Dawkins dan Evolusi Kebudayaan

Dawkins dan Evolusi Kebudayaan

Eko Wijayanto  ;   Dosen Filsafat Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat
KOMPAS, 29 Maret 2014
                                      
                                                                                         
                                                             
Nama Richard Dawkins mungkin tidak sepopuler Charles Darwin, sang Bapak Evolusi, padahal karyanya juga luar biasa. Sebagai seorang ahli biologi evolusi terkemuka dunia, bukunya yang terkenal adalah The Selfish Gene (1976).

Richard Dawkins genap berusia 73 tahun pekan ini. Ia lahir di Nairobi, Kenya, 26 Maret 1941. Pemikirannya sangat luas bahkan menjangkau keluar biologi, seperti salah satu bukunya yang best seller, The God Delusion (2006). Buku terbarunya adalah An Appetite for Wonder: The Making of Scientist (2013).

Salah satu pemikirannya adalah evolusi kebudayaan. Dalam hal ini, Richard Dawkins menggunakan kata ”meme” untuk menggambarkan rangkaian-rangkaian transmisi budaya. Meme berasal dari kata mimesis, bahasa Yunani, yang berarti imitasi.
Meme adalah bagian dari perangkat lunak (software) atau semacam ide budaya yang membangun instrumen pemahaman dalam diri manusia. Meme menyebar melalui observasi dan pembelajaran sosial (social learning), baik secara langsung maupun melalui media komunikasi yang hadir dalam masyarakat.

Setiap individu berbagi banyak hal, sekaligus menginternalisasi dan mengasimilasikan nilai-nilai yang dikomunikasikan. Keahlian, kepercayaan, sikap, bahkan nilai, adalah bagian dari ide kebudayaan.

JS Balkin, dalam bukunya yang berjudul Cultural Software (1983), menjelaskan, budaya adalah sebuah sistem yang mewaris: kita mewarisi ide dari orang-orang di sekitar kita, dan menyalurkan kembali kepada siapa kita berkomunikasi.

Bagian dari kita

Kita membutuhkan meme dalam proses memahami, tetapi meme juga sebenarnya menggunakan kita karena meme ada dalam tubuh kita.

Richard Dawkins menjelaskan, ada banyak sekali jenis meme, cukup banyak untuk menjadi aplikasi utama dari setiap hal yang bisa ditransmisikan secara budaya karena memang sifat meme adalah replikatif, mereka tidak hanya mengadopsi, tetapi juga seakan membagi diri dan teradopsi oleh subyek lain.

Menurut Richard Dawkins, kemampuan kita dalam mengasimilasikan ide budaya baru ke dalam diri kita cenderung melibatkan kemampuan kita sendiri.
Dari penjelasan ini dapat kita pahami bahwa meme tidak cukup untuk mengadopsi ide itu sendiri.

Kita harus bisa berbahasa, kita harus paham matematika dan seterusnya. Dengan adanya pengetahuan dasar tersebut, meme mampu mempersiapkan penyerapan meme lain yang bersinggungan dengan kita dan menyusunnya menjadi jejaring ide budaya.

Richard Dawkins juga memunculkan perdebatan kecil mengenai pembedaan transmisi genetik dan transmisi budaya.

Menurut Balkin, secara mendasar genetik hanya bisa ditransmisikan ke dalam keturunan biologis, tetapi transmisi budaya lebih luas karena setiap subyek yang berhubungan bisa mendapatkan cipratan replikasi mimetik.

Dalam konteks ini, filsuf Daniel Dennet menyatakan, keduanya adalah sama, yang ia analogikan melalui musik dan tangga nadanya.

Tidak seperti gen yang memiliki transmisi pembentuk susunan sempurna, dalam transmisi budaya subyek yang tertransmisikan berhadapan dengan pra-pemahaman mengenai obyek yang ia kenal, ada distorsi ataupun perombakan kembali pemahaman.

Misal saat orang-orang tertentu mendengarkan frase musikal F#-E-D dan memahaminya sebagai bentuk representasi lagu ”Three Blind Mice”, lalu mendengarkan Tchaikovsky; ”Pathetique Symphony”, maka bagi orang-orang tersebut ”Pathetique Symphony” hanyalah bentuk lamban dari ”Three Blind Mice”.

Replikatif

Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, meme adalah entitas yang replikatif, tetapi lingkungannya ada di dalam pikiran yang nantinya ditransmisikan dan teradopsi oleh manusia. Seperti hidup, meme juga berkompetisi satu sama lain dalam lingkungannya sendiri.

Tidak ada manusia yang memiliki meme identik. setiap manusia adalah unik dalam perangkat kebudayaan, ide kebudayaan, dan ini menjelaskan bahwa tindak replikatif ini tidak sedangkal imitasi langsung, melainkan ada pengaruh dan modifikasi unit-unit meme tersebut.

Richard Dawkins menjelaskan bahwa kita, manusia, memiliki dasar alamiah, terwariskan, dalam memandang suatu kebudayaan karena dalam lingkungan sosial memang ada kesamaan mendasar.

Namun, kecenderungan tetap ada karena meme yang membangun kita memiliki susunan yang berbeda-beda satu sama lain.

Kecenderungan itulah yang nantinya akan menciptakan tindak perubahan pemahaman budaya yang tadinya merupakan budaya primer, dan memodifikasi unit-unit meme dalam manusia.

Seperti yang dijelaskan sebelumnya, meme sangat unik karena setiap manusia tidak akan memiliki kembar identik perihal meme. Ada beberapa faktor yang memengaruhi variasi dan keunikan dalam meme.

Pertama, pikiran manusia menggabungkan dan menyesuaikan meme yang ia terima ke dalam susunan meme yang telah ada.

Ada suatu tindakan kompromi dalam pikiran manusia yang mana tujuannya tak lain adalah membentuk pemahaman koheren antara meme yang ada dengan yang baru, sama seperti bagaimana orang memahami suatu pemikiran ketika ia mencoba mencocokkan dan memodifikasinya dengan pra-pemahaman yang ada.

Yang paling menarik dari sistem ini adalah orang-orang bahkan mampu menciptakan meme baru saat mereka melakukan kesalahan.

Kedua, setiap individu kreatif. mereka memodifikasi skills, menggabungkan informasi, menggambar inferensi, dan mengabstraksikan konvensi. Pada dasarnya, mereka melakukan ini dengan menggunakan ide budaya dalam dirinya.

Dengan adanya kedua faktor di atas, dapat dipastikan bahwa saat meme bersinggungan dengan manusia, mereka bertransformasi, termodifikasi, terasimilasi, atau lebih sederhananya berevolusi dalam kebudayaan.
Indeks Prestasi

Post a Comment