Menuju Pangan yang Berdaulat Toto Subandriyo ; Asisten Administrasi Pembangunan Sekda Kabupaten Tegal |
SUARA MERDEKA, 14 Maret 2014
TERASA menarik mencermati tajuk harian ini edisi Sabtu (1/3/14), berjudul ”Tiwul, Indikator Ketahanan Pangan?” Ratusan warga Semin Nguntoronadi Kabupaten Wonogiri, menggalakkan program ’’tiwulisasi’’ atau mengonsumsi tiwul tiap Senin dan Kamis. Tindakan itu dapat menghemat 1-1,5 kg beras per keluarga tiap minggu. Pada era ”berasisasi” mencapai puncak keemasan seperti sekarang ini, berita seperti itu menjadi sangat luar biasa, sehingga harian ini menempatkan pada posisi terhormat sebagai editorial. Padahal sebelum era 1980-an, semua murid SD hafal jika ditanya tentang makanan pokok masyarakat di Indonesia. Makanan pokok sehari-hari penduduk Madura adalah jagung, penduduk Papua sagu atau ubi (hipere), dan masyarakat Wonogiri tiwul (nasi yang terbuat dari singkong). Saat ini kebijakan ”berasisasi” membawa perubahan total terhadap pola konsumsi masyarakat menyangkut sumber energi karbohidrat. Upaya ”berasisasi” telah membawa dampak ketercerabutan kearifan pangan lokal. Makanan pokok sagu, umbi-umbian (hipere), jagung, tiwul, telah tergantikan oleh beras. Menurut Rosegrant (1997), partisipasi konsumsi beras penduduk Indonesia dewasa ini mencapai 96,87%. Kenyataan ini tidak akan menjadi permasalahan jika didukung oleh kondisi sosial, ekonomi, budaya, dan kondisi agroekosistem dan agroklimat masing-masing daerah. Jika kondisi agrosekosistem dan agroklimat tidak cocok untuk budi daya padi, maka yang terjadi adalah kasus kelaparan seperti yang pernah melanda di Lembata (NTT), Yahukimo (Papua), dan daerah lainnya. Beras terpaksa harus didatangkan dari luar daerah. Multidimensi Bukan hanya itu, Prof Dr Mohammad Maksum Machfoedz dari UGM pernah menyampaikan tausiah bahwa dalam sebutir beras terkandung multidimensi kehidupan, dari dimensi sosial, ekonomi, HAM, keadilan, politik, hingga budaya. Warga Yahukimo mengalami gegar budaya ketika menerima bantuan beras dan mi instan dari pemerintah saat kelaparan melanda mereka beberapa tahun lalu. Mereka terbiasa mengonsumsi umbi yang setelah dibakar tinggal dinikmati, sedangkan untuk memasak nasi atau mi, mereka harus menyiapkan kompor, panci, piring, dan peralatan lain yang asing bagi mereka. Apa yang dikhawatirkan Guru Besar Teknologi Pangan IPB Prof FG Winarno, telah menjadi kenyataan. Mengubah pola konsumsi pangan masyarakat dari nonberas ke beras merupakan kesalahan fatal. Betapa tidak, untuk mengubah pola konsumsi pangan penduduk paling tidak membutuhkan waktu satu generasi. Konsumsi sumber energi karbohidrat penduduk Indonesia yang terfokus pada beras tersebut mengakibatkan tekanan yang sangat berat terhadap produksi beras dalam negeri. Meskipun upaya peningkatan produksi beras dilakukan seiring dengan peningkatan jumlah penduduk, sulit mengindari faktor kejenuhan lahan terhadap berbagai input teknologi (levelling off). Akibatnya, kedaulatan pangan negeri ini selalu dikorbankan. Tiap tahun pemerintah selalu ketagihan impor beras. Kasus impor ilegal 16.900 ton beras dari Vietnam yang menghebohkan beberapa waktu lalu mengamini premis bahwa keinginan pemerintah untuk impor beras sangat besar meski beras dalam negeri berlimpah. Agar ketahanan pangan nasional kokoh, pemerintah harus berusaha dengan serius menegakkan kedaulatan pangan, utamanya beras. Sejak 2004 negara ini sebenarnya berhasil meraih kembali prestasi swasembada beras. Karena itu prestasi ini harus dipertahankan dengan segenap kemampuan agar menjadi swasembada berkelanjutan. Angka ramalan II BPS menyebutkan produksi padi nasional 2013 mencapai 70,87 juta ton gabah kering giling (GKG). Tahun 2014 pemerintah menargetkan produksi padi 76,57 juta ton GKG. Jika target itu dicapai maka tidak diperlukan lagi impor beras. Larangan impor beras telah memberikan insentif harga jual gabah/beras yang memadai bagi petani sehingga petani lebih bergairah melakukan budi daya dan meningkatkan produksi padi. Kampanye Berkelanjutan Selain itu, untuk mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap konsumsi beras perlu dilaksanakan kampanye penganekaragaman konsumsi pangan secara nasional secara berkelanjutan. Saat ini konsumsi beras penduduk versi hasil koordinasi Menko Perekonomian 139,15 kg/kapita/tahun. Angka tersebut sama dengan konsumsi masyarakat Jepang 35 tahun lalu, dan saat ini konsumsi mereka hanya 60 kg/kapita/tahun. Menurut perhitungan matematis sederhana, jika mampu menurunkan angka konsumsi beras nasional menjadi 120 kg/kapita/tahun maka kita dapat menghemat tidak kurang dari 4 - 5 juta ton beras per tahun. Negeri ini sangat kaya varian bahan makanan sumber karbohidrat, seperti ubi jalar, jagung, singkong, ketela, hermada, kentang, pisang, sagu, dan umbi-umbian lainnya. Peluang terbuka bagi ahli kuliner dan teknologi pangan untuk dapat menyajikan sumber pangan alternatif tersebut sejajar dengan beras. Hingga kini tak satu pun hasil penelitian ilmiah yang menyatakan bahwa masyarakat yang makanan pokoknya beras, kualitas hidup mereka seperti tingkat kesehatan, kecerdasan, hingga tingkat pertumbuhan fisiknya lebih baik ketimbang masyarakat yang mengonsumsi tiwul, jagung, atau sagu. ● |
Post a Comment