Anak-Anak Korban Perang

Anak-Anak Korban Perang

 Ardi Winangun  ;   Penulis, Pernah bekerja di Civil-Militery Relations Studies
OKEZONENEWS,  14 Maret 2014
                                                                                                             
                                                                                         
                                                                                                             
Dalam setiap terjadi bencana alam, TNI selalu siap sedia membantu para korban. Tugas TNI membantu korban bencana alam merupakan amanah UU. No. 34 Tahun 2004 Tentang TNI Pasal 7 ayat (2) b, 12. Tugas yang demikian disebut sebagai operasi militer selain perang. Dengan undang-undang ini maka TNI selalu terlihat sepak terjangnya dalam setiap penanggulangan dan pemulihan akibat bencana. Dalam operasi militer selain perang itu, TNI tak tanggung-tanggung dalam mengerahkan kekuatannya, tak hanya kapal perang, pesawat hercules, dan bantuan yang diperlukan namun juga pasukan khusus.

Istimewa dalam operasi pemulihan keadaan pasca erupsi Gunung Sinabung kali ini, TNI tak hanya membantu seperti biasanya namun juga menurunkan 241 relawan Dongeng Kemanusiaan Dharma Pertiwi. Tugas dari kesatuan ini adalah untuk memberikan trauma healing kepada anak-anak yang menjadi korban akibat bencana erupsi Gunung Sinabung. Bantuan khusus untuk anak-anak itu, mereka tak hanya dihibur dengan dongeng seperti Si Kancil, misalnya, namun juga diberi bantuan tas sekolah beserta alat tulisnya.

Menurunkan relawan dongeng yang dilakukan oleh TNI ini menunjukan bahwa TNI dalam operasinya peduli pada anak-anak. Anak-anak merupakan aset bangsa sehingga jiwa dan raganya harus dibina agar bisa menjaga keberlangsungan bangsa dan negara. Menjadi pertanyaan mengapa TNI baru kali ini menurunkan relawan dongeng? Apakah penurunan relawan dongeng sebagai sebuah bentuk penepisan isu dan fakta dari buku yang berjudul Anak-anak Tim-Tim di Indonesia: Sebuah Cermin Masa Kelam.

Buku karya Helene van Klinken ini mengupas bagaimana pemindahan anak-anak Timor Timur, yang saat itu masih menjadi salah satu provinsi di Indonesia, ke berbagai tempat di Indonesia, seperti Ngawi, Manado, Makassar, Surabaya, Jakarta, dan Bekasi. Menjadi masalah, pemindahan yang terjadi dari tahun 1975-1999, itu adalah, seperti yang diungkapkan Helene adalah seperti dimasukan dalam sebuah peti besar oleh tentara lalu diangkut kapal yang akan pulang ke Indonesia. Dimasukan dalam peti agar dianggap sebagai barang bawaan. Jumlah anak yang dipindah dari Timor Timur itu diperkirakan sebanyak 4.000 anak.

Seorang anak yang dipindahkan, Isabelinha Pinto, menuturkan dalam Majalah Tempo, 9 Maret 2014, dirinya merasa sedih, takut, dan menangis sepanjang perjalanan. Dirinya yang saat itu berumur 6 tahun melihat anak-anak seusianya di kapal dan juga menangis. Diungkapkan oleh Linha, panggilannya, jika anak-anak itu menangis diancam akan dibuang ke laut.

Meski dalam buku itu ada cerita masa kelam namun tak semua pemindahan itu dilakukan secara paksa. Ada pemindahan yang dilakukan secara ikhlas dan masa depan si anak itu menjadi lebih baik. Si pengadopsi memelihara anak itu dengan baik hingga disekolahkan sampai perguruan tinggi.

Apa yang dilakukan oleh TNI seperti yang ditulis oleh Helene itu bisa jadi merupakan cara agar bagaimana pengintegrasian Timor Timur menjadi lebih cepat, baik dari segi wilayah maupun perasaan rakyat Timor Timur. Ada tujuan ideologi dan politik agar perbedaan budaya, bahasa, bahkan agama cepat diatasi. Di sini terlihat TNI mempunyai tanggung jawab besar bagaimana keutuhan NKRI terjaga. Untuk itu, berbagai cara dilakukan agar cita-cita luas wilayah Indonesia tetap utuh.

Apa yang terjadi di Timor-Timur pada masa itu sebenarnya modusnya juga pernah dilakukan oleh negara-negara lain. Australia pernah melakukan yang demikian dengan mengambil anak-anak aborigin untuk cepat dinaturalisasi sebagai bangsa Australia putih. Uni Soviet ketika menginvasi Afganistan, juga mengambil anak-anak Afganistan untuk dibawa ke Rusia dan dicuci otaknya. Tak hanya dalam kondisi perang penculikan atau pemindahan anak terjadi. Saat kondisi normal hal demikian juga ada, bisa karena faktor perdagangan anak, juga bisa disebabkan untuk mengubah agama dan keyakinan para anak.

Dalam kondisi perang memang anak paling banyak mengalami penderitaan di samping kaum perempuan. Perang Suriah membuat sebagian rakyat negeri itu mengungsi. Dari 2,3 juta pengungsi akibat perang saudara itu 46 persen adalah kaum laki-laki, 54 persen kaum perempuan, dan 56 persen anak-anak (Time, Februari 2, 2014). Di sini terlihat bahwa anak-anak-lah yang paling banyak menderita. Mereka yang mengungsi itu didera kelaparan, kedinginan, kepanasan, ancaman berbagai macam penyakit bahkan kematian yang tidak hanya diakibatkan oleh rasa lapar dan sakit namun ledakan atau peluru nyasar. Tak hanya itu yang dialami oleh anak-anak, selain mereka tidak bisa bersekolah, mereka juga akan mengalami trauma kekerasan. Bila mereka dibesarkan dalam suasana perang maka di saat besar mereka juga akan melakukan hal yang demikian. 

Untuk mengatasi yang demikian. maka di sini perlunya penegasan kembali perlindungan terhadap semuanya terutama anak-anak ketika perang terjadi. UNICEF dan UNHCR harus lebih berperan dalam masalah ini. Apa yang dilakukan TNI itu seharusnya tidak hanya dilakukan di Sinabung namun juga di Aceh, Papua, dan tempat lainnya di mana kekerasan yang dilakukan oleh aparat pernah terjadi.
Indeks Prestasi

Post a Comment