BPJS Ketenagakerjaan dan Sektor InformalRazali Ritonga ; Direktur Statistik Kependudukan dan Ketenagakerjaan BPS RI |
MEDIA INDONESIA, 15 Maret 2014
SETIAP kali buruh berdemonstrasi menuntut penaikan upah minimum dan perbaikan nasib, ada sekelompok pekerja yang hanya menjadi penonton karena tidak mungkin melakukan hal yang sama. Mereka itu ialah kelompok pekerja informal. Bekerja di sektor informal memang harus siap menerima risiko absennya sejumlah aspek perlindungan sosial, seperti upah minimum, uang pesangon, cuti, upah lembur, jaminan kecelakaan, kematian, hari tua, dan pensiun. Sebaliknya, pekerja di sektor formal dapat menegosiasi upah minimum, cuti, dan upah lembur dari perusahaan tempat mereka bekerja, serta memperoleh sejumlah jaminan sosial sebagai keanggotaan Jamsostek. Secara faktual, rendahnya aspek perlindungan sosial pekerja di sektor informal menyebabkan mereka hidup dalam ketidakpastian. Kegiatan sektor itu umumnya cenderung tidak stabil dan pekerjanya rentan terperangkap dalam pengangguran dan kemiskinan. Sektor formal terdistorsi Celakanya, hadirnya pekerja sektor informal tidak bisa dihindari karena hal itu berkaitan dengan kinerja ekonomi yang belum mampu menciptakan kesempatan kerja formal secara memadai. Secara faktual, hanya sepertiga penduduk yang bekerja di sektor formal. Sisanya (sekitar 62,7%) penduduk bekerja di sektor informal (BPS, 2012). Di pihak lain, rendahnya kualitas angkatan kerja cukup menyulitkan pemerintah untuk menciptakan peluang bekerja di sektor formal guna memenuhi permintaan pasar tenaga kerja. Lebih dari setengah angkatan kerja kita hanya berpendidikan sekolah dasar ke bawah. Bahkan, keberadaan sektor tersebut diperkirakan terus tumbuh seiring dengan kian mengglobalnya sistem ekonomi. Dengan globalisasi, meski suatu usaha diuntungkan akibat berkurangnya regulasi, usahanya dituntut melakukan efisiensi agar berdaya saing guna memenangi pasar global. Untuk mewujudkan eļ¬siensi dimaksud, perusahaan umumnya tidak menjalankan usaha secara mandiri karena harus menanggung biaya perlindungan sosial. Semakin besar usaha yang dijalankan akan menanggung biaya yang kian besar karena semakin banyak tenaga kerja yang dipekerjakan. Bahkan, untuk pengembangan usaha secara mandiri, semakin besar risiko yang harus dihadapi. UNDP (2002) menyebutkan sejumlah faktor yang berpotensi mendistorsi dalam membuka kesempatan usaha formal, yaitu regulasi, administrasi, waktu memulai usaha, biaya, sosial budaya, korupsi, dan aspek kriminal. Maka, untuk menyiasatinya, banyak perusahaan terutama berskala multinasional menggandeng sektor informal dalam menjalankan usaha. Perusahaan multinasional itu tidak perlu menghadapi berbagai macam risiko dan biaya perlindungan sosial bagi pekerja sektor informal yang digandengnya. Secara faktual, fenomena itu akan mendistorsi perkembangan sektor formal dan kian menyuburkan sektor informal. Dampaknya, kesejahteraan pekerja sektor informal sulit untuk ditingkatkan sehingga hal ini tidak sejalan dengan keinginan pemerintah untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi yang berpihak pada penurunan jumlah penduduk miskin. BPJS ketenagakerjaan Celakanya, kehadiran arus globalisasi di Tanah Air tidak bisa dihentikan karena hal itu akan menyebabkan Indonesia tersisih dari konektivitas ekonomi global. Maka, salah satu upaya yang dapat dilakukan ialah mengantisipasi dampak negatif yang ditimbulkan dari arus globalisasi dengan meningkatkan kesejahteraan pekerja sektor informal. Namun, mengupayakan aspek perlindungan sosial berkaitan dengan pendapatan, seperti upah minimum dan uang pesangon, tampaknya sulit dilakukan karena karakter usaha sektor informal memang belum memungkinkan untuk melakukan hal seperti itu. Hal yang masih mungkin dilakukan ialah mengupayakan aspek pelindungan berupa jaminan kematian, kecelakaan kerja, hari tua, dan pensiun. Diketahui, kematian, kecelakaan kerja, usia tua, dan pensiun yang dialami pekerja sektor informal akan berakibat fatal terhadap kesejahteraan pekerja dan keluarganya. Atas dasar itu, hadirnya Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) ketenagakerjaan diharapkan dapat menjadi solusi untuk meningkatkan kesejahteraan pekerja sektor informal dan keluarganya. Peningkatan kesejahteraan pekerja di sektor itu sangat dimungkinkan karena BPJS ketenagakerjaan memuat program jaminan kecelakaan kerja, kematian, hari tua, dan pensiun. Hadirnya BPJS ketenagakerjaan, pada tahap lanjut, diharapkan dapat memenuhi rasa keadilan bagi pekerja sektor informal yang selama ini terabaikan sehingga menyebabkan kesenjangan kesejahteraan yang kian melebar antara sektor formal dan sektor informal. Boleh jadi, terabaikannya sektor informal merupakan salah satu faktor penyebab melebarnya kesenjangan pendapatan di Tanah Air. Diketahui, angka rasio Gini sebagai ukuran kesenjangan menunjukkan kecenderungan meningkat, yakni dari 0,35 pada Maret 2008 menjadi 0,41 pada Maret 2012 (BPS, 2012). Lebih jauh, tersedianya jaminan hari tua dan pensiun dalam BPJS ketenagakerjaan diharapkan dapat memberikan peluang bekerja bagi penduduk usia muda. Dengan jaminan itu, penduduk yang sudah pensiun tidak perlu terus bekerja dan pekerjaan yang ditinggalkan dapat diisi generasi yang lebih muda. Hal itu sekaligus sebagai salah satu solusi untuk mengantisipasi kian meningkatnya pencari kerja akibat meningkatnya jumlah penduduk usia produktif sebagai dampak kehadiran bonus demografi. Maka, pemerintah sangat diharapkan dapat melaksanakan BPJS ketenagakerjaan pada Juli mendatang sesuai dengan yang diharapkan. Belajar dari penerapan BPJS kesehatan pada 1 Januari 2014, pemerintah sepatutnya dapat menyempurnakan penyelenggaraan BPJS ketenagakerjaan, seperti target keanggotaan, tata cara mendaftarkan diri, besarnya iuran, dan cara mengklaim jaminan. Semoga ingar-bingar persiapan Pemilu 2014 tidak menyurutkan pemerintah untuk menyelenggarakan BPJS ketenagakerjaan secara baik. ● |
Post a Comment