Politik Dinasti dan Kisah AdamBiyanto ; Dosen UIN Sunan Ampel, K etua Majelis Dikdasmen PW Muhammadiyah Jatim |
JAWA POS, 21 Februari 2014
FENOMENA politik dinasti terus menjadi perbincangan publik. Lakon utamanya masih Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah dan keluarga besarnya, yang menguasai sejumlah jabatan publik di Banten dan sekitarnya. Bukan hanya itu. Dinasti Atut juga menguasai sejumlah proyek di pemerintahan. Terbaru, Atut juga dikaitkan dengan kepemilikan dua pulau di Banten, yakni Pulau Popole dan Pulau Liwungan (Jawa Pos, 18/2/2014). Jika mau jujur, sebenarnya bukan hanya Atut yang telah membangun politik dinasti. Banyak elite di negeri ini yang juga terobsesi untuk membangun politik dinasti. Tengoklah daftar calon anggota legislatif untuk Pemilu 2014. Jika ditelisik lebih jauh, ternyata sebagian di antara mereka memiliki hubungan kekerabatan dengan elite partai dan penguasa di daerah. Dalam praktiknya, modus politik dinasti dilakukan penguasa dengan menempatkan orang yang masih berhubungan darah, keturunan, atau kerabat, sebagai pejabat publik. Mekanisme ini sangat berbahaya karena pasti mengabaikan kompetensi dan rekam jejak. Yang menyedihkan, politik dinasti sengaja dibingkai dalam konteks demokrasi. Dalam alam demokrasi prosedural ini masyarakat seakan diberi peran. Tetapi, jika diamati, jelas sekali bahwa masyarakat tidak memiliki kebebasan menentukan pilihan. Hal itu karena calon anggota legislatif dan calon kepala daerah yang dimajukan sudah diskenario. Pemenangnya harus orang yang memiliki hubungan kekerabatan dengan elite-penguasa. Dalam perspektif Ibn Khaldun, politik dinasti ini dinamakan ashabiyah. Ibn Khaldun dalam The Muqaddimah an Introduction to History (1998) menyebut politik ashabiyah sebagai gejala yang bersifat alamiah. Hal itu karena umumnya penguasa di masa sebelum modern selalu ingin merekrut orang yang memiliki hubungan kekerabatan sebagai bawahannya. Namun, secara tegas dia menyatakan bahwa politik ashabiyah dapat menyebabkan kehancuran negara. Dalam konteks budaya modern, praktik politik ashabiyah jelas menjadi persoalan. Apalagi, jika politik ashabiyah itu dijalankan dalam suasana demokrasi yang sedang tumbuh dan berkembang. Ada baiknya penguasa yang terobsesi untuk membangun politik dinasti membaca ulang kisah terusirnya Nabi Adam dan Hawa dari surga. Mengapa Adam dan Hawa terusir dari surga yang penuh kenikmatan? Jawabnya, karena keduanya tergoda oleh bujuk rayu setan. Menurut bisikan jahat setan, jika Adam dan Hawa mau makan buah khuldi, keduanya akan merasakan kenikmatan surga dalam waktu lama dan memperoleh kekuasaan yang tidak pernah binasa. Singkat kisah, Adam dan Hawa akhirnya tergoda bujuk rayu setan. Keduanya pun memakan buah khuldi. Akibatnya, keduanya harus menerima kenyataan sebagai hamba yang terhina dan terusir dari surga (QS Thaha: 120-121). Pelajaran apa yang dapat dipetik dari kisah pengusiran Adam dan Hawa? Paling tidak, ada dua pelajaran yang dapat diambil. Pertama, ternyata manusia sangat mudah tergoda kekuasaan yang dipersepsi dapat membawa kenikmatan hidup di dunia. Dan, orang yang memiliki syahwat politik tinggi akan selalu berusaha menikmati kekuasaan di dunia ini dalam waktu lama. Kedua, keinginan orang untuk mempertahankan kekuasaan itu disebabkan tidak ingin kekuasaan yang diraih dengan susah payah harus berpindah tangan. Karena itu, kekuasaan yang telah diraih harus dipertahankan selama mungkin. Jika kekuasaan harus berpindah tangan, diusahakan agar kekuasaan itu jatuh kepada istri/suami, anak, menantu, ipar, kerabat, dan teman dekatnya. Selain untuk melanggengkan kekuasaan, strategi mencalonkan orang terdekat dalam pemilu atau pilkada adalah untuk menjamin dirinya selamat dari persoalan hukum pasca tidak berkuasa. Itu dapat dimaklumi karena ada banyak mantan pejabat publik yang berurusan dengan hukum setelah turun takhta. Karena sangat berbahaya itulah, pemerintah dan legislatif harus merumuskan regulasi yang terukur agar politik dinasti tidak terus terjadi. Modal untuk membuat regulasi jelas sudah ada. Yakni, larangan terhadap seseorang untuk tampil sebagai kepala daerah lebih dari dua periode. Sayangnya, peraturan ini masih disiasati beberapa kepala daerah yang tidak boleh mencalonkan diri karena sudah menjabat dua periode. Caranya, mencalonkan diri sebagai wakil kepala daerah. Berkaitan dengan problem ini, peraturan yang ada harus dipertegas sehingga tidak multitafsir. Misalnya, melarang kepala daerah yang sudah menjabat dua periode untuk mencalonkan diri sebagai wakil kepala daerah. Idealnya, batasan maksimal dua periode juga berlaku untuk jabatan di legislatif. Juga penting diatur boleh tidaknya kerabat dekat maju dalam rekrutmen pejabat eksekutif dan legislatif. Peraturan ini penting untuk menghindari politik dinasti dan demi tegaknya fungsi checks and balances antarlembaga negara. Sebab, fungsi saling mengontrol pasti tidak maksimal jika sejumlah jabatan publik dikuasai satu keluarga besar. Karena politik dinasti tidak hanya dilakukan Atut, publik harus waspada. Untuk menghindari politik dinasti, penguasa negeri ini harus becermin pada kisah Adam. Meski kita ini anak cucu Adam, kita tidak boleh mengulangi kesalahannya. Jika kisah Adam berulang, lalu lahir Atut-Atut baru, negeri ini pasti kian hancur. ● |
Post a Comment