Arah Politik BuruhRekson Silaban ; ILO Governing Body |
KOMPAS, 28 Maret 2014
MENGAPA buruh belum menjadi kekuatan penting politik di Tanah Air, padahal dari segi jumlah dan kemudahan mobilisasi sangat berpotensi sebagai kekuatan penekan? Jawabnya, karena kekuatan buruh masih terpencar dalam berbagai blok. Selain terpencar dalam berbagai organisasi buruh, pemimpin buruh juga terpencar dalam aliansi politik yang tidak terpola. Artinya, aliansi politik yang terjadi bukan karena ada korelasi perjuangan buruh dengan program politik partai, melainkan karena posisi politik pemimpin serikat dengan partai tersebut. Di pihak lain, akibat situasi di atas, partai politik sendiri tidak berusaha menggandeng serikat buruh karena minimnya kemungkinan bisa mendulang suara dari kekuatan yang terfragmentasi itu. Kegagalan beberapa pemimpin serikat buruh memasuki ”Senayan” sebagai anggota DPR dengan menggunakan label buruh mengonfirmasi premis di atas. Mengapa buruh menjauh dari politik? Jawaban klasik yang biasa dikemukakan adalah karena depolitisasi politik yang dibuat di masa Orde Baru. Tetapi, reformasi, kan, sudah berlangsung 15 tahun? Mayoritas anggota serikat buruh saat ini adalah generasi yang tidak ikut mengalami trauma politik yang dilakukan rezim Orde Baru. Mereka adalah generasi yang dibesarkan media sosial, relatif terbuka dengan ide baru, hidup dalam era kebebasan. Mereka berbeda dengan generasi sebelumnya. Dari pengamatan penulis, buruh tidak tertarik ke politik akibat rendahnya pemahaman buruh tentang apa korelasi pilihan politik dengan desain politik ketenagakerjaan. Pelatihan yang dilakukan serikat buruh lebih menitikberatkan pada hak-hak normatif; upah minimum, perjanjian kerja; jaminan sosial; tetapi kurang menelaah akar masalahnya. Misalnya, masalah yang kerap disuarakan saat demo buruh adalah penghapusan sistem kerja alih daya (outsourcing). Ini adalah tuntutan yang secara ideal bagus, tetapi tidak realistis. Sebab, tidak ada satu pun negara di dunia ini yang bebas dari praktik alih daya. Praktik itu telah menjadi kondisi yang diperlukan dalam pasar kerja global. Yang membedakannya hanyalah ada negara lebih liberal dari yang lainnya, dengan tidak melakukan pembatasan atas jenis pekerjaan yang bisa dialih daya. Ada juga negara yang memiliki pengawasan yang lebih kuat sehingga tidak sewenang-wenang melanggar UU, seperti buruknya penyimpangan hukum ketenagakerjaan di Indonesia. Gerakan buruh Indonesia umumnya kuat dalam mobilisasi penolakan, tetapi lemah di tahap pengajuan alternatif. Kalaupun ada alternatif hanya seputar besaran angka rupiah saat menuntut upah minimum. Padahal, yang paling diperlukan saat ini adalah apa pilihan sistem ketenagakerjaan Indonesia untuk mengurangi jumlah pekerja informal yang masih 64 persen; bagaimana menghentikan meluasnya praktik fleksibilitas kerja (buruh kontrak, alih daya, bekerja tanpa kontrak); apa sistem pengawasan yang sesuai dengan otonomi daerah; sistem pengupahan yang berkorelasi dengan produktivitas; sistem pendidikan, pelatihan yang sesuai dengan kebutuhan pasar kerja; dan model penguatan gerakan buruh, dan sebagainya. Tuntutan politik buruh 2014 Peran serikat buruh akan semakin penting seiring dengan makin meluasnya peran industrialisasi. Pendekatan Indonesia untuk buruh harus berubah dari pendekatan keamanan ke pendekatan ekonomi kesejahteraan. Selama ini departemen ketenagakerjaan selalu ditempatkan di bawah koordinasi menteri koordinator politik dan keamanan, bukan di bawah menteri koordinator ekonomi, keuangan, dan industri. Seolah situasinya masih dalam bingkai (politic setting) politik Orde Baru. Serikat buruh bukan lagi ancaman ideologis bangsa, melainkan sudah menjadi potensi besar ekonomi bangsa. Serikat buruh di mana pun tidak pernah berkeinginan merebut kekuasaan. Jadi, berhentilah memarjinalkan kaum buruh. Sebab, sangat memalukan sebagai negara yang