Lucu Itu Kontra Logika

Lucu Itu Kontra Logika

 Sarlito Wirawan Sarwono  ;   Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
KORAN SINDO, 16 Maret 2014
                                                                                                                 
                                                                                         
                                                                                                             
Setiap orang yang hobi nonton infotainment pasti masih ingat beberapa bulan (atau tahun?) yang lalu seorang artis penyanyi pop yang supercantik (menurut saya) dan single mother, putus dari pacarnya, selebritas cowok yang handsome, yang beberapa tahun lebih muda darinya.

Si handsome ini, yang setiap pagi tampil dalam acara hura-hura di salah satu stasiun TV, setiap manggung selalu jadi bulan-bulanan ejekan dari lawan mainnya dan isu yang diangkatnya selalu tentang hubungan antara si handsome dan si artis. Ejekan-ejekan itu membuat penonton tertawa terpingkal-pingkal dan si handsome pun tidak marah, bahkan justru menimpali pancingan lawan main itu, yang membuat penonton makin terbahak. Tetapi si artis, pacar si handsome, yang menonton di rumah, tidak senang.

Dia merasa dilecehkan dan dia coba peringatkan si handsome supaya tidak melanjutkan kebiasaan saling mengejek di panggung itu, tetapi si handsome tampaknya tidak punya cara lain untuk melucu kecuali saling meledek dengan lawan mainnya itu (yang malah sudah pernah mendapat peringatan dari KPI/Komisi Penyiaran Indonesia). Alasannya tentu kejar rating. Akhirnya si artis memutuskan untuk putus dari si handsome. Rencana program bersama (artis dan handsome) yang sudah sempat sekali tayang terhenti begitu saja dan tidak berlanjut.

Lain dengan ketika Srimulat masih berjaya. Saya lumayan sering nonton sandiwara lawak itu. Baik ketika mereka masih di Surabaya maupun ketika mereka sudah pindah ke Taman Ria Remaja di Senayan, Jakarta, dan tentunya paling sering nonton mereka di televisi. Salah satu adegan yang saya dapat di YouTube adalah dialog antara Timbul dan istrinya, Rina (yang cantik, berkain kebaya). Rina mengeluh kepada Timbul karena setiap hari dia didatangi orang-orang yang menagih utang pada Timbul.

”Saya malu, Mas, saya malu!” ujar Rina. ”Loh, saya utang kok kamu yang malu?” balas Timbul. ”Iya, kan malu, saya kan istrimu.” ”Sekarang saya mau tanya, ini bajumu dapat dari siapa?” ”Ya, dari Mas Timbul, to... kamu kan suamiku.” ”Kalungmu ini dari siapa?” ”Yaa, dari Mas Timbul.” ”Makanya, kamu minta kalung saya belikan, kamu jual! Kamu minta gelang, saya belikan, kamu jual! Kamu minta mobil, belum saya belikan, kamu jual!” Penonton tergelak. Mana mungkin, mobil belum dibelikan, kok dijual? Tetapi, di sini lucunya karena yang tidak mungkin, tetapi dinyatakan dengan penuh keyakinan! Yang terjadi adalah kontra logika. Tetapi kontra logika inilah yang justru lucu. Contoh kontra logika yang lain adalah ketika Timbul bertanya pada Rina. ”Saya yang utang, kok kamu yang malu?” Seakan-akan tidak ada hubungannya antara utang dan status suami-istri.

Adegan lain yang saya tonton di YouTube adalah Jayakarta Group yang bermain di salah satu acara TVRI. Waktu itu Prapto sedang mewawancarai Tjahjono (baca: Cahyono), Uuk, dan Jojon. ”Siapa yang bisa menjawab pertanyaan, boleh kerja sama saya,” kata Prapto. ”OK, Tjahjono duluan” ”Oke,” ucap Tjahjono. ”Siapa nama Presiden Amerika?” tanya Prapto.

”Presiden Ronald Reagan,” jawab Tjahjono. ”Bagus. Sekarang kamu Uuk. Siapa nama Presiden Libya,” tanya Prapto lagi. ”Muamar Kadhafi,” jawab Uuk. ”Sekarang kamu, Jon,” kata Prapto. ”Oke, mau tanya apa?” tantang Jojon sambil petantang-petenteng. ”Siapa nama kakek Idi Amin?” Jojon pun mati gaya. Siapa pula yang tahu nama kakek presiden Uganda yang konon suka makan orang itu? Penonton tergelak lagi. Padahal hampir tidak ada pandangan mata yang lucu. Tidak ada orang terjatuh-jatuh, baku pukul, apalagi baku hina di panggung.

Jojon bahkan belum memakai celana ngatung dan bretelnya ketika itu. Ia masih berkemeja tangan panjang dan bercelana panjang biasa saja walaupun sudah memakai kumis Charlie Chaplin (atau kumis Hitler, ya?), yang ada hanya pembolak-balikan kata-kata sehingga mengacaukan logika. Bahkan pakaian Jojon yang unik itu pun mengandung kontra logika (kumis Hitler kontra celana ngatung diatas perut dan bretel). Pada zaman saya masih sekolah dulu ada film Amerika yang menampilkan pelawak Jerry Lewis (suaranya cempreng seperti anak kecil) yang didampingi penyanyi handsome Dean Martin, yang sama sekali tidak lucu.

Tetapi, film-film mereka ketika itu selalu top karena dialog-dialog antara kedua orang itu selalu mengundang tawa, juga karena mereka pandai memainkan logika dan kontra logika. Untuk bisa memainkan logika sehingga menjadi kontra logika diperlukan otak yang cerdas dan kreatif sekaligus. Juga diperlukan intuisi yang tajam sehingga bisa cepat merespons kalimat-kalimat pancingan yang dikeluarkan lawan main. Tidak seperti sekarang, panggung-panggung lawak diisi pelawak-pelawak slapstick yang lebih banyak mengandalkan gerak ketimbang bicara.

Kadang-kadang bahkan wajah cantik atau ganteng, padahal ngomong saja tidak lancar, dipajang juga, sehingga umpan-umpan yang dilontarkan kawan-kawan mainnya tidak mampu dibalasnya. Akhirnya si cantik dan si ganteng itu hanya jadi patung-patung penghias panggung, sementara penonton menertawakan para pelawak yang jungkir balik di panggung sambil saling mengejek. Itulah bedanya lawak zaman sekarang dengan lawak zaman Jojon, Asmuni, Bambang Gentolet, Kadir, Prapto, Bing Slamet, dan kawan-kawannya.

Pelawak zaman dulu dengan kecerdasannya membuat orang tergelitik logikanya sehingga tertawa, pelawak sekarang cukup membuat adegan-adegan saling menertawakan di panggung, dan penonton pun ikut menertawakan. Menertawakan tidak sama dengan tertawa, tetapi pelawak zaman sekarang yang mahir mengajak penonton untuk menertawakan orang lain, mendapat honor yang jauh lebih besar (mampu membeli mobil mewah) daripada pelawak zaman dulu yang justru pandai membuat orang tertawa. Sayang banyak pelawak zaman dulu yang sekarang sudah tiada, termasuk yang beberapa hari yang lalu sudah lebih dulu meninggalkan kita: Jojon. Inna lillahi wa inna illaihi rajiun.
Indeks Prestasi

Post a Comment