Kontroversi Indeks Korupsi

Kontroversi Indeks Korupsi

Ahmad Khoirul Umam ;   Kandidat Doktor Ilmu Politik di School of Political Science & International Studies, The University of Queensland, Australia;
Peneliti Senior di Paramadina Public Policy Institute (PPPI), Jakarta
MEDIA INDONESIA,  27 Maret 2014
                                      
                                                                                         
                                                      
MENJELANG Pemilu Legislatif 2014 ini, muncul sejumlah data tentang indeks partai korupsi yang dirilis sejumlah lembaga riset dan media nasional. Data yang diolah berdasarkan variasi dan jumlah kasus-kasus yang ditangani KPK itu menempatkan sejumlah partai politik lengkap dengan jumlah politisi yang tertangkap dan persentase tingkat korupsi partai. Dijelaskan, Golkar dan PDIP disebut sebagai partai terkorup, menyusul Partai Demokrat, PAN, PPP, PKB, Hanura, Gerindra, hingga PKS yang diposisikan sebagai partai dengan tingkat korupsi paling rendah. Indeks korupsi partai yang metodologinya patut diperdebatkan itu belakangan dimanfaatkan sebagian partisan, khususnya yang partainya ditempatkan dalam posisi rendah tingkat korupsinya, untuk mencari legitimasi moral-politik sekaligus mencuci dosa-dosa masa lalu mereka terkait dengan tindak pidana korupsi.

Sehubungan dengan itu, ada beberapa catatan kritis yang bisa diajukan untuk menguji rasionalitas data tersebut. Sudah awam dipahami bahwa dalam penelitian ilmu sosial-politik, data-data kuantitatif tidak selalu bisa menjelaskan realitas sosial sesungguhnya yang bersifat kualitatif (Kumar, 2005; Descombe, 2003). Karena itu, keinginan masyarakat untuk percaya terhadap data kuantitatif terkait indeks partai korupsi itu hendaknya ditahan terlebih dahulu sebelum memahami betul konteks persoalan yang sesungguhnya.

Dalam pemberantasan korupsi, KPK punya pilihan strategi untuk menarget uang besar (big money) ataukah nama besar (big name). Jadi, angka kuantitatif itu tidak dapat menjelaskan kualitas hasil tangkapan KPK. Meskipun persentase koruptor suatu partai lebih besar, yang ditangkap dari partai itu ialah aktor kecil, hanya level anggota fraksi atau pengurus partai. Maka, hal itu tidak kalah memalukan ketimbang partai yang persentasenya kecil, tapi yang tertangkap ialah pimpinan partai laiknya sekjen, bendahara, lebihlebih presiden, atau ketua umum partai.

Sejak awal, mengingat keterbatasan sumber daya, strategi KPK menempatkan keberhasilan pemberantasan korupsi tidak diukur dari jumlah kasus yang berhasil diinvestigasi, tapi lebih pada target `nama-nama besar' atau `uang besar' untuk menghadirkan efek jera pada sindikat korupsi. Karena itu, sangat memprihatinkan melihat banyak politikus serta partisan partai yang masih bisa `berbangga hati' karena jumlah kasus korupsi di partai mereka sedikit, sementara yang disasar oleh mesin antikorupsi ialah pimpinan partai selaku simbol perjuangan moral partai.

Kelemahan lain data kuantitatif itu ialah, angka dan indeks itu tidak dapat menjelaskan `daya rusak' perilaku korupsi politisi terhadap struktur perekonomian negara dan masyarakat grassroots, meski indeks atau persentase jumlah koruptornya kecil sekalipun.

Untuk diketahui bersama, KPK jilid III sekarang ini memasang strategi prioritas sektor untuk mengefektifkan pemberantasan korupsi. Pertama, pendapatan negara khususnya pajak selaku penyuplai 70%-an APBN atau sekitar Rp1.200 triliun di 2013, misalnya.

Kedua, sektor pertambangan mineral dan batu bara (minerba) yang notabene penyuplai 20%-an APBN yang selama ini lebih banyak dikuasai perusahaan asing sekaligus menjadi langganan `sapi perah partai', apa pun jenis partai, lintas ideologi, paham keagamaan, dan identitas etnoprimordialnya.

Ketiga, sektor pangan, yakni wilayah yang menentukan hajat hidup orang banyak karena 80% penduduk Indonesia ialah masyarakat perdesaan, dan 77% dari jumlah 80% tadi didominasi oleh profesi petani, peternak, dan nelayan miskin. Terkait dengan itu, ketika sejumlah politikus dan juru kampanye saat ini menjual informasi dengan membangga-banggakan partai mereka sebagai partai yang rendah indeks korupsinya, tapi pada saat yang sama perilaku korupsinya menyasar ketiga sektor utama itu, maka sudah selayaknya kartu ku ning hingga merah diberikan kepada mereka agar tidak menyesatkan masyarakat.