tergabung dalam G-20, 75 persen angkatan kerjanya hanya berpendidikan SMP, 64 persen pekerja informal, hanya 10 persen yang berpendidikan perguruan tinggi. Sampai kapan pun buruh akan selamanya miskin, tidak produktif, bila akses ke pendidikan tetap mahal. Pemerintah, partai politik, mengetahui masalah ini. Namun, beberapa kali rezim berganti, data-data statistik tentang pendidikan, pekerja informal tidak banyak berubah. Apakah Pemilu 2014 menghasilkan kemungkinan perubahan? Itu bergantung pada kemauan pemimpin buruh. Gerakan buruh tidak boleh jadi peminta-minta atau berharap pemerintah akan memahaminya. Buruh harus menuntut, merumuskan keinginannya secara jelas, dengan mengusung keinginan buruh, bukan keinginan politik pribadi atau partai. Peluang mendesakkan tuntutan sangat terbuka dalam pemilu kali ini karena tidak bisa dimungkiri gerakan buruh yang berkembang dalam lima tahun terakhir telah menjadi elemen paling progresif dibandingkan elemen pergerakan lainnya. Buruh diuntungkan karena mudah diorganisasikan dan dimobilisasi, berada dalam ritme, irama, dan psikologi yang sama. Jadi, sudah saatnya gerakan buruh bergerak dari tuntutan normatif ke tuntutan politik. Urusan normatif bisa dikerjakan pemimpin tingkat perusahaan, pemimpin nasional memikirkan sistem ekonomi-politik yang baik untuk buruh dan Indonesia. Jumlah buruh Indonesia sebanyak 128 juta, pilihan politik buruh berpotensi memengaruhi politik Indonesia. Partisipasi politik yang buruk akan menghadirkan representasi politik yang buruk. Dalam banyak negara, buruh yang terorganisasi dalam serikat buruh memainkan peran penting dalam memperkuat stabilitas politik, mengurangi melebarnya rasio gini; meningkatkan legitimasi pemerintah kepada rakyat akibat program jaminan sosial; upah; meruntuhkan permusuhan religius dan etnis. Lihatlah negara yang memiliki tradisi serikat buruh kuat, seperti Jerman, Inggris, negara di Skandinavia, Jepang, Brasil, Australia, dan lainnya, selalu memiliki rasio gini ketimpangan kecil, demokrasi stabil, demo buruh pun jarang terjadi. Apalagi demo yang berkaitan dengan upah minimum. Tiga peristiwa krusial Ada tiga peristiwa krusial yang penting dimanfaatkan buruh pada tahun politik. Pertama, partai apakah yang sesuai untuk dipilih buruh? Tampaknya tidak ada partai yang benar-benar disukai buruh. Namun, sebagai petunjuk awal, buruh sebaiknya memilih partai yang memiliki program untuk ketenagakerjaan. Kalau ada pemimpin buruh yang menjadi caleg partai tapi tidak memiliki struktur yang mengurusi buruh, maka akan sulit mengharapkan calon tersebut optimal mendukung perjuangan buruh. Titik krusial kedua adalah pemilihan presiden. Calon-calon presiden yang saat ini kampanye tidak satu pun yang berlatar belakang aktivis buruh, semuanya berlatar belakang pengusaha. Untuk kasus ini, buruh bisa memilih calon presiden yang memiliki perspektif ekonomi ketenagakerjaan makro, tidak penggemar kebijakan privatisasi, yang mempromosikan kedaulatan ekonomi, tidak memiliki catatan buruk atas pelanggaran hak buruh, yang mengutamakan perundingan ketimbang menjalankan pendekatan keamanan untuk mengamankan buruh. Yang terakhir adalah posisi menteri tenaga kerja baru. Sebaiknya kali ini harus seorang yang sungguh-sungguh memahami dunia ketenagakerjaan, dan memiliki semangat mempromosikan dialog sosial (bipartit, tripartit). Bukan jatah sebagai partai koalisi. Posisi ini menjadi sangat penting karena bisa dipastikan presiden mendatang tidak memahami berbagai kerumitan ketenagakerjaan yang saat ini makin rumit. Implikasi globalisasi terhadap pasar kerja, pasar bersama ASEAN 2015, masalah migrasi global, jaminan pensiun, strategi formalisasi pekerja informal adalah hal-hal yang memerlukan kompetensi tinggi yang perlu dimiliki menteri tersebut. Semoga elite buruh memanfaatkan tahun demokrasi ini untuk mempercepat pencapaian hidup layak. ● |
Post a Comment