Akurasi Data BerasToto Subandriyo ; Peminat masalah sosial ekonomi, Alumnus IPB dan Magister Manajemen Unsoed |
JAWA POS, 24 Maret 2014
Belum lama ini Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan data angka sementara (asem) produksi padi 2013 sebesar 71,29 juta ton gabah kering giling (GKG). Jika menggunakan angka rendemen sesuai dengan hasil survei susut panen dan pascapanen 2005-2007 sebesar 62,74 persen, angka produksi 71,29 juta ton GKG tersebut setara dengan 44,73 juta ton beras. Jika dibandingkan dengan 2012, angka produksi sebesar itu naik 2,24 juta ton atau 3,24 persen. Sebagaimana sudah banyak diketahui, pada 2014 ini, pemerintah menargetkan surplus produksi beras 10 juta ton. Jika mengacu kepada angka konsumsi beras per kapita 139,15 kilogram per tahun dan jumlah penduduk saat ini sekitar 245 juta jiwa, pada tingkat ketersediaan beras 44,73 juta ton tersebut, akan diperoleh surplus konsumsi lebih dari 10 juta ton. Apakah sesederhana itukah perhitungannya? Berantai Belakangan ini banyak kalangan di tanah air menyuarakan pentingnya pembenahan data statistik pangan di republik ini. Semrawutnya data statistik pangan dituding sebagai biang semrawutnya kebijakan pemerintah di bidang pangan. Secara kasatmata, kita pernah menyaksikan aksi saling tuding dari para pembuat keputusan terkait dengan kebijakan impor beras dan komoditas pangan yang lain. Secara tidak langsung, peristiwa itu dipicu oleh tidak akurasinya data produksi dan konsumsi komoditas pangan tersebut. Semrawutnya data statistik beras, antara lain, tecermin dari beragamnya data statistik produksi dan konsumsi beras nasional. Selama ini data statistik produksi dan konsumsi beras antarlembaga di negeri ini simpang siur. Masing-masing lembaga cenderung memberikan penilaian overestimate atau underestimate terhadap data lembaga yang lain. Jika data ASEM produksi padi 2013 yang dikeluarkan BPS beberapa waktu lalu benar, surplus beras benar-benar nyata, lantas mengapa harga beras saat ini tetap stabil tinggi? Mengapa ada kebijakan impor beras dari Vietnam, yang kemudian memicu polemik berkepanjangan? Hingga kini, tidak ada satu pun lembaga yang dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan memuaskan. Selama ini BPS mengeluarkan data angka ramalan (aram) produksi komoditas beras dan palawija sebagai bentuk peringatan dini (early warning) serta sebagai dasar membuat kebijakan di bidang pangan pada tahun berjalan. Sesuai denga periodisasinya, dalam satu tahun kalender, BPS memublikasikan aram I, aram II, dan aram III. Namun, pola pengumpulan data beras itu banyak dipertanyakan para pengamat. Asal tahu saja, pola pengumpulan data beras tersebut masih berpedoman pada Instruksi Menko Ekuin Nomor In/05/Menkuin/I/1973 tanggal 23 Januari 1973 yang ditujukan kepada menteri pertanian, menteri keuangan, dan kepala BPS. Di daerah, pengumpulan data yang menyangkut luas tanam, luas panen, dan luas puso menjadi tanggung jawab dinas pertanian (mantri tani), sedangkan data yang menyangkut produktivitas menjadi tanggung jawab kantor statistik (mantri statistik). Pada era digital seperti sekarang, cara-cara seperti itu sudah tidak dapat dipertahankan. Teknologi penginderaan jauh (remote sensing) dan teknologi satelit sudah berkembang begitu pesatnya. Karean itu, perhitungan produksi pangan tersebut harus memanfaatkan teknologi modern agar data lebih akurat. Bias Kebijakan Data konsumsi beras per kapita penduduk tidak kalah semrawutnya. Data konsumsi per kapita yang selama ini digunakan Kementerian Pertanian adalah 139,15 kilogram per tahun, sedangkan BPS menggunakan angka 113,48 kilogram per tahun. Banyak instansi di daerah menggunakan angka 98 kilogram per tahun sesuai dengan hasil Susenas 2012. Jika dihitung dengan matematika sederhana, selisih angka konsumsi beras per kapita antara Kementerian Pertanian dan BPS mencapai 25,67 kilogram per tahun. Selisih angka sebesar itu tentu sangat signifikan dalam perhitungan statistik. Jika angka tersebut dikalikan dengan jumlah penduduk 245 juta jiwa, akan diperoleh selisih perhitungan konsumsi beras per kapita penduduk dalam satu tahun 6,3 juta ton beras. Dari bias data konsumsi beras per kapita itu akan menimbulkan bias kebijakan strategis yang bakal diambil pemerintah. Jika menganut data BPS, itu berarti terdapat selisih positip 6,3 juta ton, atau surplus 6,3 juta ton. Namun, jika menggunakan data Kementerian Pertanian, terdapat selisih minus 6,3 juta ton yang harus ditutup dari kegiatan impor. Mau tidak mau, suka tidak suka, data statistik beras harus segera dibenahi. Data statistik beras yang akurat sangat membantu pemerintah dalam menentukan berbagai kebijakan dan menyusun langkah-langkah strategis untuk menjaga ketahanan pangan. Misalnya, langkah-langkah apa yang harus segera ditempuh untuk pengamanan produksi dan cadangan pangan, perlu tidaknya dilakukan impor, kapan waktu paling tepat impor, dan sebagainya. Data statistik pangan yang akurat dapat menjadi dasar bagi tegaknya kedaulatan pangan republik ini. ● |
Post a Comment