Geng Remaja

Geng Remaja

Kristi Poerwandari ;   Kolumnis “Konsultasi Psikologi” Kompas
KOMPAS, 30 Maret 2014
                                      
                                                                                         
                                                             
Berita-berita terkini menyadarkan kita bahwa di masyarakat perkotaan banyak pelanggaran hukum dan kekerasan dilakukan oleh remaja secara berkelompok atau setidaknya tidak sendiri. ”Bullying” dengan kekerasan serius terjadi pada cukup banyak sekolah.

Berita terkini adalah dua remaja lelaki dan perempuan yang menganiaya secara kejam seorang gadis mantan pacar, AS (19) hingga hilang nyawa. Ada pula MN (16) tewas dikeroyok delapan remaja ketika sedang bersama pacar dan seorang temannya.

Saya belum berhasil menemukan penelitian di Indonesia, tetapi ada penelitian di negara lain yang mungkin dapat memberikan pembelajaran bagi kita. Alleyne dan Wood (2010) meneliti remaja, 12-18 tahun, di lima sekolah di kota London untuk memahami psikologi remaja dalam geng. Dari hampir 800 siswa remaja yang mengembalikan kuesioner, ada 59 yang mengaku menjadi anggota geng (sekitar 7 persen), 75 remaja yang tidak mengidentifikasi diri menjadi anggota geng, tetapi berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan melanggar hukum yang dilakukan kelompok (9 persen), dan sisanya (84 persen) tidak masuk dalam geng.

Penelitian menunjukkan bahwa usia 12-18 tahun adalah usia paling berisiko bagi remaja untuk masuk geng. Keyakinan diri yang rendah merentankan remaja masuk dalam kelompok karena ia memerlukan rasa bangga dan ”status sebagai anggota” untuk meningkatkan harga dirinya. Remaja demikian, terlebih jika lingkungan terdekatnya (keluarga dan sekolah) tidak mengajarkan perilaku prososial (kepedulian dan berbuat baik), akan rentan melakukan berbagai tindak melanggar aturan karena tekanan kelompok. Begitu sudah masuk geng, remaja sulit untuk keluar, kecuali jika ia memiliki keberanian cukup besar untuk melakukannya.

Perlu mendapat perhatian dari pengambil kebijakan dan pihak-pihak yang bertanggung jawab untuk melakukan prevensi dan intervensi: anggota geng yang melanggar aturan bertindak kriminal berupaya membenarkan tindakannya dengan menetralisasi konsekuensi negatif dari tindakannya (”Ambil barang di supermarket apa artinya, itu kan milik orang kaya”, ”Remaja di-bully itu biasa”, atau ”Apa salahnya maksa main seks, dia kan sudah tidak perawan”). Mereka bahkan tidak merasa bersalah akan perbuatannya.

Menetralkan rasa salah

Bagaimanapun, kita menduga bahwa remaja awalnya menghayati konflik moral terkait tindakannya. Penelitian klasik dari Sykes dan Matza (1957) menjelaskan bahwa disonansi (ketidaknyamanan) yang muncul akibat rasa salah dan malu melakukan tindakan menyakitkan terhadap orang lain dapat dinetralisasi lewat berbagai cara. Temuan mereka dielaborasi oleh Bandura (2002) yang mengembangkan konsep moral disengagement atau proses bernalar untuk memindahkan tindakan tidak manusiawi menjadi tindakan yang dianggap ”benar” atau setidaknya ”boleh” dilakukan, melalui rasionalisasi dan pembenaran-pembenaran.

Ada beberapa mekanisme ketika individu dapat secara sengaja menjauhkan diri dari kebenaran moral internal. Yakni, menginterpretasi kembali menggunakan pembenaran (”Yah, ini kan untuk menolong teman”), menggunakan bahasa eufemistik (mencuri atau menganiaya disebut ”menjalankan tugas”), membandingkan (”Ini, sih, ringan dibanding yang dilakukan geng lain”). Bisa juga dilakukan pemindahan tanggung jawab (”Guru tidak menegur, tuh”), menyamarkan tanggung jawab dan rasa bersalah dengan banyaknya orang yang terlibat, dan mendistorsi konsekuensi (tidak memedulikan, meminimalkan luka atau dampak yang diderita orang lain).

Kejahatan juga dapat ”dibenarkan” dengan menganggap pihak yang dilukai sebagai ”bukan manusia yang setara” atau dengan menyalahkan mereka sebagai penyebab persoalannya sendiri (”Itu cuma gelandangan”, atau ”Perempuan keluar malam, pasti bukan perempuan baik-baik”). Penelitian menunjukkan bahwa remaja akan dapat mengubah penilaian moralnya jika dengan cara itu mereka dapat diterima oleh kelompok.

Memang masa remaja adalah masa yang penuh dengan pergolakan dan cukup banyak individu yang di masa remajanya melakukan berbagai tindak kenakalan melampaui batas, tidak lagi melakukan tindakan yang sama di usia dewasanya. Tetap, kita perlu memberikan perhatian besar untuk prevensi dan intervensi, mengingat kasus-kasus yang diberitakan di media hanyalah sebagian dari kasus-kasus yang terjadi sesungguhnya di berbagai belahan masyarakat kita.

Kita menemukan variasi remaja yang menjelaskan tindakannya sebagai ”sekadar iseng”, ada yang merasa perlu mendapatkan kembali uang yang harusnya dibayarkan sebagai uang sekolah, tetapi telanjur diambil pacarnya sehingga dua orang yang pacaran ini merancang penganiayaan untuk merampas motor teman yang lain. Ada pula yang ditekan oleh kelompok dan tidak berani menunjukkan sikap sampai membiarkan diri ikut terlibat dalam pembunuhan. Yang lain dikuasai kemarahan dan cemburu lalu menjadikan obyek kecemburuannya sebagai barang mainan sampai tewas.

Teori secanggih apa pun dapat kita gunakan, dengan perspektif yang berbeda-beda. Namun jika sebagian besar kita membayangkan bahkan untuk menganiaya dan membunuh kucing pun kita tidak mampu, akan tetap muncul pertanyaan: mengapa? Mengapa sampai remaja mampu berpikir, merancang, dan melakukan tindakan-tindakan jahat dan kejam terhadap sesamanya? Sudah sedemikian tidak aman dan tidak menyediakan arahkah keluarga dan sekolah sebagai lingkungan terdekat dari remaja? Sudah terlalu burukkah contoh dan pembelajaran yang diberikan oleh para tokoh otoritas? Sudah terlalu abaikah kita?  
Indeks Prestasi

Post a Comment