Terlebih lagi korupsi dalam sektor pangan. Dalam konteks ini, korupsi sektor pangan benar-benar membuat mata batin masyarakat menjadi miris melihat karena partai-partai politik, yang konon nasionalis dan berkomitmen pada agama sekalipun, tega menggadaikan nasib petani, peternak, serta nelayan miskin di daerah-daerah. Merasa APBN sudah tidak lagi aman untuk dipermainkan karena adanya pengawasan banyak pihak termasuk KPK, maka mencari untung di sektor perdagangan impor terkait komoditas pangan menjadi sangat menjanjikan.

Dalam konteks korupsi daging sapi, misalnya, sumber internal KPK menyebutkan peternak sapi dan kerbau dari Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Nusa Tenggara Timur (NTT) saja sebenarnya mampu meng over kebutuhan daging di Jakarta selaku wilayah dengan permintaan tertinggi. Tapi selama ini mereka tidak bisa masuk ke pasar Jakarta karena dihadang oleh sistem yang dimainkan oleh mafia daging, yang terdiri atas pajabat negara, politisi, dan pengusaha yang berkelindan menyusun kekuatan oligarki yang korup.

Masyarakat tentu masih ingat betul bagaimana rekaman di pengadilan tipikor menyatakan ada politisi atau pejabat negara yang bernegosiasi menaikkan harga daging impor dengan selisih Rp5.000 untuk mendapatkan margin keuntungan miliaran rupiah bagi dirinya dan partainya.

Perilaku yang tidak sesuai dengan prinsip kemaslahatan umat tersebut dilakukan dengan sadar sehingga menandakan ada yang rusak dengan pola pikir para politikus yang mengaku religius dan nasionalis itu. Sebagai pengemban amanah rakyat, mereka tidak berpikir visioner terhadap nasib petani dan peternak lokal, sekaligus dampak perilaku korup mereka terhadap kekuatan pasar lokal, menghancurkan daya beli produk dalam negeri dan lainnya. Perilaku politik dan kebijakan semacam itu tak ubahnya merupakan perilaku `negarawan gadungan' yang amat `menjijikkan'.
Alih-alih merasa malu dan meminta maaf kepada umat, tidak sedikit di antara mereka justru bangga karena merasa dizalimi oleh KPK.

Selain itu, jumlah aktor kasus dalam indeks korupsi partai yang beredar di masyarakat itu juga tidak bisa menjelaskan tentang realitas strategi korupsi yang dilakukan partai-partai politik.

Untuk mengamankan nama partainya, sering kali koruptor kakap menciptakan `sel-sel korupsi', yakni orang-orang luar yang menjadi bagian dari sindikat korupsi, tapi sengaja tidak dimasukkan struktur kepengurusan partai. `sel-sel korupsi' itu akan siap dipotong langsung dari interaksinya dengan partai ketika penegak hukum menarget mereka. Kasus orang-orang di perusahaan Permai Group dalam kasus Hambalang, atau Fathanah dalam kasus sapi impor, merupakan contoh konkretnya.

Padahal, jelas-jelas uang hasil korupsi mereka itu sedikit banyak dikontribusikan ke dalam kas dan dana operasional partai mereka, tapi begitu tertangkap mereka langsung mengaku bukan bagian dari partai tersebut. `Sel-sel korupsi' juga sering kali melibatkan perempuanperempuan tak berdosa yang dijadikan istri sah ataupun simpanan untuk melakukan pencucian uang atas perilaku korup mereka.

Karena itu, jika sekarang ada pihak yang berusaha berbangga hati karena kasus korupsi di partainya tidak banyak melibatkan politisi, melainkan hanya `oknum' di sekitar lingkaran partai serta para istri cabang A, istri cabang B, maka ini bisa jadi tanda-tanda ada yang salah dengan ranah kesadaran masyarakat kita terhadap bahaya korupsi.

Informasi dan materi kampanye semacam itu hendaknya dapat dicerna secara cerdas oleh masyarakat. Tidak sedikit politisi dan simpatisan partai yang saat ini berusaha memanfaatkan kondisi sebagian masyarakat politik kita yang masih bersifat `melodramatik' (Rinakit, 2008), yakni masyarakat yang dicirikan oleh sikap mudah lupa, gampang memaafkan, mudah merasa kasihan termasuk kepada koruptor sekalipun.

Kondisi itu merupakan `peluang emas' bagi para politikus sekaligus para partisan mereka untuk memanfaatkan karakter pemilih yang melodramatik sebagai sasaran propaganda politik mereka. Kondisi ini menjadi tugas kita bersama, yakni untuk memberikan pendidikan politik kepada mereka agar dapat mencerna setiap manuver dan topeng-topeng politik yang menipu, tentu secara arif, cerdas, dan terukur.
Indeks Prestasi

Post a Comment