Elite Korup Tinggikan GolputIkrama Masloman ; Peneliti senior Lingkaran Survei Indonesia |
KORAN JAKARTA, 03 Maret 2014
Partisipasi warga dalam pemilu (voter turnout) merupakan bagian paling esensial sebuah rezim demokratis. Tak heran bila Verba, Schloszman, dan Brandy (1995) berpendapat, "Partisipasi warga negara merupakan jantung demokrasi." Maka, tanpa partisipasi warga, demokrasi menjadi tidak bermakna dan tidak relevan lagi sebutan pemerintahan demokratis. Dalam studi politik di Indonesia, partisipasi masyarakat dalam pemilu bisa dikatakan masih dalam fase mencari bentuk karena pemilu "demokratis" baru terlaksana tujuh kali, yakni pada tahun 1955, 1999, 2004 (legislatif dan pilpres dua putaran) serta 2009 (legislatif dan presiden). Masyararakat yang tidak ikut memilih (golput) bisa dilihat sebagai berikut. Pemilu tahun 1955 jumlah golput 13 persen. Sejak tahun 1999 (7 persen) jumlah golput terus meningkat, seperti 2004 sebesar 15 persen dan pemilu 2009 sebanyak 29 persen. Karakteristik pemilih memiliki corak pluralistik atau sangat beragam. Preferensi warga yang berbeda-beda ini menjadikan demokrasi sangat inklusif terhadap berbagai tuntutan sehingga alasan untuk berpartisipasi atau tidak dalam pemilu tidak dapat dipisahkan dari tuntutan warga. Tuntutan warga dalam berpartisipasi dilihat dari platform dan insentif personal yang ditawarkan partai politik (parpol) atau calon presiden dalam pemilu. Golput bisa dikategorikan dalam bentuk citizen not registered (warga yang kehilangan hak pilihnya karena kelalaian penyelenggara pemilu dalam mendata sehingga warga tidak terdaftar. Bisa juga karena distribusi kartu pemilih tidak sampai ke tangan warga. Bentuk ini disebut golput prosedural atau teknis. Golput bisa juga karena registered not vote (warga yang terdaftar, namun tidak menggunakan hak pilih). Bentuk ini ada yang bersifat pragmatis, yaitu kecenderungan tidak memilih karena tidak adanya insentif pribadi dalam pemilu. Golput ideologis, yaitu perasaan bahwa pemilu tidak ada gunanya atau parpol beserta calon-calonnya tidak dipercaya dapat memberi perubahan atas hidup warga. Sementara itu, golput suasana lahir dari akumulasi kekecewaan warga atas perilaku bobrok elite (korupsi, amoral) atau diskontinuitas pada politik pencitraan (citra diri dan janji politik) yang tidak bersenyawa dengan realitas politiknya (perilaku elite). Dengan kata lain, citra terpisah dari realitas. Fenomena hipokrit seperti ini sangat mengkhawatirkan demokrasi. Kekecewaan Jika melihat persentase turnout di tingkat daerah (pilkada) yang kian lemah, pemilu bisa dikuasai golput. Lihat saja pemilihan gubernur (pilgub) Jawa Barat dengan voter turnout hanya 63 persen atau golput 36 persen. Kemudian, pilgub DKI Jakarta voter turnout sebesar 68 persen atau golput 32 persen. Tingginya angka golput juga terdapat di pilgub Sumatra Utara yang mencapai 48,50 persen. In berarti tingkat partisipasi warga dalam pilgub hanya 51,50 persen. Fakta pilkada di beberapa daerah ini bisa menjadi momok dalam melihat Pemilu 9 April 2014 mendatang. Dalam konteks pemilu, merebaknya golput diidentifikasikan sebagai kelompok yang teralienasi secara politis meski dengan beragam dalih. Alasan utama mereka kecewa pada kaum elite politik yang lebih banyak mementingkan diri, kelompok, dan golongan. Setelah menang, mereka lupa dengan janji dan komitmen pada upaya menyejahterakan konstituen. Selain itu, kekecewaan masyarakat pada wakilnya disebabkan ternyata mereka korup. Setelah berkuasa di parlemen, para wakil rakyat itu menelan anggaran untuk menyejahterakan rakyat demi kantongnya sendiri. Tak heran bila banyak di antara mereka yang diciduk Komisi Pemberantasan Korupsi. Mengukur kekecewaan publik atas perilaku elite bisa dilihat dari riset Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Juli 2013. Dalam temuannya, publik negeri ini hanya menaruh kepercayaan sebesar 37,5 persen bahwa elite politik masih memiliki komitmen moral, sedangkan persepsi publik yang menilai bahwa elite politik tidak memiliki komitmen moral, angkanya jauh lebih tinggi, yaitu 51,5 persen. Distrust yang disematkan publik pada elite politik, dalam temuan LSI ini pula, mengungkapkan merosotnya kepercayaan itu. Publik menilai hilangnya teladan pada pribadi elite partai. Sebesar 52,10 persen publik menilai bahwa banyak elite politik tak bisa diteladani atau hanya 47 persen yang menganggap bisa menjadi teladan. Selain itu, mayoritas publik menilai banyak politisi hipokrit. Mereka berbicara lain dengan perbuatan. Persepsi publik sebesar 65,3 persen menilai elite politik berbicara hal-hal yang baik, namun tidak dipraktikkan. Atau hanya 26,7 persen publik yang menilai politisi tidak hipokrit. Kemudian, mayoritas publik menilai ada jarak antara klaim agama dan perilaku elite. Hanya 36,5 persen publik yang menilai politisi bertindak sesuai dengan keyakinan dan ajaran agamanya. Golput memang mengganggu jalannya demokrasi, namun tidak bisa dimungkiri, eksistensinya merupakan bagian dari protes warga terhadap anomali sistem demokrasi dan elite politik. Meski di era reformasi ini kebebasan berpolitik telah dibuka, hal itu belum dibingkai dengan kepastian hukum yang kuat. Kampanye hitam hingga pemilu dengan kerasukan materialisme banyak mencemari pemilih. Bahkan, lembaga negara turut dalam agenda memanipulasi hasil pemilu. Ini merupakan virus yang dapat membunuh demokrasi. Publik yang melek demokrasi memiliki cara memverifikasi apakah pemilu April nanti bisa dipercaya atau tidak. Salah satu cara mengetahuinya dengan memverifikasi parpol dan figurnya, apakah mampu menjembatani kepentingan rakyat dan memperbaiki performanya atau tidak, terutama soal ideologisasi, peran, dan kaderisasi. Mereka juga dapat memverifikasi penyelenggara pemilu, apakah mampu menertibkan dan membatasi perilaku kampanye hitam. Bagaimana sosialisasi pemilu serta mencerdaskan pemilih agar mampu menilai pemilu secara bijak dengan mekanisme reward and punishment. Reward berupa trust dengan memilih partai atau calon pemimpin politik yang baik. Sebaliknya, pemilih akan memberi punishment berupa distrust dengan tidak memilih atau meninggalkan partai dan calon pemimpin politik yang buruk. Namun, semua itu hanya contoh yang bisa menjadi alternatif bersikap. Dengan kata lain, sikap dan perilaku elite atau parpol sendirilah yang akan menghasilkan reward atau hukuman. Hanya persoalannya sekarang, semakin sulit menemukan elite yang layak diberi reward. Parahnya, mayoritas anggota DPR maju lagi untuk dipilih seakan mereka layak dipilih. Masyarakat harus pandai-pandai memilih elite yang memang layak untuk menerima suara. Jika perilaku mereka buruk, tinggalkan saja, ganti yang baru. ● |
Post a Comment