catalog dirasa lebih baik dan mengecam keras sistem tender dengan e-procurement, apalagi model konvensional dengan hard paper atau model amplop tertutup.

Terlepas persoalan kongkalikong proses tender, kesalahan mendapatkan kualitas yang diinginkan adalah pertaruhan reputasi tim tender. Dituntut kehati-hatian dalam meneliti dokumen sejak tahap beauty contest atau request for proposal (RFP), berkas dokumen tender yang diminta oleh tim teknis, aanwijzing, penawaran, evaluasi, klarifikasi, negosiasi, penentuan pemenang, kick-off kontrak dan sampai dengan penyerahan barang.

Kelemahan utama tim tender dari setiap tender kualifikasi internasional adalah pemahaman bahasa asing. Agar kelihatan gagah dan berkelas, bahasa Inggris kadang dipakai, padahal hanya beberapa dari tim tender yang sangat fasih berbahasa internasional. Sayangnya, yang mengevaluasi RFP sampai dengan dokumen penawaran pada umumnya adalah staf dengan eselon III atau eselon IV. 

Keterbatasan pemahaman bahasa tentu menjadi blunder. Banyak istilah asing yang tidak dimengerti dan ironisnya tidak bisa diklarifikasi karena lagi-lagi terkendala bahasa. Akhirnya, yang diketahui adalah jumlah harga yang relatif murah jika dibandingkan dengan penawar lain, padahal banyak sekali item yang tidak menjadi scope penawaran.

Jika dicari siapa yang bertanggung jawab, seharusnya tidak Udar Pristono seorang. Dalam tim tender, ada unit teknis yang menyusun dokumen teknis quotation, ada pula divisi manajemen risiko yang menganalisis bagian apa yang belum dimasukkan dalam scope tender. Udar Pristono tentu bukan pejabat multifungsi dan powerful di segala bidang. Jika Udar bertanggung jawab hanya di bidang tender, tentu saja kuasa teknis dan manajemen risiko bukan tanggung jawabnya.

Gubernur Jokowi tidak boleh terbawa emosional atau terjebak dalam stereotip bahwa birokrat selalu jelek dan korup. Reorganisasi dan penyegaran tentu saja penting, namun mencari pejabat yang berpengalaman dan jujur tentu saja tidak mudah. Udar bisa saja diganti, namun pengganti Udar bisa saja malah jauh lebih buruk. Sudah tidak kompeten, kongkalikong pula, ini tentu celaka bagi Jokowi dan celaka bagi penduduk DKI Jakarta. Keluar dari mulut buaya, namun masuk dalam mulut macan.

Berkualitas

Sebagai negara adidaya ekonomi dunia sekarang, produk buatan Tiongkok tidak jelek seluruhnya. Jika kebetulan Indonesia selama ini mendapatkan kualitas barang buatan Tiongkok yang tidak memuaskan, misalnya produk motor Tiongkok (mocin), ini disebabkan level kualitas yang diminta adalah seperti itu. Tiongkok tentu saja tidak bisa disalahkan jika membuat barang sesuai yang diminta.

Dengan kekuatan ekonomi nomor satu dunia seperti cadangan devisa USD 3,82 triliun sekarang, barang-barang Tiongkok pun tidak kurang yang sangat berkualitas. Infrastruktur Tiongkok pun luar biasa menandakan material yang dipakai berkualitas. Misalnya, mampu membuat jalan tol dan jembatan-jembatan panjang. Sumber-sumber pembangkit listriknya juga bisa diandalkan yang menandakan generator-generatornya berkualitas dan tidak sembarangan. Tanpa dukungan barang-barang dengan mutu bagus, sangat mustahil pertumbuhan ekonomi Tiongkok kontinu 7,7 persen per tahun yang dianggap terendah (2013), biasanya dobel digit.

Jika melihat kegagahan ekonomi Tiongkok, kampanye produk murahan setiap barang dari Tiongkok rasanya tidak relevan lagi. Kita meneriakkan anti Tiongkok, namun pada sisi lain sangat welcome dengan buatan negara lain. Bukankah ini sudah merupakan kampanye hitam dan terselubung? Jangan-jangan akal sehat negeri ini sudah mengalami liberalisasi tanpa kita bisa sadari.
Indeks Prestasi

Post a Comment